Daftar isi
Metakognisi
Pada beberapa tahun terakhir ini metakognisi telah cukup luas digunakan, khususnya dalam dunia pendidikan, metakognisi seringkali dikaitkan dengan usaha mengoptimalkan kemampuan seseorang dalam pemecahan masalah (Gartman dan Freiberg, 1993: De Corte, 2003), memahami isi dari suatu topic bacaan (Wellman, 2008), mengoptimalkan hasil belajar yang dapat dicapai oleh peserta didik (Gama, 2004) atau meningkatkan kemampuan seseorang menjadi pembelajar yang sukses (Livingston, 1997). Pada prinsipnya usaha melibatkan metakognisi dalam berbagai kegiatan belajar diharapkan memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas belajar yang dilaksanakan.
1. Pengertian metakognisi
Sampai saat ini, belum tampak adanya kesamaan pendapat tentang definisi metakognisi (Panaoura dan Philippou, 2001). Namun secara umum terdapat kesamaan hakekat diantara pendapat-pendapat tentang metakognisi yang diberikan. Gambaran tentang perbedaan tersebut antara lain ditunjukkan oleh perbedaan pandangan antara dua orang pelopor studi tentang metakognisi yaitu Flavell dan Brown. Flavell cenderung memandang metakognisi dari aspek pengetahuan tentang kognisi seseorang, sementara Brown cenderung memandang metakognisi sebagai proses pengatur kognisi seseorang.
Meskipun Flavell dan Brown memiliki kecenderungan pandangan berbeda tentang metakognisi, namun keduanya berpandangan bahwa metakognisi mencakup dua aspek yang saling berkaitan dan saling bergantung satu sama lain. Flavell mengemukakan bahwa metakognisi terdiri dari (1) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan (2) pengalaman atau pengaturan metakognitif (metacognitive experience or regulation)(Flavell, 1979; Livingston, 1997). Di sisi lain, Brown juga membagi metakognisi menjadi: (1) pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition), dan (2) pengaturan kognisi (regulation of cognition) (Gay, 2002).
Selanjutnya akan ditinjau definisi secara konseptual tentang metakognisi. Secara sederhana metakognisi didefinisi sebagai berpikir tentang berpikir atau kognisi tentang kognisi seseorang (Nelson, 1992; Livingston, 1997; Gama, 2004). Terdapat beberapa difinisi tentang metakognisi yang berkembang dalam bidang psikologi kognitif, diantaranya Flavell (Lee dan Baylor, 2006) mendefinisikan: metakognisi sebagai penggunaan kemampuan untuk memahami dan memantau berpikirnya sendiri dan asumsi serta implikasi kegiatan seseorang. Metacognition as the ability to understand and monitor one’s own thoughts and the assumptions and implications of one’s activities.. pendapat ini menekankan metakognisi sebagai kemampuan untuk memahami dan memantau kegiatan berpikir, sehingga proses metakognisi tiap-tiap orang akan berbeda menurut kemampuannya.
Sementara itu, Brown (Lee dan Baylor, 2006) mendefinisikan metakognisi sebagai suatu kesadaran seseorang terhadap aktivitas kognitifnya; metode yang digunakan untuk mengatur proses kognitifnya dan suatu penguasaan terhadap bagaimana mengarahkan, merencanakan, dan memantau aktivitas kognitifnya. Metacognition as an awareness of one’s own cognitive activity; the methods employed to regulate one’s own cognitive processes; and a command of how one directs, plans, and monitors cognitive activity. Pendapat Brown ini menekankan metakognisi sebagai kesadaran terhadap aktivitas kognitif, dalam hal ini metakognisi berkaitan dengan bagaimana seseorang menyadari proses berpikirnya. Kesadaran tersebut akan terwujud pada cara seseorang mengatur dan mengelola aktivitas berpikir yang dilakukannya.
Panaoura dan Philippou (2001) mengemukakan metakognisi berkaitan dengan kesadaran dan pemantauan system kognitif diri sendiri dan penggunaan system tersebut. “Metacognition” refers to awareness and monitoring of one’s own cognitive system and the functioning of this system. Defenisi ini tampaknya telah menggabungkan dua defenisi sebelumnya yakni definisi oleh Flavell dan Brown dengan menegaskan bahwa metakognisi berkaitan dengan kesadaran dan pemantauan system berpikir yang dilakukan, dan bagaimana system tersebut berfungsi sesuai yang diharapkan.
Definisi metakognisi yang berbeda dikemukakan oleh Taylor dalam Pierce (2003), sebagai suatu penelitian tentang apa yang telah seseorang ketahui, bersamaan dengan suatu pengertian yang benar terhadap tugas belajar dan pengetahuan serta keterampilan apa yang dibutuhkan, dikombinasi dengan kelincahan membuat perhitungan yang benar tentang bagaimana menerapkan pengetahuan strategis seseorang pada situasi tertentu, dan melakukan secara efisien dan reliable, metacognition as an appreciation of what one already knows, together with a correct apprehension of the learning task and what knowledge and skills requires, combined with the agility to make correct inferences about how to apply one’s strategic knowledge to a particular situation, and to do so efficiently and realiably. Defenisi yang dikemukakan Taylor ini merupakan salah satu versi lain dari penggabungan defenisi oleh Flavell dan Brown, yakni metakognisi dipandang sebagai kesadaran seseorang terhadap pengetahuan yang dimilikinya berkaitan dengan suatu hal, dan bagaimana mengelola pengetahuan tersebut untuk diterapkan pada situasi tertentu.
