Makalah Agama dan Kebudayaan

Agama dan Kebudayaan

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Agama adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia di dunia. Agama dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi manusia dalam masyarakat. Akan tetapi, selain agama ada faktor lain yang mempengaruhi dan dijadikan pedoman hidup masyarakat yaitu kebudayaan, yang secara turun temurun sudah dianut dari jaman nenek moyang terdahulu. Agama dan kebudayaan sebenarnya adalah dua hal yang berbeda. Agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yaitu penguasa alam semesta, sedangkan budaya atau kebudayaan adalah buatan manusia yang berupa kebiasaan yang dilakukan dari waktu kewaktu sehingga membentuk sebuah kebudayaan.

Dilihat dari segi Agama dan Budaya yang masing – masing memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang – orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi Budaya pada suatu kehidupan dan juga bagaimana suatu budaya ketika masuk pada wilayah kebudayaan lain. masih sering ada segelintir masyarakat yang mencampur adukkan nilai – nilai Agama dengan nilai-nilai Budaya yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, dan juga terkadang agama dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan.

Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras dalam menciptakan ataupun kemudian saling menegasikan. Agama sebagai pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebudayaan sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan. Agama dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok / masyarakat / suku / bangsa. Kebudayaan cenderung mengubah-ubah keaslian agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan.

B.  Rumusan Masalah

  1. Bagaimana hubungan antara agama dan kebudayaan?
  2. Bagaimana penempatan posisi Agama dan posisi Budaya dalam kehidupan?
  3. Bagaimana suatu budaya ketika ia masuk pada wilayah kebudayaan lain?
  4. Bagaimana agama bisa dikatakan bagian dari kebudayaan?

C. Tujuan

  1. Untuk mendeskripsikan hubungan antara agama dan kebudayaan.
  2. Untuk mendeskripsikan posisi Agama dan posisi Budaya dalam kehidupan.
  3. Untuk mendeskripsikan ketika ia masuk pada wilayah kebudayaan lain.
  4. Untuk mendeskripsikan Bagaimana agama bisa dikatakan bagian dari kebudayaan.

D. Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.    Manfaat teoretis

Secara teoritis, makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama mengenai agama dan kebudayaan serta menambah kajian ilmu khususnya di kalangan mahasiswa.

2.    Manfaat praktis

Secara praktis, makalah ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para calon konselor dalam membantu membimbing masyarakat di dalam menerapkan nilai-nilai agama dan kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari.

Bab II. Pembahasan

A. Interelasi Antara Agama Dan Budaya

Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan. Persisi seperti permainan gamsut (barangkali dari kosa kata inggris: game suite) yang sering kita mainkan waktu kecil; gajah (disimbolkan ibu jari) mengalahkan manusia (jari telunjuk); manusia mengalahkan semut (jari kelingking); dan semut mengalahkan gajah. Ketiganya ada secara bersama-sama, berimpit untuk menciptakan relasi makna. Keberadaan mereka tidak bisa mandiri tanpa berkaitan dengan yang lainnya; jari telunjuk tetap sebagai jari telunjuk, tidak sebagai manusia yang sanggup memencet semut atau diseruduk gajah; demikian pula ibu jari dan kelingking. Dalam relasi itu juga masing-masing mengalami kehilangan dirinya dalam sebuah momen untuk kemudian bisa muncul kembali dalam momen yang lain. Pada satu momen, jari telunjuk kalah oleh ibu jari, namun ia akan menjadi pemegang peranan ketika ibu jari dikalahkan oleh jari kelingking. Demikian seterusnya, berulang-ulang sesuai dengan momen-momen yang diciptakan kehidupan.

Hubungan manusia, masyarakat, dan kebudayaan pun berada dalam dialektika gamsut ini. Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi masyarakatnya, pada sisi yang lain, secara bersamaan, manusia secara kodrati senantiasa berhadapan dan berada dalam masyarakatnya, homosocius. Masyarakat telah ada sebelum seorang individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah dan sebagai hasil proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi; ia memperoleh dan berpegang padasuatu identitas. Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat (sebagai kumpulan individu-individu manusia) diciptakan oleh manusi, sedangkan manusia sendiri merupakan produk dari masyarakat. Kedua hal itumenggambarkan adanya dialektika inheren dari fenomena masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan dialektika sosial.

Proses dialektika fundamental itu, menurut Berger, terdiri atas tiga momentum  atau langkah: eksternalisasi, objektivasi,dan internalisasi. ketika seorang manusia hidup dalam masyarakat, ia akan senantiasa menganggap dirinya sebagai bagian penting dalam masyarakat tersebut. Keadaan dan proses inilah yang dikenal dengan eksternalisasi. Seorang individu berusaha untuk mencurahkan (mewujudkan) eksistensi dirinya (kedirian) secara terus menerus kedalam dunia, baik dalam aktifitas fisik maupun mentalnya.[3] Dari hasil dialektis antara kecenderungan untuk melakukan eksternalisasi dengan fakta-fakta yang melingkunginya, terbentuklah suatu idiom budaya yang dihasilkannya. Idiom-idiom (baik fisik maupun mental) budaya tersebut kemudian disadangnya, objektivasi. Dan karena kekuatan lingkungan yang melingkupinya, individu manusia akhirnya melakukan internalisasi untuk menemukan kesamaan-kesamaan, untuk bisa melakukan interaksi di antara mereka. Dengan demikian, melalui ekternalisasi, masyarakat adalah produk manusia, melalui objektivasi; masyarakat menjadi realitas sui generis, unik . dan, melalui internalisasi, manusia merupakan produk masyarakat.[4]

Dalam kehidupan berbudaya, manusia melakukan proses objektivasi. Istilah objektivasi adalah isitilah yang digunakan oleh Daniel Miller dalama bukunya Material Culture and Mass Consumption, untuk menjelaskan pandangan Hegel tentang hubungan dialektika antara ‘objek’ dan ‘subjek’. Istilah ini dijelaskan Miller sebagai “…proses ganda, yang melalui subjek mengekternalisasi dirinya melalui suatu tindakan kreatif diferensiasi, dan selanjutnya mengembalikan untuk diri ekternalisasi ini melalui tindakan yang disebut Hegel sebagai sublasi (semacam pemberian pengakuan) (Miller 1987:28).

