Laporan Praktikum Dasar-Dasar Ilmu Tanah – Penyiapan Contoh Tanah

8 min read

Jenis Jenis Tanah dan PRaktikum Persiapan Sampel Tanah

Berikut ini adalah contoh laporan praktikum dasar-dasar ilmu tanah. Topik dari praktikum ini adalah penyiapan contoh tanah.

Penyiapan Contoh Tanah

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Makhluk hidup yang dapat menghasilkan makanannya sendiri hanyalah tumbuhan. Manusia dan hewan sangat bergantung hidupnya pada ketersediaan tumbuhan. Maka dari itu, tanah sebagai media utama yang disediakan alam untuk tempat tumbuh tanaman haruslah dikelola dengan baik.

Pada masa pembangunan seperti sekarang tanah yang awalnya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian sudah mengalami perubahan menjadi pemukiman penduduk. Desa-desa berkembang menjadi kota. Semakin bertambahnya populasi manusia bertambah pula kebutuhan tanah untuk bermukim, sehingga lahan pertanian akan semakin berkurang sedangkan kebutuhan pangan manusia semakin meningkat. Hal ini sudah menjadi fenomena umum dalam kehidupan. Oleh karena itu tanah harus digunakan sebaik-baiknya dan seefisien mungkin.

Agar jumlah produksi meningkat, dibutuhkan media yang baik bagi tumbuh kembang tanaman. Media yang baik bagi pertumbuhan tanaman harus mampu menyediakan kebutuhan tanaman seperti air, udara, unsur hara, dan terbebas dari bahan-bahan beracun dengan konsentrasi yang berlebihan. Maka dari itu, sifat-sifat tanah sangat penting untuk dipelajari agar dapat memberikan media tumbuh yang ideal bagi tanaman. Pengambilan contoh tanah menjadi tahapan penting untuk mengetahui sifat-sifat fisik tanah agar dapat menggambarkan keadaan tanah di lapang.

B. Tujuan 

Menyiapkan contoh tanah kering udara berdiameter 2mm dan 0,5 mm.

Bab II. Kajian Pustaka

Tanah merupakan hasil evolusi dan mempunyai susunan teratur yang unik dan terdiri dari lapisan-lapisan atau horizon-horison yang berkembang secara genetik. Proses-proses pembentukan tanah atau perkembangan horizon dapat dilihat sebagai penambahan, pengurangan atau translokasi (Foth, 1988).

Pengambilan contoh tanah merupakan tahapan penting untuk penetapan sifat-sifat fisik tanah di laboratorium. Sifat-sifat fisik tanah yang dapat ditetapkan di laboratorium mencakup berat volume (BV), berat jenis partikel (PD = particle density), tekstur tanah, permeabilitas tanah, stabilitas agregat tanah, distribusi ukuran pori tanah termasuk ruang pori total (RPT), pori drainase, pori air tersedia, kadar air tanah, kadar air tanah optimum untuk pengolahan, plastisitas tanah, pengembangan atau pengerutan tanah (COLE = coefficient of linier extensibility), dan ketahanan geser tanah (Suganda et al, 2006).

Pengenalan sifat fisik tanah ditujukan untuk mengetahui kondisi fisik sebenarnya di lapangan. Dengan mengetahui kondisi fisik tanah tersebut dapat diperkirakan tingkat produktivitas tanah dan sampai sejauh mana diperlukan tindakan pengolahan tanah untuk memperbaiki kondisi tanah tersebut atau tindakan TOT (Tanpa Olah Tanah) lebih sesuai diterapkan sehingga efisien dan efektif dinilai dari aspek ekonomi dan konservasi tanah (Asmin et al, 2006).

Soil Taxonomy USDA System adalah suatu sistem klasifikasi tanah  yang bersifat universal. Hampir semua negara di dunia menggunakan sistem ini untuk mengklasifikasi tanah, meskipun ada sistem yang lain seperti sistem FAO Unesco. Di Indonesia terdapat sistem klasifikasi tanah, yaitu sistem Pusat Penelitian Tanah dan sistem tersebut juga masih dipakai. Soil Taxonomy USDA merupakan sistem yang dapat diterima oleh semua pihak karena dalam pengklasifikasian tanah mendasarkan pada sifat tanah yang ditemukan di lapang dan dapat diukur secara kuantitatif. Selain itu, sistem ini juga berhubungan dengan genesis tanah yang membentuk morfologi tanah tersebut. Hal ini membuat sistem tersebut bersifat terbuka untuk tanah-tanah baru yang berbeda dengan tanah yang ditemukan sebelumnya (Wiyono et al, 2006).