Gambaran lebih jelas tentang metakognisi dapat dipahami dalam pengertian yang dikemukakan oleh Flavell (1985) (dalam Nur, 2000: 73) sebagai berikut:
“metakognisi adalah penggunaan pengetahuan seseorang berkenaan dengan proses dan produk tersebut,….metakognitif berhubungan, salah satu diantaranya, dengan pemonitoran aktif dan pengendalian ini dalam hubungannya dengan tujuan kognitif, pada mana proses-proses tersebut menunjang, umumnya dalam mendukung sejumlah tujuan konkret.
Pengetahuan metakognitif merujuk pada pengetahuan umum tentang bagaimana seseorang tentang proses belajarnya sendiri. Anderson dan Krathwohl (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi secara umum, seperti kesadaran-diri dan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri, pengetahuan kognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan tentang proses kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif. Sedangkan Nur (2000) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang kognitif terdiri dari informasi dan pemahaman yang dimiliki seseorang siswa tentang proses berpikirnya sendiri disamping pengetahuan tentang berbagai strategi belajar untuk digunakan dalam situasi pembelajaran tertentu. Misalnya, seseorang dengan tipe belajar visual mengetahui bahwa membuat suatu peta konsep merupakan cara terbaik baginya untuk memahami dan mengingat sejumlah besar informasi baru.
Sedangkan pengalaman metakognitif meliputi penggunaan strategi-strategi metakognitif atau regulasi metakognitif (Brown dalam Livington, 1997). Sejalan dengan itu, Nur (2000) menjelaskan bahwa pemonitoran strategi-strategi kemampuan siswa untuk memilih, menggunakan, dan memonitor strategi-strategi belajar yang cocok, cocok dengan gaya belajar mereka sendiri maupun dengan situasi tugas yang sedang dihadapi. Mengenai pentingnya kegiatan pemonitoran kognitif ini, Winkel (1996: 48) mengemukakan bahwa:
“Biarpun siswa diberikan berbagai strategi kognitif yang dapat digunakan dalam menyelesaikan problem tertentu, namun tidak berarti bahwa strategi-strategi itu dapat digunakan terhadap segala macam problem. Akhirnya siswa harus menyerap strategi-strategi itu, kemudian menentukan sendiri strategi mana yang cocok dengan masalah A dan mana yang cocok dengan B. Dengan kata lain, fleksibelitas dalam berpikir di pihak siswa merupakan sasaran instruksional yang sangat ideal.”
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan beberapa pakar di atas, maka dirumuskan pengertian metakognisi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengetahuan, kesadran dan control seseorang terhadap proses dan hasil berpikirnya, dalam mengembangkan perencanaan, memonitor pelaksanaan dan mengevaluasi proses berpikirnya dalam melakukan suatu tindakan, yang meliputi kesadaran tentang kognisi (awareness about cognitif) dan control atau pengaturan proses kognisi (control or regulation of cognition processes).
2. Komponen Metakognisi
Walaupun secara redaksional komponen-komponen metakognisi yang dikemukakan para pakar di atas sangat beragam, namun pada hakekatnya memberikan penekanan pada komponen-komponen yang hampir sama bahkan cenderung sama. Dua komponen utama dari metakognisi adalah: (a) pengetahuan seseorang tentang strategi-strategi kognitif serta bagaimana mengatur dan mengontrol strategi-strategi tersebut dalam belajar, berpikir, dan memecahkan masalah, dan (b) pengetahuan-diri dan bagaimana memilih serta menggunakan strategi belajar, berpikir, dan memecahkan masalah yang sesuai dengan keadaan dirinya
Flavell dalam Livington (1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu (a) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan (b) pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive experiences or reguloation). Pendapat yang serupa dikemikakan oleh Barker dan Brown, 1984; Gagne, 1993 dalam Nur (2000) bahwa metakognisi memiliki dua komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi dan (b) mekanisme pengendalian diri dan monitoring kognitif dan brown dalam Gama (2004) menyatakan bahwa komponen metakognisi terdiri dari: (a) pengetahuan tentang kognisi (knowledge of cognition) sebagai aktivitas yang mengandung kesadaran perekfleksian kemampuan dan, (b) regulasi kognisi (regulation of cognition) sebagai aktivitas yang berkaitan dengan mekanisme pengaturan diri (self-regulatory) selama berlangsungnya usaha belajar atau penyelesaian masalah. Sedangkan Hacker (2009), membagi komponen metakognisi menjadi tiga bagian yaitu, (a) knowledge and beliefs about cognition, (b) monitoring cognition, and (c) regulating cognition.