Proses objektivikasi ini, menurut Miller, melibatkan hubungan antara subjek (dalam hal ini adalah manusia, dan biasanya bersifat kolektif), kebudayaan – sebagai bentuk ekternal – dan artefak –  sebagai objek ciptaan manusia. Dalam kaitan ini, subjek mengeksternalisasikan dirinya melalui penciptaan objek-objek, yang dimaksudkan untuk menciptakan ‘diferensiasi’ (penciptaan perbedaan dengan objek-objek sebelumnya), kemudian menginternalisasikan (mengembalikan pada diri) nilai-nilai ciptaan tersebut melalui proses sublasi atau pemberian pengakuan.

Akan tetapi, dalam proses sublasi ini, sang subjek selalu merasa tidak puas dengan hasil ciptaannyasendiri karena ia selalu membandingkan hasil ciptaan tersebut dengan pengetahuan atau nilai absolut, yang justru beranjak lebih jauh tatkala ia didekati atau diacu. Sehingga yang kemudian terjadi adalah rasa ketidakpuasan tanpa akhir serta penciptaan terus-menerus untuk pemenuhannya. Rasa ketidakpuasan abadi terhadap hasil ciptaan inilah yang pengembangan lebih lanjut dalam suatu dialektika pembicaraan.[5]

Agama dalam konteks budaya berada dalam dialektika ini. Ada seorang manusia yang melakukan pemaknaan baru terhadap sistem nilai suatu masyarakat lalu mengemukakannya dengan meminjam simbol budaya yang telah tersedia. Perbedaan agama sebagai produk budaya dengan produk lainnya – konstruksi rumah atau model berpakaian, misalnya – terletak pada transendenan yang dihasilkan agama.

Transendensi – secara harfiah bermakna “yang mengatasi sesuatu” atau “ berdiri di luar sesuatu”[6]. Kematerialan menghentikan manusia pada penyimpulan buntu, terantuk pada kepejalan dan bentuk yang menipu. Padahal, manusia dihadapkan pada sejumlah ke-asurd-an yang membingkan dan sering memuatnya putus asa (kondiri disharmoni). Pada saat itu dibutuhkan pemaknaan yang sanggup mengeluarkan manusia dari rasa cemas akan kehidupan (angst), suatu pemaknaan transenden yang kemudian disebut agama. Pemaknaan itu biasanya disebut nilai-nilai yang meneritakan dunia di luar realitas keseharian (beyond reality),  nilai-nilai itu menjadi lumbung harapan bagi terciptanya harmoni. Hal ini mungkin terjadi karena harapan akan adanya kehidupan yang adil di “luar sana” membuat manusia tetap tenang dan sabar di tengah ketidakadilan relitas keseharian . lumung harapan ini tentu bersifat abstrak: masalah rasa. Ia akan masuk menjadi harapan priadi manusia ketika manusia melakukan sejumlah kegiatan yang dianggap berasal dari “dunia asal” lumbung harapan itu. Kegiatan ini disebut ritual (upacara sakral dengan melakukan kegiatan dan menggunakan simbol tertentu) yang dirujukkan kepada perilaku yang dulu ( in illo temporae) dilakukan oleh pencetus pemaknaan transendensi.

Agama, dengan demikian, berasal dari proses objektvasi tertentu yang bernialai transenden. Sebagai proses objektivasi, di dalamnya melibatkan hubungan antara subjek ( yang dalam hal ini adalah manusia, dan biasanya ersifat kolektif), kebudayaan (sebagai bentuk eksternal), dan artefak (sebagai objek ciptaan manusia). Agama, dalam kaitan ini, terjadi ketika objek mengeksternalisasikan dirinya melalui penciptaan objek-objek, yang dimaksudkan untuk menciptakan ‘diferensiasi’ (penciptaan perbedaan dengan objek-objek sebelumnya), kemudian menginternalisasikan (mengembalikan pada diri) nilai-nilai ciptaan tersebut melalui proses sublasi (pemberian pengakuan).

Hal yang sama terjadi ketika ada suatu agama masuk pada masyarakt lain di luar masyarakat pembentuknya. Agama itu akan mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan yang telah ada. Ada kompromi nilai atau simbol antar agama yang masuk dengan kebudayaan asal yang menghasilkan bentuk baru yang berbeda dengan agama atau bbudaya asal. Proses penyesuaian ini terjadi begitu saja dalam setiap proses pemaknaan di tengah masyarakat yang telah memiliki struktur kebudayaan. Dalam kerangka objektivasi, hal ini terungkap pada saat proses sublasi atau pemberian pengakuan hasil kerja budayanya. Pada proses sublasi, sang subjek selalu merasa tidak puas dengan hasil ciptaannya sendiri, karena ia selalu membandingkan hasil ciptaan itu dengan pengetahuan atau nilai absolut dari kebudayaan yang telah ada. Denagn demikian, suatu agama yang masuk pada masyarakat tertentu tidak pernah bisa ditemukan sebagaimana dalam bentuk aslinya secara utuh; selalu ada fluiditas atau pelenturan nilai-nilai.