Pada kesempatan ini, Flavell (1979) meyakini bahwa pemantauan keragaman yang luas dari kegiatan kognitif berkaitan dengan aksi dan interaksi dari empat komponen yaitu:
a. Pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge)
b. Pengalaman metakognitif(metacognitive experiences)
c. Tujuan atau tugas-tugas (goals or tasks),
d. Aksi atau strategi (actions or strategies)
Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan sesorang mengenai proses berpikir yang merupakan perspektif pribadi dari kemampuan kognitif yang dimiliki. Pengetahuan metakognitif merupakan bagian dari pengetahuan seseorang yang tersimpan yang merupakan hasil interaksi dengan orang lain sebagai mahluk berpikir dengan cara berpikir, tujuan, tindakan dan pengalaman merekan yang berbeda. Pengalaman mereka yang berbeda. Pengalaman metakognitif adalah pengalaman kognitif atau afektif yang menyertai dan berhubungan dengan semua kegiatan kognitif. Dengan kata lain, pengalaman metakognitif adalah pertimbangan secara sadar dari pengalaman intelektual yang menyertai kegagalan atau kesuksesan dalam pelajaran. Tujuan atau tugas mengacu pada tujuan berpikir, seperti membaca dan memahami suatu bagian untuk suatu tujuan pada masa mendatang, yang akan mencetuskan penggunaan pengetahuan metakognitif dan mendorong kepengalaman metakognitif baru. Tindakan atau strategi menunjuk berpikir atau perilaku yang khusus yang digunakan untuk melaksanakannya, yang dapat membantu untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh, suatu pengalaman metakognitif dapat mengingatkan bahwa menggambarkan gagasan utama dari suatu bagian pada kesempatan sebelumnya dapat membantu meningkatkan pemahaman. Keterkaitan antara komponen-komponen tersebut adalah bahwa kemampuan seseorang untuk mengendalikan kognisinya tergantung pada tindakan dan interaksi antar komponen-komponen tersebut.
Marzano dkk (1988) menjelaskan bahwa metakognisi mencakup dua komponen, yaitu: (a) pengetahuan dan control diri, dan (b) pengetahuan dan control proses. Siswa yang berhasil adalah siswa yang secara sadar dapat memonitor dan mengontrol belajar mereka. Pusat dari pengetahuan-diri dan regulasi-diri adalah komitmen, sikap, dan perhatian. Sedangkan elemen dari pengetahuan dan control proses adalah: (a) pengetahuan penting dalam metakognitif dan (b) control pelaksanaan dari perilaku.
Terkait dengan penerapan kemampuan metakognitif pad ape,belajaran, Nur (2000) mengemukakan bahwa secara operasional kemampuan metakpognitif dapat diajarkan kepada peserta didik, seperti kemampuan-kemampuan untuk menilai pamahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka butuhkan untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang efektif untuk belajar atau memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak memahami sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk memprediksi apa yang cederung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat diterima oleh akal dan mana yang tidak.
Sedangkan Schoenfeld (1987) mengemukakan secara lebih spesifik tiga cara untuk menjelaskan tentang metakognitif dalam pembelajaran matematika, yaitu: (a) keyakinan dan intuisi, (b) pengetahuan, dan (c) kesadaran-diri (regulasi-diri). Keyakinan dan intuisi menyangkur ide-ide tersebut membentuk jalan/cara untuk memcahkan masalah matematika. Pengetahuan tentang proses berpikir menyangkut seberapa akuratnya seseorang dalam menggambarkan proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran-diri atau regulasi diri menyangkut seberapa baiknya seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukan ketika memecahkan ,masalah dan seberapa baiknya seseorang menggunakan input dari pengamatan untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas pemecahan masalah.
Sedangkan indicator-indikator metakognisi menurut Hacker (1998) tergambar dari pengertian metakognitif yang dikemukakannya dalam artikel yang berjudul “Metacognition: Defenitions and Empirical Foundations” bahwa metakognitif adalah proses berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri. Wujud dari berpikir dalam pengertian ini adalah: apa yang diketahui (yaitu pengetahuan metakognitif), apa yang dilakukan seseorang (yaitu keterampilan metakognitif), dan bagaimana keadaan kognitif dan efektif seseorang (yaitu pengalam metakognitif).
Huitt (1997) mengemukakan bahwa metekognitif mencakup kemampuan seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan berkaitan dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Apa yang saya ketahui tentang materi, topik, atau masalah ini?
b. Tahukah saya apa yang dibutuhkan untuk mengetahuinya?
c. Tahukah saya di mana dapat memperoleh informasi atau pengetahuan?
d. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya?
e. Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk mempelajarinya?
f. Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat?
g. Akankah saya tahu jika saya mempelajarinya secara cepat?
h. Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat sesuatu?
Berdasarkan beberapa pendapat tentang komponen metakognisi yang dikemukakan, maka komponen metakognisi pada penelitian ini adalah (a) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) sebagai aktivitas yang mengandung kesadaran perefleksi kemampuan, dan (b) pengalaman atau pengaturan metakognitif (metacognitive experiences or regulation) sebagai aktivitas yang berkaitan dengan mekanisme pengaturan diri (self-regulatory) selama berlangsungnya kegiatan pemecahan masalah.
a. Pengetahuan metakognitif
Berkaitan dengan pengetahuan metakognitif, Anderson & Krathwohl (2001) mengemukakan tiga aspek, yaitu: (a) pengetahuan strategik (strategic knowledge), (b) pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, termasuk pengetahuan kontekstual dan kondisional (knowledge about cognitive task), dan (c) pengetahuan (self-knowledge). Flavell dalam Livingston (1997) membagi pengetahuan metakognitif ke dalam tiga ketegori variable, yaitu variable pengetahuan-diri (individu), (b) variable tugas, dan (c) variable strategi.
Pengetahuan metakognitif mengacu pada pengetahuan umum tentang bagaimana manusia belajar dan memproses pelajaran diri sendiri. Menurut Flavell pengetahuan metakognitif terdiri dari pengetahuan utama atau kepercayaan tentang variable atau factor apa yang berlaku dan saling berhubungan. Lebih lanjut Flavell membagi pengetahuan metakognitif menjadi tiga kategori: variable individu, variable tugas dan variable strategi yang rinciannya sebagai berikut:
a. Variable individu, yaitu pengetahuan yang terkait dengan manusia sebagai manusia sebagai organisme kognitif atau pemikir; yaitu segala tindak tanduk kita adalah akibat dari cara berpikir kita. Variable individu dibagi menjadi: variable intra individu, variable antar individu, dan variable universal. Variable intra individu terkait dengan pengetahuan metakognitif yang berlaku pada diri seseorang, seperti mengatahui bahwa dirinya lebih menguasai mata pelajaran matematika disbanding mata pelajaran kimia. Variable antar individu terkait dengan pengetahuan metakognitif yang berlaku pada orang lain, yaitu dapat membandingkan atau membedakan kemamapuan kognitif orang lain, sebagai contoh mengetahui bahwa guru lebih lebih pandai dibanding dengan diri sendiri. Variable universal adalah pengetahuan metakognitif yang diperoleh dari budaya sendiri, misal mengetahui bahwa sebagai manusia seseorang melakukan kekhilafan, mula-mula paham apa yang dikatakan, lama kelamaan sadar kalau dirinya tidak paham.
b. Variable tugas adalah pengetahuan tentang bagaimana manusia mengetahui isi dan pesan suatu tugas kognitif. Sebagai contoh pada saat informasi yang disampaikan oleh guru sukar dan tidak akan diulangi, tentunya penerima informasi akan member lebih perhatian dan mendengar dengan memproses informasi itu dengan lebih teliti.
c. Variable strategi adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau mengatasi kesulitan yang timbul. Variable strategi berkaitan erat dengan pemantauan kognitif (cognitive monitoring0.
Terkait dengan pengetahuan, Paris, Cross dan Lipson (1984) menyatakan bahwa ada tiga macam pengetahuan, yakni:
· Pengetahuan deklaratif yang merupakan kemampuan untuk menggambarkan strategi berpikirnya. (declarative knowledge: the ability tp describe some thinking strategies).
· Pengetahuan procedural yang merupakan pengetahuan tentang bagaimana menggunakan strategi terpilih (procedural knowledge: knowledge of how to use the selected strategy).
· Pengetahuan kondisional yang merupakan pengetahuan mengenai kapan menggunakannya (conditional knowledge: knowledge of when to use it).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa, Declarative knowledge is the factual information that one knows; it can be declared-spoken or written. Procedural knowledge is knowledge of how to do something, of how to perform the steps in a process; for example, knowing the mass of an object and its rate of speed and how to do the calculation. Conditional knowledge is knowledgeabout when to use a procedure, skil, or strategy and when not to use it; why a procedure works and under what conditions; and why one procedure is better than another. For example, students need to recognize that an exam word problem requires the calculation of momentum as part of is solution.
Pengetahuan deklaratif mengacu kepada pengetahuan tentang fakta dan konsep-konsep yang dimiliki seseorang atau factor-faktor yang mempengaruhi pemikirnya dan perhatiannya dalam pembelajaran. Pengetahuan deklaratif adalah informasi factual (berdasarkan fakta-fakta yang sesungguhnya) yang dimengerti seseorang, yang dapat disebutkan atau ditulis.
Pengetahuan procedural adalah pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu, bagaimana melakukan langkah-langkah dalam suatu proses. Pengetahuan procedural mengacu kepada kesadaran seseorang tentang bagaimana cara menggunakan suatu strategi, yaitu: strategi kognitif atau strategi metakognitif dalam pembelajaran. Pengetahuan procedural adalah langkah-langkah mental, proses yang menggambarkan bagaimana kita sampai pada sebuah informasi atau detil tentang bagaimana sebuah operasi/langkah kognitif dilaksanakan.
Sedangkan pengetahuan kondisional mengacu kepada kesadran seseorang akan kondisi yang mempengaruhi belajarnya, yaiotu: kapan suatu strategi (strategi kognitif atau strategi metakognitif) seharusnya diterapkan, mengapa menerapkan suatu strategi (strategi kognitif atau strategi metakognitif), dan kapan strategi (strategi kognitif atau strategi Metakognitif) yang diterapkan ini tepat dalam pembelajaran.