1.    Hakikat dan Fluiditas Kebudayaan

Mengutip Rene char, “kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat ( notre heritage n’est precede d’aucun testament)”. Lewat kutipan itu, dapat dikemukakan bahwa pada awalnya kebudayaan adalah nasib, kemudian baru kita memanggulnya sebagai tugas. Pada mulanya kita adalah penerima yang bukan saja menghayati tetapi juga menjadi penderita yang menanggung beban kebudayaan itu, sebelum kita bangkit dalam kesadaran untuk turut membentuk  dan mengubahnya.

kutipan itu menunjukkan bahwa pada satu sisi kebudayaan adalah suatu produk masa lalu dan pada sisi yang lain adalah proses yang kita lakukan dengan menggunakan produk itu. Melalui kutipan ini, akan dikemukakan juga kecenderungan melihat kebudayaan seagai kata benda (produk masa lalu) atau seagai kata kerja (proses).

Kalangan ilmuan sosial sering melihat kebudayaan sebagai realitas, sesuatu yang sudah diiptakan, dihasilkan, dibentuk ,atau sudah dilembagakan. Ini berarti kebudayaan dianggap sebagai produk, bukan sebagai proses. Kuntjaraningrat memandang kebudayaan dalam tiga wujud, yaitu dalam sistem ide-ide, sistem tingkah laku, dan sebagai perwujudan benda-benda budaya.[7] Ketiga wujud itu dipandang Kuntjaraningrat sebagai produk. Jadi yang dimaksud dengan ide di atas adalah ide yang sudah terbentuk bpada suatu kelompok etnis. Tingkah laku yang dimaksud, misalnya, sistem interaksi yang sudah dimantapkan bahkan dilembagakan, dan kebudayaan material yang diperhatikan adalah ciptaan berupa benda-benda fisik yang sudah jadi.[8]

Mengemukakan kebudayaan sebagai produk, barangkali berasal dari cara pandang yang menerna budaya sebagai artefak on sich. Anggapan terseut akan berhadapan dengan mereka yang menilai budaya dari sisi proses, seperti mereka yang menekankan kebudayaan pada ide-ide kognitif saja, yang menyebabkan kebudayaan dianggap sebagai sistem pengetahuan atau sistem makna (system of meaning),[9] atau yang menekankan pada ide-ide normatif yang menyebabkan kebudayaan  dianggap sebagai sistem nilai(system of value).[10] Demikian juga dalam membicarakan tingkah laku, penekanan dapat diberikan kepada tingkah laku yang berpola, baik tingkah laku sebagai hasil interaksi yang distabilkan dalam pranata sosial maupun sebagai proses yang ditentukan oleh suatu stimulus luar, baik stimulus individual dan momentan yang menentukan respons yang bersifat behavioristik maupun stimulus yang berasal dari struktur yang lebih permanen yang menimbulkan respons yang bersifat sosio-deterministik. Selanjutnya, benda-benda kebudayaan material dapat dipandang sebagai alat yang menghubungkan manusia dengan alam (ini kemudian menghasilkan teknologi), ataupun dipandang sebagai sarana dalam membina hubungan dengan orang lain (yang kemudian menghasilkan benda-benda simbol yang merupakan materialisasi nilai atau makna tertentu).

Cara mengamati kebudayaan sebagai proses ini mengandaikan adanya kontinyuitas perkembangan, kebangkitan , dan keruntuhan suatu kebudayaan. Untuk itu, ada dua kebutuhan asasi dalam kebudayaan. Di satu pihak, s,etiap kebudayaan mempunyai kebutuhan untuk menentang perubahan dan mempertahankan identitas, dan di pihak lainnya mempunyai kebutuhan dalam berbagai tingkatannya untuk menerima peruahan, dan mengembangkan identitasnya lebih lanjut. [11]Atas dasar anggapan ini, kebudayaan akan terus berubah dalam proses dengan gerakan tiga langkah.

Dipandang dari sudut nilai, yang terjadi dalam proses tersebut adalah penerimaan nilai-nilai, penolakan nilai-nilai yang sudah diterima, dan penerimaan niali-nilai baru. Yang berlangsung di sini adalah gerak dari integrasi, malalui disintegrasi, menuju reintegrasi. Yang berubah dalam proses tersebut adalah sistem normatif (value system)Kemudian, kalau perubahan ini di pandang dari sudut kebudayaan sebagai sistem pengetahuan dari sistem makna (system of meaning) maka yang terjadi adalah penerimaan suatu kerangka makna atau kerangka pengetahuan, penolakan kerangka tersebut, dan penerimaan kerangka pengetahuan dan kerangka makna yang baru. Yang berlaku di sini adalah gerak, dari orientasi menuju disorientasi, menuju reorientasi. Yang berubah dalam proses tersebut adalah sistem kognitif. Selanjutnya, kalau perubahan ini dipandang dari sudut tingkah laku, maka yang terjadi adalah penerimaan pola-pola tingkah laku dan bentuk interaksi, penolakan pola-pola tersebut, dan pengambilan pola-pola tingkah laku yang baru. Dilihat dari sudut orang-orang yang berinteraksi, proses tersebut seakan-akan bergerak dari sosialisasi, melalui disosialisasi, menuju resosialisasi. Dan jika dilihat dari sudut pemantapan dan pelembagaan bentuk-bentuk interaksi tersebut, maka yang terjadi adalah pergeseran dari tahapan organisasi, melalui disorganisasi, menuju reorganisasi tingkah laku.

Dari sisi proses, kebudayaan terlihat sebagai realitas yang tidak pernah berhenti pada suatu jejak. Jejak selalu menyimpan nostalgia jejak sebelumnya, sekaligus menyimpan energi yang akan melesatkannya untuk menciptakan jejak baru. Ketiga jejak itu mungkin saling berbeda tetapi saling berhubungan . dari sisi proses ini juga terlihat adanya fluiditas (pelenturan) wujud kebudayaan dari posisi A ke posisi dis-A untuk menghasilkan re-A.