Berdasarkan dimensi pengetahuan dan proses kognitif, menurut Anderson dan Krathwohl (2001), selain terdapat tiga katagori pengetahuan, yaitu pengetahuan faktual (factual knowledge), pengetahuan konseptual (conceptual knowledge), pengetahuan prosedural (procedural knowledge), dan ditambahkan yang keempat yaitu pengetahuan metakognitif (metakognitif knowledge).
Pengetahuan factual berkaitan dengan hal-hal dasar yang harus diketahui siswa jika mereka menyelesaikan suatu masalah. Hal-hal dasar berupa symbol yang dihubungkan dengan kondisi yang nyata atau “string of symbol” yang menyampaikan informasi penting. Pengetahuan factual dapat dipisahkan sebagai elemen dari informasi yang dipercaya mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Pengetahuan factual memasukkan dua sub tipe pengetahuan yakni: pengetahuan mengenai istilah (knowledge of specific details and elements).
Pengetahuan konseptual adalah hubungan timbal balik antara elemen-elemen dasar dalam struktur yang lebih luas yang memungkinkan mereka untuk berfungsi bersama-sama. Pengetahuan konseptual memasukkan tiga subtipe pengetahuan yakni: pengetahuan klasifikasi dan katagori (knowledge of classification and category), pengetahuan prinsip dan generalisasi (knowledge of principles and generalizations) dan pengetahuan mengenai teori dan struktur (knowledge of theories, models and structures). Teori ini mewakili pengetahuan individu tentang bagaimana suatu bagian materi diorganisasikan dan disusun dalam suatu system.
Pengetahuan procedural adalah pengetahuan mengenai bagaimana melakukan sesuatu, langkah-langkah dan kriteria untuk menggunakan keterampilan, algoritma, teknik dan metode-metode yang secara umum dikenal sebagai prosedur. Pengetahuan procedural memasukkan tiga subtipe pengetahuan yakni: pengetahuan mengenai keterampilan khusus dan algoritma (knowledge of subject specific skills and algoritma), pengetahuan mengenai teknik khusus dan metode (knowledge of subject specific techniques and method) dan pengetahuan mengenai kriteria untuk menentukan kapan prosedur yang sesuai digunakan (knowledge of criteria for determining when to use appropriate procedures).
Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan mengenai kognisi secara umum seperti kesadaran dan pengetahuan seseorang mengenai kondisinya. Pengetahuan ini membuat siswa lebih teliti dan responsip terhadap pengetahuan dan pikiran mereka. Pengetahuan metakoknisi memasukkan tiga subtype pengetahuan yakni pengetahuan strategis (strategis knowledge), pengetahuan mengenai pengetahuan kontekstual dan kondisional (knowledge about approprote contextual and conditional knowledge), dan pengetahuan tentang diri sendiri mengenai kekuatan diri sendiri, kelemahannya dan kesadaran atas tingkat pengetahuannya sendiri (self knowledge).
Aspek lain dari pengetahuan metakognisi adalah self afficacy atau pemikiran siswa mengenai dirinya sendiri. Diyakini bahwa tingkat harapan yang rendah merupakan sumbangan utama terhadap kegagalan sebab mereka merasa bahwa perilaku dan keadaan seperti itu adalah bawaan sejak lahir dan seseorang tidak mampu mengubahnya (Reutzel dalam Dantonio dan Beisenherz, 2001). Keyakinan seseorang dalam hal kemampuan diri dapat memberi dampak buruk bagi motivasinya untuk membangun strategi metakognitif. Jika seseorang ykin bahwa dia sangat tidak bias mengerjakan soal matematika cerita, ketika dihadapkan dengan soal cerita matematika, meraka cenderung akan ragu-ragu untuk bertindak maju. Sebab mereka percaya bahwa tidak mungkin bagi mereka memecahkan soal cerita matematika, merka kurang termotivasi untuk memonitor dan mengatur upaya-upaya mereka (Hacker, 1998).
Gama (2004), menyatakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang dan tersimpan di dalam memori jangka panjang, berarti pengetahuan tersebut dapat diaktifkan/dipanggil kembali sebagai hasil dari suatu pencarian memori yang dilakukan secara sadar dan disengaja, atau diaktifkan tanpa disengaja/secara otomatis muncul ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan tertentu. Pengetahuan metkognitif dapat digunakan tanpa disadari. Karena itu, pengetahuan yang muncul melalui kesadaran dan dilakukan secara berulang akan berubah menjadi suatu pengalaman, sehingga disebut pengalaman metakognitif.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengetahuan metakognitif yang dikemukakan, maka pengetahuan metakognitif dalam penelitian ini adalah kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri yang terdiri dari pengetahuan deklaratif atau pengetahuan factual, pengetahuan procedural dan pengetahuan kondisional dalam pemecahan masalah matematika.