2.    Fluiditas

Fluiditas adalah pelenturan suatu budaya ketika ia masuk pada wilayah kebudayaan lain. Pelenturan itu membuat simbol budaya tersebut memetamorfosis dalam maknanyayang baru, sekaligus membuat simbol yang sama menjadi memiliki ketidakjelasan dibandingkan dengan simbol asalnya. Pelenturan ini terjadi karena manusia bukan mesin foto kopi yang bisa dan mau menjiplak apa yang diterimanya; manusia selalu menyiasati apa yang diterimanya secara sadar maupun tidak sadar.

Contoh yang menarik tentang fluiditas ini adalah kaligrafi. Di dunia Islam, pada awalnya, kaligrafi merupakan seni rupa alternatif yang dilakukan perupa muslim pada saat ada larangan menggambar makhluk yang bernyawa. Maka seni rupa dikembangkan dengan mengeksploitasi bentuk huruf Arab yang lentur. Artinya, seni rupa berdiri tidak di atas kenaturalannya dalam menggambarkan objek, tetapi dalam makna yang didapat dari kalimat suci yang dieksplorasi dalam bentuk tertentu yang tidak menyerupai makhluk hidup. Namun, pada masyarakat tertentu, di Cirebon misalnya, kaligrafi berubah menjadi bentuk gambar yang tetap mempertahankan aturan asalnya (mengeksplorasi bentuk huruf dari kalimat suci). Dalam bentuk barunya ini, kaligrafi tetap dinikmati lewat perenungan makna lafadsnya sekaligus juga bentuk yang dikemukakannya. Misalnya, kaligrafi kalimah syahadatayn dalam bentuk orang yang sedang duduk tahiyyat atau bentuk semar, dan kaligrafi bismillah dalam bentuk burung terbang.

Fluiditas ini pula yang membuat realitas sosial tidak bisa dipaksakan sama dengan grand teori yang berlaku. Teori hanyalah pengantar apresiasi, bukan penakar yang mutlak mengenai suatu gejala. Misalnya, temuan Endo Suanda di Cirebon tentang fluiditas budaya kelisanan dan keberaksaraan. Secara teoritis, perpindahan dari kelisanan menuju keberaksaraan akan mengubah cara berfikir, misalnya, pada keberaksaan ada asumsi tentang “matinya pengarang” atau tidak pentingnya kehadiran siapa yang mengungkapkan karena teks bacaan yang di tangan benar-benar terlepas dari konteks yang melingkupinya dan karenanya pemaknaan bergantung pada aksara yang tertera. Di Cirebon, demikian ungkap Endo, teks-teks tulisan tertentu bermakna bukan karena ia memiliki aksara namun karena ia menyimpan kehadiran tertentu. Jika rumusan kehadiran itu dihilangkan, aksara yang ada dalam teks menjadi tidak memiliki makna. Teks yang dimaksud adalah sejumlah rajah. Atau, Endo menambahkan, “Ada jenis fluiditas lain: kelisanan biasanya dicirikan karena ia diucapkan. Namun, pada tradisi Cirebon, ada jenis budaya lisan. Hal ini didekatinya dengan cara yang sepadan dengan apa yang menjadi paradigma tradisi tersebut.

Apa yang dimaksud dengan paradigma di sini adalah keseluruhan susunan kepercayaan, teknik, nilai, dan sebagainya yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat tertentu. Ia dapat menunjukkan sejenis unsur dari keseluruhannya yang jika digunakan sebagai model atau contoh , dapat memecahkan kehidupan sosial. Dengan kata lain, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki paradigma. Dalam keadaan normal, paradigma adalah sistem acuan menyeluruh yang membimbing kegiatan anggota masyarakat. Gejala tidak dapat lolos dari paradigma. Sebaliknya, paradigma yang dapat lolos dari gejala. Pengamatan terhadap gejala selalu dituntun oleh paradigma. Dalam hal ini, si pengamat (yang juga pelaku) berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma secara rinci karena ia tidak sibuk dengan hal-hal fundamental. Paradigma lokal inilah yang kemudian membuat teori luar yang dihasilkan dari pengamatan terhadap masyarakat berparadigma lain tidak bisa dijadikan ukuran yang semena-mena.

Penghargaan terhadap paradigma lokal ini berdasarkan asumsi bahwa dalam sebuah kultur ketidakjelasan merupakan sebuah kekuatan (sebuah daya). Konsep kultural (yang hidup) itu harus mengandung ketidakjelasan. Ketidakjelasan memberi ruang kreatif yang seolah tak terbatas, tidak terduga. Ketidakjelasan memberi fluiditas yang akan menyesuaikan dengan gerak alami (dan juga logis), human, saat demi saat, serta situasi demi situasi. Jika segala sesuatu dalam kesenian dapat diperjelas, maka tak ada lagi kekuatannya, tak ada lagi yang menarik untuk hidup kreatif di dalamnya. Tetapi, dari kenyataan praktis, sebaliknya, kita pun menyaksikan terus upaya-upaya untuk memperjelas ini (misalnya, untuk membatasi ruang gerak kehidupan interpretatif) di dunia birokrasi, negara, ataupun akademi.

Dalam zaman modern ini, upaya formalisasi, penjelasan, dan pemastian, semakin keras. Fluiditas seperti pada kaligrafi semakin bergeser ke dunia pembakuan, kepada kekuatan formal bentuk ijasah, surat-surat izin resmi, keputusan, dan stempel. Sehingga, fluiditasnya bukan lah dala membuat sistemnya yang cair mengalir, tetapi dalam manipulasinya (bagi orang cerdik) atau dalam dunia pemalsuannya. Maksudnya, perbedan ini adalah salah satu walau bukan satu-satunya yang membuat konflik; dari satu sisi naturalnya yang cair, dari sisi lain interes ke arah ketegaran. Kita sering menyaksikan konflik atau ketegangan dalam berbagai bentuk: antara kehidupan formal dan riel.