b. Pengalaman Metakognitif
Flavell dalam Gamma (2004), menyatakan bahwa pengalaman metakognitif adalah suatu pengalaman kognitif atau pengalaman afektif yang menyertai tindakan kognitif. Dengan kata lain, pengalaman metakognitif adalah pertimbangan secara sadar pengalaman intelektual yang menyertai setiap kegagalan atau keberhasilan dalam belajar atau pengalaman kognitif yang lain. Flavell dalam Gama (2004), menegaskan bahwa kebanyakan dari pengalaman semacam ini berhubungan dengan dimana ketika berada dalam tugas dan mencatat kemajuan macam apa yang telah dicapai oleh seseorang. Lebih lanjut Flavell mengemukakan bahwa pengalaman metakognitif juga dapat terjadi pada setiap waktu sebelumnya, setelah, atau selama terjadinya pengalaman kognitif. Flavell menyimpulkan bahwa pengalaman metakognitif lebih mungkin untuk terjadi dalam situasi yang mememrlukan kehati-hatian dan dengan kesadaran yang tinggi, berfikir reflektif, sebagai contoh, dalam situasi yang memerlukan perencanaan sebelumnya, atau tindakan dan keputusan berat dan penuh resiko.
Menurut Brown dalam Livingstone (1997), pengalaman-pengalaman metakognitif melibatkan strategi-strategi metakognitif atau pengaturan metakognitif. Strategi-strategi metakognitif merupakan proses-proses yang berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktifitas-aktivitas kognitif dan memastikan bahwa tujuan kognitif telah tercapai. Proses ini terdiri dari perencanaan dan pemantauan aktivitas-aktivitas kognitif serta evaluasi terhadap hasil aktivitas-aktivitas ini. Aktivitas-aktivitas perencanaan seperti menentukan tujuan dan analisis tugas membantu mengaktivasi pengetahuan yang relevan sehingga mempermudah pengorganisasian dan pemahaman materi pelajaran. Aktivitas-aktivitas pemantauan meliputi perhatian seseorang ketika ia membaca, dan membuat pertanyaan atau pengujian diri. Aktivitas-aktivitas ini membantu dalam memahami materi dan mengintegrasikannya dalam pengetahuan awal. Aktivitas-aktivitas pengetahuan meliputi penyesuaian dan perbaikan aktivitas-aktivitas kognitif. Aktivitas-aktivitas ini membantu peningkatan prestasi dengan cara mengawasi dan mengoreksi perilakunya pada saat ia menyelesaikan tugas. Sebagai contoh, setelah membaca sebuah soal matematika, peserta didik menanyakan kepada dirinya sendiri tentang konsep-konsep yang mendasari, rumus yang cocok untuk menyelesaikan soal. Tujuan kognitifnya adalah untuk memahami soal tersebut. Kegiatan bertanya kepada diri sendiri tersebut merupakan strategi-strategi metakognitif.
c. Strategi Metakognitif
Winkel (1996) mengemukakan bahwa strategi kognitif atau pengaturan kegiatan kognitif merupakan suatu cara seseorang dalam menangani aktivitas kognitifnya sendiri, khususnya dalam belajar dan berpikir. Lebih lanjut dijelaskan bahwa orang yang mampu mengatur dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri akan jauh lebih efisien dan efektif dalam mempergunakan semua konsep dan kaidah yang pernah dipelajari, disbanding dengan orang yang tidak memilikinya. Sedangkan Gagne (1975) mengemukakan bahwa strategi kognitif adalah kapabilitas-kapabilitas yang secara internal terorganisasi yang memungkinkan seseorang menggunakannya untuk mengatur cara ia belajar, mengingat, dan berpikir. Seseorang menggunakan strategi kognitif ketika dia mengikuti berbagai uraian dari apa yang sedang ia baca, apa yang ia pelajari, baik yang menyangkut keterampilan intelektual maupun yang menyangkut informasi.
Dipihak lain, strategi metakognitif merujuk kepada cara meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir dan proses belajar yang terjadi. Apabila kesadaran ini ada, seseorang dapat mengontrol pikirannya dalam merancang, memantau dan menilai apa yang dipelajari. Oleh sebab itu dalam menggunakan strategi metakognitif seseorang akan dapat mengontrol belajarnya melalui proses berikut: (i) Merancang apa yang hendak dipelajari (ii) Memantau kemajuan pembelajaran diri (iii) Menilai apa yang dipelajari.
Secara lebih rinci ketiga tahap dalam strategi metakognitif, dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Proses Merancang
Pada proses ini peserta didik perlu melakukan:
1) Menduga apakah yang dipelajari, bagaimana masalah itu dikuasai dan kesan dari masalah yang dipelajari;
2) Menyediakan diri secara fisik, mental dan psikologi;
3) Membuat perancang dari suatu cara ke cara yang terbaik untuk memperoleh jawaban dari suatu masalah.
b. Proses Memantau
Dalam proses pmbelajaran, peserta didik perlu bertanya kepada diri sendiri dari suatu masalah ke masalah yang lain, seperti:
1) Apakah masalah yang dapat saya kerjakan?
2) Apakah ini membawa makna kepada saya?
3) Bagaimanakah masalah ini dapat dijelaskan?
4) Mengapakah saya tidak memahami cerita ini?
c. Proses Menilai
Melalui proses ini, peserta didik perlu membuat refleksi untuk mengetahui:
1) Bagaimana sesuatu keterampilan, nilai dan pengetahuan ia kuasai?
2) Mengapakah saya mudah/sukar menguasainya?
3) Apakah tindakan yang harus saya ambil?
Terkait dengan pemecahan masalah, North Central Regional Educational Laboratory (NCREL, 1995) mengemukakan tiga elemen dasar metakognisi secara khusus dalam menghadapi tugas, yaitu:
a. Developing a plan of action – mengembangkan rencana tindakan.
b. Maintaining/monitoring the action – memonitor tindakan.
c. Evaluating the action – mengevaluasi tindakan.
Lebih jauh NCREL memberikan petunjuk pelaksanaan ketiga elemen metakognisi tersebut sebagai berikut:
Aktivitas yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan, ketika mengembangkan rencana tindakan, tanya pada diri sendiri:
a. Pengetahuan awal apa yang bias membantuku menyelesaikan tugas ini?
b. Ke arah mana pikiranku ini akan membawaku?
c. Apa yang pertama kali harus aku lakukan?
d. Mengapa aku membaca bagian ini?
e. Berapa lama aku harus menyelesaikan tugas ini?
Aktifitas yang dilakukan selama melakukan kegiatan, ketika memonitor rencana tindakan, tanya pada diri sendiri:
a. Bagaimana aku melakukannya?
b. Apakah aku sudah berada di jalan yang benar?
c. Bagaimana seharusnya aku melanjutkannya?
d. Informasi apa yang penting untuk diingat?
e. Haruskah aku pindah ke cara yang berbeda?
f. Haruskah aku melakukan penyesuaian langkah berkaitan dengan kesulita?
Aktivitas yang dilakukan sesudah melakukan kegiatan, ketika mengevaluasi tindakan, Tanya pada dirimu sendiri:
a. Seberapa baik yang telah aku lakukan?
b. Apakah wacana berpikir khusus ini akan menghasilkan hasil yang lebih atau kurang dari yang aku lakukan?
c. Apakah aku sudah dapat melakukan dengan cara yang berbeda?
d. Mungkinkah aku menerapkan cara ini untuk masalah yang lain?
e. Apakah aku perlu kembali ke tugas awal untuk memenuhi bagian pemahaman saya yang kurang?
Sedangkan indicator-indikator metakognisi menurut Hecker tergambar dari pengertian metakognitif yang dikemukannya dalam artikel yang berjudul “Metacognition: Definitions and Empirical Foundation” bahwa metakognitif adalah proses berpikir tentang tentang berpikirnya sendiri. Wujud dari berpikir dalam pengertian ini adalah: apa yang seseorang ketahui (yaitu pengetahuan metakognitif), apa yang dilakukan seseorang (yaitu keterampilan metakognitif), dan bagaimana keadaan kognitif dan afektif seseorang (yaitu pengalaman metakognitif).
Huitt (1997) mengemukakan bahwa metakognisi mencakup kemampuan seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan berkaitan dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Apa yang saya ketahui tentang materi, topic, atau masalah ini?
b. Tahukah saya yang dibutuhkan untuk mengetahuinya?
c. Tahukah saya dimana dapat memperoleh informasi atau pengetahuan?
d. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya?
e. Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk memelajarinya?
f. Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat?
g. Apakah sata tahu jika saya mempelajarinya secara cepat?
h. Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat sesuatu?
Mengenai peranan pengetahuan strategi kognitif dalam pembelajaran, Gagne (1975) mengemukakan bahwa para ahli pendidikan sepakat bahwa sangatlah besar manfaatnya jika pendidik memberikan kesempatan keada setiap peserta didik untuk mempelajari berbagai strategi kognitif. Semakin banyak strategi kognitif yang dipelajari siswa dalam mengikuti, mengkode, menyimpan, mentransfer, dan memecahkan masalah, maka semakin menjadikan siswa menjadi “self-learner” dan pemikir yang independen. Sedangkan Weinstein & Meyer dalam Nur (2000) menjelaskan bahwa: “pengajaran yang baik meliputi mengajarkan peserta didik tentang bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berpikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka sendiri”. Bahkan lebih jauh dijelaskan bahwa mengajarkan peserta didik bagaimana belajar merupakan suatu tujuan utama pendidikan. Pendapat ini menunjukkan bahwa mengajarkan peserta didik tentang berbagai strategi belajar (strategi kognitif) merupakan suatu hal yang sangat penting dan mutlak.
Anderson & Krathwohl (2001) mengemukakan tiga macam strategi kognitif yang sangat penting untuk diajarkan kepada siswa adalah (a) strategi mengulang (rehearsal), (b) strategi elaborasi (elaboration), dan (c) strategi organisasi (organizational). Strategi mengulang adalah cara menghafal bahan-bahan pelajaran ke dalam ingatan dengan cara mengulang-ulang bahan tersebut. Strategi mengulang ada dua macam, yaitu mengulang sederhana, misalnya menghafal nomor telepon dan mengulang kompleks, misalnya menggarisbawahi dan membuat catatan pinggir.