Maka membaca kebudayaan tidak sama dengan membaca bagian-bagian spesies dalam ilmu alam. Di dalam wacana kebudayaan kedinamisan menjadi tantangan utama yang mementahkan setiap upaya untuk merumuskan secara mutlak apa yang di temukan di suatu wilayah. Dengan fluiditas, kita akan menemukan betapa suatu kebudayaan ketika memasuki wilayah lain akan mengalami perubahan (dalam makna positif atau negatif) yang tidak bisa ditemukan di wilayah asalnya.

3.    Membaca kebudayaan adalah menafsir

Teori sosial pada awalnya bersifat historis dan komparatif. Objek analisanya berupa kasus tertentu, seperti telaah Weber mengenai irokrasi Jerman atau tulisan Marx tentang kapitalisme Inggris. Dalam sudut teori ini, memahami suatu masyarakat berarti memahami perbedaannya dengan berbagai bentuk kehidupan di masa-masa dan tempat yang berbeda.

Kemudian, setelah perang Dunia II, terjadi perubahan arus utama tradisi intelektual dalam ilmu sosial, yaitu berkembangnya “teori modernisasi” yang menerapkan analogi antara evolusi sosial dan organik.teori ini menyatakan bahwa munculnya bentuk-bentuk sosial yang lebih kompleks ditentukan oleh dua prose kembar, yaitu spesialisasi dan diferensiasi struktural pada satu sisi, dan pada sisi yang lain ditentukan oleh mekanisme integrasi dan koordinasi sosial. Untuk mengamati perubahan sosial yang terus bertambah rumit, teori ini mengemukakan pengkhususan dalam penilikannya, yaitu bahwa teori ilmu sosial, secara khusus, harus menilik perkembangan simbol-simbol kebangsaan dan komunitas yang lebih universal. Perkembangan simbol-simbol yang lebih universal ini pada gilirannya akan melemahkan ikatan-ikatan sempit keluarga, suku, agama, menghilangkan potensi perpecahan dan menyediakan suatu konsensus umum bagi kehidupan politik.

Dengan terus bertumpu pada historisitas dan komparatif, teori ini dikembangkan menjadi paradigma modernisasi. Watak paradigma ini adalah terjadinya generalisasi yang berlebihan terhadap apa yang terjadi di Barat. Pendekatan ini akhirnya memaksakan suatu model deterministik yang sempit atas perubahan yang terjadi di dunia Barat.

Kesempitan teori ini akan menyulitkan ketika peneliti ilmu sosial menerapkannya dalam studi kasus-kasus real. Generalisasi teori modernisasi yang mengatakan bahwa modernisasi mengarahkan struktur budaya lama menumbuhkan struktur budaya baru yang lebih barat tidak selamanya ditemukan pada kasus real. Gebertz, misalnya, pada salah satu penelitiannya menekukan bahwa pembangunan seringkali menguatkan kembali struktur-struktur sosial lama, bukan menghilangkan mereka untuk membebri tempat kepada lembaga-lembaga baru yang lebih khusus.

Akhirnya, teori modernisasi merosot ketika “konsensus ortodoks” (Giddens, 1984, xv) yang mendasari program kerjanya dipertanyakan. Kemerosotannya berkaitan dengan perkembangan yang lebih luas di dalam dan di luar ilmu-ilmu sosial. Di Barat, misalnya, konflik seputar masalah ras, gaya hidup, agama, gender memberi kesan kepada pengamat bahwa masyarakat modern belum mencapai suatu “konsensus kewargaan” yang kuat seperti diduga. Di dunia ketiga, kekeacauan politik, pertentangan etnis, dan pertumbuhan yang tidak merata mengemukakan fenomena bahwa perubahan modernisasi hanya teoretis belaka walaupun telah dilakukan proses pembangunan dan sejenisnya.

Lalu,ilmuan sosial , seperti Geertz, mengajukan “pembentukan kembali pemikiran sosial” (1983, 19) yang mulai melirikb penggunaan hermeneutik  dalam mengamati kasus-kasus sosial real. Pendekatan ini berpusat pada makna dalam memahami kehidupan sosial. Realitas sosialberbeda dengan dunia alam yang berproses secara lepas dari pengetahuan pada pelakunya, tidaklah terwujud objektif. Realitas sosial secara rumit dibentuk oleh kultur dan makna karena para pelaku menggunakan pengetahuan mereka untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah dunia dimana mereka menjadi bagiannya. Artinya, ilmu sosial tidak bisa diukur dengan paradigma ilmu alam. Pada ilmu sosial, objek penelitian bergerak aktif dan tak terduga, sedangkan objek ilmu alam diam dan bisa diprediksi. Atas dasar pemikiran itu, maka interpretasi kebudayaan harus menjadi inti usaha sosiologis, bukan sekadar piranti dalam ilmu sosial (Berger &Luckman, 1966, 18).

Pendekatan ini mendorong penelitiuntuk memperhatikan sejarah dan budaya lokal, serta mengembangkan model-model perubahan sosial dari bawah ke atas (bottom up), bukan melalui deduksi dari pernyataan-pernyataan abstrak. Namun , penolakan terhadap teori modernisasi membuat banyak ilmuan sosial menolak secara berlebihan konsep perbandingan umum dan analisis kausal yang menjadi unsur penting dalam teori ilmu sosial sejak awal. Dengan tegas, mereka menolak model-model masyarakat mekanistis, atau “fisika sosial tentang hukum-hukum dan sebab-sebab” dalam istilah Geertz.