Starategi elaborasi adalah proses menambahkan rincian pada informasi baru sehingga menjadi lebih bermakna. Strategi elaborasi membantu memindahkan informasi baru dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang dengan menciptakan gabungan dan hubungan antara informasi baru dengan apa yang telah diketahui. Beberapa contoh strategi elaborasi yang penting antara lain: pembuatan catatan secara matriks, penggunaan analogi, menyeleksi ide utama dari buku teks, dan penggunaan metode PQ4R (preview, question, read, reflect, recite, & review) (Anderson &Krathwohl, 2001; Mohamad Nur, 2000).
Strategi organisasi adalah mengenali atau mengambil ide-ide pokok dari kempulan banyak informasi (Mohamad Nur, 2000). Sedangkan bentuk dari strategi organisasi dapat berupa pengelompokan ulang ide-ide atau istilah-istilah atau membagi ide-ide atau istilah-istilah itu menjadi subset yang lebih kecil. Ada beberapa strategi organisasi yang penting untuk diajarkan kepada peserta didik antara lain membuat kerangka garis besar (outlining), dan menggambar peta konsep (mapping).
Tugas kognitif lain yang berkaitan dengan pengetahuan strategi kognitif adalah pemecahan masalah. Anderson &Krathwohl (2001) menjelaskan bahwa pengetahuan strategi adalah pengetahuan tentang strategi umum untuk belajar, berpikir, dan pemecahan masalah. Lebih lanjut mereka kemukakan bahwa strategi pemecahan masalah antara lain meliputi berbagai heuristic yang dipergunakan oleh peserta didik dalam menyelesaikan masalah. Winkel (1996) menjelaskan bahwa penggunaan heuristic dalam menghadapi masalah akan menyalurkan pikiran peserta didik, sehingga dia tidak bekerja secara membabi buta atau mencoba-coba tanpa arah. Misalnya, dalam menghadapi soal-soal perhitungan yang disajikan dalam bentuk bahasa (soal cerita), maka membuat gambar merupakan salah satu heuristic yang dapat membantu untuk menemukan pemecahannya. Winkel (1996) mengemukakan beberapa cara atau strategi dalam menemukan pemecahan suatu masalah, antara lain (a) bekerja mundur dan (b) bekerja maju. Strategi bekerja mundur yaitu bertitik tolak dari tujuan yang telah diketahui dan menemukan jalan/sarana untuk menuju ke sana. Sedangkan strategi bekerja maju yaitu berangkat dari garis awal dan kemudian memikirkan berbagai jalan untuk sampai pada garis finis/tujuan, bahkan dengan jalan mencobanya. Strategi kognitif memang tidak dapat dipisahkan secara tajam dengan strategi metakognitif, bahkan seringkali strategi kognitif dan strategi metakognitif berhimpitan (overlap) dalam lingkup yang sama (Livingston, 1997).
3. Tingkat Metakognisi
Berkenaan dengan tingkatan metakognisi seseorang, Swart dan Perkins dalam NCREL (1989), membedakan empat tingkatan metakognisi: tacit use, awere use, strategic use, dan reflective use yang merupakan pengembangan kemampuan metakognitif. Tingkat tacit use, adalah tingkatan metakognisi seseorang yang pada saat diminta alas an tentang proses yang dilakukan dinyatakan bahwa keputusan yang diambil tanpa memikirkannya. Sebagai contoh, saat seseorang diminta memberi alas an mengapa ia memilih suatu langkah penyelesaian masalah, ia mengatakan bahwa memang seharusnya begitu seperti yang diajarkan oleh guru. Tingkat awere use, adalah tingkatan metakognisi seseorang yang menyadari tentang apa dan mengapa melakukan proses berpikir tertentu. Sebagai contoh, seseorang menyadari bahwa ia harus menggunakan suatu langkah penyelesaian masalah dengan memberikan penjelasan mengapa ia menggunakan masalah tersebut. Tingkat strategic use, adalah tingkatan metakognisi seseorang yang dapat mengatur pemikiran sendiri, secara sadar menggunakan strategi-strategi khusus yang meningkatkan ketepatan berpikirnya. Sebagai contoh, seseorang dapat memberikan argumen-argumen yang mendukung apa yang telah dipikirkannnya. Tingkat reflective use, adalah tingkatan metakognisi seseorang yang ditunjukkan dengan adanya kemampuan merfleksi berpikirnya sendiri, sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung, memikirkan bagaimana untuk melanjutkan dan bagaimana memperbaiki. Berdasarkan uraian di atas dapat disusun indikator tingkatan metakognisi sebagai berikut.
Tabel 2.1. Indiator Tingkatan Metakognisi
Tingkatan Metakognisi | Indikator |
Tacit useAwere useStrategic useReflective use | Tidak memikirkan keputusan yang diambil atas proses berpikir yang dilakukan.Menyadari tentang apa dan mengapa melakukan pemikiran tertentu.Dapat mengatur pemikiran sendiri, secaara sadar menggunakan strategi-strategi khusus yang meningkatkan ketepatan berpikirnyaMemiliki kemampuan merefleksi berpikirnya sendiri baik sebelum, sesudah dan selama proses berlangsung serta memikirkan bagaimana untuk melanjutkan dan bagaimana untuk melajutkan dan bagaiman memperbaiki. |
Note: daftar pustaka menyusul