Para penolak ini biasanya mengacu pada apa yang telah dilakukan Weber. Penelitian Weber yang menekankan pada tindakan yang bermakna serta menolak paradigma ilmu alam, dalam pendekatannya, menjadi model teoriantimodernisasi ini. Padahal, Weber sendiri menolak pendapat bahwa upaya mencari generalisasi kausal adalah salah, atau anggapan bahwa kausalitas dalam ilmu sosial  mereduksi penelitian ilmu sosial menjadi ilmu alam. Weber percaya, ada hambatan-hambatan kausal dalam perkembangan masyarakat, tetapi itu semua berlangsung secara berbeda dari cara kerja alam, sekalipun hal itu berlangsung tanpa sepengetahuan pelaku, pengaruhnya yang lebih luas tercermin dalam pengetahuan para pelaku tentang lingkungan mereka (Giddens, 1971, 150).

Weber menekankan bahwa tujuan akhir dari “pemahaman interpretatif” atas tindakan sosial adalah untuk sampai pada “penjelasan kausal mengenai berbagai peristiwa beserta akibatnya” (Weber, 1947, 88). “kadang-kadang,” ungkapnya, “suatu telaah menyeluruh semacam itu memaksa sang analisis untuk keluar dari semua parameter yang berdasarkan penghayatan atau pengamatan yang disadari.

Sebagai pemahaman interpretatif, realitas dan tindakan sosial dianggap sebagai “teks” sebagaimana layaknya kegiatan penafsiran. Teks yang dimaksud berarti apa yang “dikatakan” oleh tindakan sosial. Pendefinisian teks hanya sebagai apa yang “dikatakan” oleh tindakan sosial membuat realitas dan tindakan sosial mirip dengan objek ilomu alam, yaitu adanya distansi antara pengamat yang menentukan penilaian mutlak terhadap objek pengamatan yang tidak menelusuri lebih dalam terhadap perilaku sebagai referensi pendukung atas apa yang terkatakan itu. Padahal, suatu tindakan sosial dapat menimbulkan konsekuensi praktis yang mempengaruhi kondisi manusia, meskipuntidak disadari oleh para pelakunya. Artinya, pengaitan apa “yang dilakukan” mempengaruhi pemahaman terhadap realitas sosial ketimbang hanya bertumpu pada apa yang “dikatakan” sejauh diamati saja.

Untuk lebih memahami realitas sosial, Hefner, misalnya, mengajukan tambahan terhadap pendekatan interpretatif, yaitu circumstantial. Arinya, di samping menganalisis segala perubahan yang tampak , penelitian sosial berupaya juga memperhatikan berbagai kekuatan yang tidak tampak atau disadari tetapi berpengaruh terhadap perilaku manusia. Dengan pendekatan ini, penelitian tidak menjadi “hipotesis kausal atau genetik” sehingga sanggup menyajikan suatu “uraian yang murni deskriptif”. Pendekatan yang dikemukakan Hefner ini bersifat sosio-genetik, yakni penelaahan berbagai bentuk dan makna cara hidup suatu masyarakat serta lingkungan yang mempengaruhi keberadaan dan perubahannya. Dengan pendekatan ini, teori interpretatif  bisa melepaskan diri dari kecenderungan melepaskan pengamatannya terhadap masalah-masalah kekuasaan, kepentingan, ekonomi, dan perubahan sejarah yang sedikit banyak mempengaruhi tindakan sosial sambil terus menjaga penelitian sosial dari kecenderungan “secara prematur mengabaikan atau mereduksi keberagaman kultural” (Marcus dan Fischer, 1986, 33).

Penyertaan berbagai kekuatan yang tidak tampak tetapi berpengaruh pada kehidupan sosial (circumstantial constrcaint) akan menyelamatkan kecenderungan partikularisme. Kecenderungan yang memperlakukan “ masyarakat, bahkan desa, seolah-olah sebagai pulau tersendiridengan sedikit pengertian mngenai sistem hubungan yang lebih luas dimana satuan-satuan itu berada” (Ortner, 1984, 142). Peneliti ilmu sosial, dengan demikian , terbebas dari anggapan bahwa pemahaman realitas sosial hanya perlu memperhatikan makna dunia setempat tanpa kepedulian sejarah atau lingkungan material.

B.   Agama Merupakan Bagian Kebudayaan

Suatu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara pihak yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan.[12] Kelompok orang yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari Tuhan, dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat diseut kebudayaan. Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan, karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia, dan sesungguhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya. Maupun kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan. Menurut pandangan ini realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga “agama mau tidak mau menjadi soal kebudayaan”[13].

Para sarjana terutama sarjana Barat nampaknya melihat agama yang banyak dan beraneka ragam di dunia ini sebagai hal yang sama dan pada dasarnya sama. Dalam pemikiran mereka menyimpan suatu perasaan bahwa semua agama itu pada dasarnya adalah sama dan merupakan “fenomena atau gejala sosial” yang dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia. Menurut mereka, dalam kehidupan manusia terdapat aspek umum yang bernama agama. Genus agama itu mengandung “species” yang bermacam-macam, diantaranya adlah agam Islam.[14]

Sebenarnya, apabila ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan itu adalah “garis batas Tuhan dan manusia” maka wilayah agama dan wilayah kebudayaan itu pada dasarnya tidak “statis”, tetapi “dinamis”, sebab tuhan dan manusia berhubungan secara dialogis, dimana manusia menjadi “khalifah” [wakil]-Nya di bumi. Maka pada tahapan ini, adakalanya antara “agama” dan “kebudayaan” menempati wilayah sendiri-sendiri, dan adakalanya keduanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu yang disebut dengan “wilayah kebudayaan agama”.

Agama sesungguhnya untuk manusia, dan keberadaan agama dalam praktik hidup sepenuhnya berdasar pada kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya manusia untuk agama. Oleh karena itu, agama untuk manusia, maka agama pada hakekatnya menerima adanya pluralitas dalam memahami dan menjalankan ajaran-Nya. jika agama untuk manusia; amak agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan dan menyejarah menjadi kebudayaan dan sejarah agama adalah sejarah kebudayaan agama  yang menggambarkan dan menerangkan bagaimana terjadi proses pemikiran, pemahaman dan isi kesadaran manusia tentang wahyu, doktrin dan ajaran agama, yang kemudian dipraktikkan dalam realitas kehidupan manusia dan dalam sejarah perkembangan agama itu, sehingga “agama yang menyejarah telah sepenuhnya menjadi wilayah kebudayaan, karena tanpa menjadi kebudayaan, maka sesungguhnya sejarah agama-agama itu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah dituliskan.[15]

Di kalangan sarjana barat, penganjur kelompok ini adalah Emil Durkheim , seorang sarjana Perancis, yang agaknya ikut mempengaruhi pemikiran sebagian sarjana indonesia. Salah seorang sarjana Indonesia Koentjaraningrat, yang menurut pengakuannya sendiri telah terpengaruh oleh konsep Emil Durkheim. Dengan menggunakan istilah “religia” dan bukan “agama” [karena menurut beliau lebih netral], Koentjaraningrat berpendapat bahwa religie merupakan bagian dari kebudayaan. Pendirian Koentjaraningrat ini di dasarkan kepada konsep Durkheim mengenai dasar-dasar religi yang mengatakan bahwa tiap-tiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen yaitu:

a)    Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius.

b)   Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib.

c)    Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib.

d)   Kelompom-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut.

Koentjaraningrat, menyimpulkan bahwa “komponen sistem kepercayaan, sistem upacara dan kelompok-kelompok religius yang menganut sistem kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religius, jelas merupakan ciptaan dan hasil akan manusia. Adapun komponen pertama, yaitu emosi keagamaan, digetarkan oleh cahaya Tuhan. Relegi sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan tetapi cahaya Tuhan yang mewarnainya dan membuatnya keramat tentunya bukan bagian dari kebudayaan.[16]

Pendirian Koentjaraningrat di atas tercermin dalam teori cultural-universala-nya, dimana beliau memasukkan religi sebagai isi (bagian) dari kebudayaan yaitu:

a)    Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat transport, dan lain sebagainya.

b)   Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan lain sebagainya.

c)    Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).

d)   Bahasa (lisan maupun tertulis).

e)    Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan lain sebagainya).

f)     Ilmu pengetahuan.

g)    Relige.

C.  Agama Bukan Wahyu- Merupakan Bagian dari Kebudayaan

Secara faktual, agama di dunia ini banyak, beraneka ragam, berbeda-beda dan mempunyai asal usul dan sejarah sendiri-sendiri. Hal ini merupakan relitas dunia yang tidak dapat dielakkan. Artinya, semua agama yang ada di dunia ini beraneka ragam, berbeda-beda asal usul dan sejarahnya, ditinjau dari segi sumbernya dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, pertama, agama alamiyah adalah agama ciptaan atau hasil karya manusi dinamakan pula agama “filsafat”, agama bumi, dan agama budaya. Kedua,agama samawiyah yakni agama yang diwahyukan Allah kepadapara Nabi dan Rasul-Nya. juga disebut “agama wahyu”, agama langit, dan agama profetis.

Ahmad Abdullah al-Masdoosi, merumuskan perbedaan antara agama wahyu [agama samawiyah] dengan agama bukan wahyu [agama budaya] sebagai berikut:

1.    Agama wahtu berpokok pada konsep “ke-Esaan Tuhan”, sedangkan agama bukan wahtu tidak.

2.    Agama wahyu beriman kepada Nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak.

3.    Bagi agama wahyu sumber utama tuntutan dan ukuran baik buruk adalah kitab suci yang diwahyukan sedangkan agama bukan wahyu kitab suci tidak esensial.

4.    Semua agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan wahyu, kecuali “paganisme”,  lahir di luar area tersebut.

5.    Agama wahyu timbul di daerah-daerah yang secara historisdibawah pengaruh ras semitik

6.    Sesuai dengan ajaran dan atau historisnya, maka agama wahyua adalah agama missionary.

7.    Ajaran agama wahyu memberikan arah dan jalan yang lengkap kepada para pemeluknya. Para pemeluknya berpegang, baik kepada aspek duniawi atau aspek spiritual dari hidup ini. Agama bukan wahyu tidak demikian.[17]

Klasifikasi agama ke dalam dua jenis [agama alamiyah dan agama samawiyah] dan ciri-ciri pokok yang membedakannya secara tajam, dimaksudkan untuk “menghindari generalisasi” dan pencampuradukan serta penyamarataan semua agama. Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa agama tidak merupakan genus yang mempunyai species, akan tetapi dengan klasifikasi dua gejala alamiyah yang disebut agama budaya yang timbul dari kehidupan manusia sendiri dan agama samawiyah atau wahyu yang diberikan Allah swt kepada manusia melalui nabi dan rasul-Nya.

D.  Agama Samawi Bukan Merupakan Bagian kebudayaan

Saifuddin Anshari, mengatakan bahwa “agama samawi dan budaya tidak saling menakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian daripada yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula sebaliknya.[18]

Atas dasar itu, perlu ditegaskan bbahwa agama islam sebagai agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan [Islam], demikian pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam. Artinya antara agama dan kebudayaan masing-masing berdiri sendiri-sendiri, namun di sisi lain terdapat kaitan erat antara keduanya.[19]

Hubungan erat itu adalah Islam merupakan dasar, asa, pengendali, pemberi arah dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural. Agama Islamlah yang menjadi pengawal, pembimbing dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia menjadi “ kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam”.

Begitu pula berhubungan agama Islam dan kebudayaan islam itu berdiri sendir, artinya ada saling paut dan saling kait yang erat antara keduanya, maka keduanya dapat dibedakan dengan jelas dan tegas. Shalat, misalnya adalah unsur ajaran agama, selain berfungsi untuk  melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia, dan juga menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat shalat, kemudian orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, bangunan masjid itulah kebudayaan. Sedangkan, seluruh segi ajaran Islam menjadi tenaga penggerak bagi penciptaan budaya.[20]

Pandangan G.E Von Grunebaum yang dalam salah satu pengantar katanya tentang “profil peradaban islam”, mengatakan, bahwa: “dalam perkembangan selanjutnya, islam berkembang menjadi suatu peradaban”. Jika diteliti secara seksama pandangan tersebut menagndung pengertian bahwa pada mulanya Islam itu agama, kemudian dala pertumbuhan selanjutnya berkembang menjadi peradaban. Faisal Ismail, menyatakan ini tidak benar! Islam selamanya adalah agama dari sejak diturunkan sampai sekarang dan sampai hari akhir. Islam tidak pernah berkemang menjadi peradaban atau kebudayaan dalam masyarakat penganutnya.

Suatu hal yang perlu mendapatkan penekanan adalah bahwa Islam dan kabudayaan Islam adalah berbeda, artinya masing-masing berdiri sendiri [agama=wahyu, kebudayaan = produk akal]. Tentu saja harus adasaling kait antara keduanya agar tetap menjadi kebudayaan islam. Tetapi lain halnya dengan agama-agama suku [agama alamiyah yang dianut oleh suku-suku tertentu], perpaduan antara “agama dan kebudayaan” sangat erat sekali, bahkan sulit dipisahkan, artinya kebudayaan adalah sama dengan agama (contoh; agama hindu di Bali).[21]

Dalam agama-agama suku,orang melakukan sesuatu aktivitas, dilakukan dengan “mantra” dan “sajian”. Oleh karena itu dalam agama-agama suku, kultur/kebudayaan dalam setiap seginya sangat erat dan dan tidak terpisahkan dengan ibadat [cultus]Sebagai contoh, amati kehidupan keagamaan hindu di masyarakat Bali, dimana “antara agama, adat-istiadat, tradisi, seni budaya sulit dibedakan dan dipisahkan dari ritual agama, karena semuanya lebur dalam satu kesatuan yang utuh dan padu [terintegrasi]. Upacara peribadatan, tabuhan, nyanyian, adat-istiadat dan tradisi serta kesenian saling berkait secara utuh. Upaara-upaara keagamaan disertai dengan sajian, tarian, nyanyian, seni dan sebagainya, disini dapat dikatakan bahwa kebudayaan sama dengan agama, artinya agama tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena keduanya menyatu.

Dalam islam, unsur-unsur kebudayaan “terlarang masuk ke dalam [ajaran] agama”. Misalnya saja, orang dapat melakukan shalat langsung kepada Allah tanpa disertai media nyanyian, tarian, saji-sajian, dan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Dengan demikian, agama Islam tetap terpelihara dan terjaga kemurnian dan keasliannya, tidak tercampuri oleh adanya anasir-anasir kebudayaan yang hendak menyusup dan disusupkan ke dalam agama ia pasti ditolak dan akan diketahui karena agama Islam dapat dibedakan dengan hal-hal yang bukan agama.[22]

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan. Keberadaan mereka tidak bisa mandiri tanpa berkaitan dengan yang lainnya, Hubungan manusia, masyarakat, dan kebudayaan pun berada dalam dialektika gamsut ini. Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi masyarakatnya, pada sisi yang lain, secara bersamaan, manusia secara kodrati senantiasa berhadapan dan berada dalam masyarakatnya, homosocius. Masyarakat telah ada sebelum seorang individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah dan sebagai hasil proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi; ia memperoleh dan berpegang pada suatu identitas. Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari masyarakat.

Suatu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara pihak yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan. Kelompok orang yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari Tuhan, dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan. Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan, karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia, dan sesungguhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya. Maupun kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan.

Daftar Pustaka

Alfian. 1981. Politik, kebudayaan, dan Manusia Indonesi. LP3ES. Jakarta.

Al-masdoosi, Ahmad Abdullah. 1962. Living Religions of the Word: a Socio-political Sudy, English Renderring by Zavar Ishaq Ansari karachi: Begum Aisha Bawany Wakf.

Anshari, Endang Saifuddin. 1980. Agama dan Kebudayaan. Surabaya: Bina Ilmu.

Asy’ari, Musa. 1999. Filsafat Islam Tentang Kebudayaan. LEFSI. Yogyakarta.

Berger, Peter L. 1991. Langit Suci; Agama Sebagai Realitas Sosial. LP3ES. Jakarta.

Ismail, Faisal. 1998. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis.

Kahmad, Dadang. 2006. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Kleden, Ignas.  Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan.  LP3ES. Jakarta.

Kuntjaraningrat. 1964. Pengantar Antropologi.Jakarta: Universitas Djakarta.

 .1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Peursen, Cornelis Anthonie A. Van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Piliang, Yasraf Amir. 2000.  Hiper Realitas Kebudayaan. Jakarta.

Soedjatmoko. 1980. Dimensi Manusia Dalam Pembangunan. LP3ES. Jakarta.

Suparlan, Parsudi.  Hak Budaya Komuniti Dalam Masyarakat Perkotaan. LP3ES.

Comments

Leave a Reply