Dalam sistem klasifikasi tanah PPT-Bogor dikenal 20 golongan tanah yaitu:

  1. Organosol: merupakan tanah yang mempunyai horison histik setebal 50 cm atau lebih dengan bulk density (berat volume) yang rendah.
  2. Litosol: merupakan tanah yang dangkal yang terdapat pada batuan yang kukuh sampai kedalaman 20 cm dari permukaan tanah.
  3. Ranker: merupakan tanah dengan horison A umbrik dengan ketebalan 25 cm dan tidak mempunyai horison daignostik lainnya.
  4. Rendzina: merupakan tanah dengan horison A molik yang terdapat diatas batu kapur dengan kadar kalsium karbonat lebih dari 40 persen.
  5. Grumosol: merupakan tanah dengan kadar liat lebih dari 30 persen, bersifat mengembang jika basah dan retak-retak jika kering. Retak (crack) dengan lebar 1 cm dan dengan kedalaman retak hingga 50 cm dan dijumpai gilgai atau struktur membaji pada kedalaman antara 25 – 125 cm dari permukaan.
  6. Gleisol: merupakan tanah yang memperlihatkan sifat hidromorfik pada kedalaman 0 – 50 cm dari permukaan dan dijumpai horison histik, umbrik, molik, kalsik atau gipsik.
  7. Aluvial: merupakan tanah yang berkembang dari bahan induk alluvial muda, terdapat stratifikasi dengan kadar C organik yang tidak teratur. Horison permukaan dapat berupa horison A okrik, horison histik atau sulfuric.
  8. Regosol: merupakan tanah yang bertekstur kasar dari bahan albik dan tidak dijumpai horison penciri lainnya kecuali okrik, hostol atau sulfuric dengan kadar pasir kurang dari 60 persen pada kedalaman antara 25 – 100 cm dari permukaan tanah.
  9. Koluvial: merupakan tanah yang tidak bertekstur kasar dari bahan albik, tidak mempunyai horison diagnostik lainnya kecuali horison A umbrik, histik atau sulfurik.
  10. Arenosol: merupakan tanah yang bertekstur kasar dari bahan albik yang terdapat pada kedalaman kurang dari 50 cm dari permukaan tanah dan hanya mempunyai horison A okrik.
  11. Andosol: merupakan tanah yang berwarna hitam sampai coklat tua dengan kandungan bahan organik tinggi, remah dan porous, licin (smeary) dan reaksi tanah antara 4.5 – 6.5. Horison bawah-permukaan berwarna coklat sampai coklat kekuningan dan kadang dijumpai padas tipis akibat semenatsi silika. Horison A dapat terdiri dari molik atau umbrik yang terdapat diatas horison kambik. Ciri lainnya adalah BV rendah (< 85 g/cm3) dan kompleks pertukaran didominasi oleh bahan amorf. Tanah ini dijumpai pada daerah dengan bahan induk vulkanis mulai dari pinggiran pantai sampai 3000 m diatas permukaan laut dengan curah hujan yang tinggi serta suhu rendah pada daerah dataran tinggi.
  12. Latosol: merupakan tanah yang mempunyai distribusi kadar liat tinggi (>60%), KB < 50%, horison A umbrik dan horison B kambik.
  13. Brunizem: merupakan tanah yang mempunyai distribusi kadar liat tinggi (>60%), gembur, KB > 50%, horison A molik dan horison B kambik.
  14. Kambisol: merupakan tanah yang mempunyai horison B kambik dan horison A umbrik atau molik, tidak terdapat gejala hidromorfik.
  15. Nitosol: merupakan tanah yang mempunyai horison B argilik dengan penurunan liat kurang dari 20% terhadap liat maksimum, tidak ada plintit, tidak mempunyai sifat vertik tetapi mempunyai sifat ortoksik (KTK dengan amoniumasetat < 24 cmpl/kg liat).
  16. Podsolik: merupakan tanah yang mempunyai horison B argilik, kejenuhan basa < 50% dan tidak mempunyai horison albik.
  17. Mediteran: merupakan tanah yang mempunyai horison argilik dengan kejenuhan basa > 50% dan tidak mempunyai horison albik.
  18. Planosol: merupakan tanah yang mempunyai horisol E albik yang terletak diatas horison argilik atau natrik, perubahan tekstur nyata, adanya liat berat atau fragipan di dalam kedalam 125 cm. Pada horison E albik dijumpai cirri hidromorfik.
  19. Podsol: merupakan tanah yang mempunyai horison B spodik.
  20. Oksisol: merupakan tanah yang mempunyai horison B oksik (Dudal et al, 1957).

Bab III. Metode Praktikum

A. Alat dan Bahan

Pada praktikum penyiapan contoh tanah, alat utama yang digunakan adalah mortir dan penumbuknya serta saringan. Ukuran saringan yang dibutuhkan yaitu yang memiliki diameter lubang 2mm, 1mm, dan 0,5 mm. Selain itu, dibutuhkan pula tambir untuk peranginan, kantong plastik, spidol dan label.

Bahan yang dibutuhkan pada praktikum ini sangat mudah di dapat. Cukup dengan mengambil tanah terganggu dari lapang dalam jumlah yang diperlukan. Tanah tersebut sebelum digunakan harus sudah dikeringanginkan selama kurang lebih satu minggu.

B. Prosedur Kerja

  1. Contoh tanah yang sudah dikeringanginkan ditumbuk dalam mortar secara hati-hati, kemudian diayak dengan saringan berturut-turut dari yang berdiameter 2mm, 1mm dan 0,5mm. Contoh tanah yang tertampung diatas saringan 1mm adalah contoh tanah yang berdiameter 2mm, sedang yang lolos saringan 0,5mm adalah contoh tanah halus (<0,5).
  2. Contoh tanah yang diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastic dan diberi label seperlunya.

Bab IV. Pembahasan

 Setiap tanah memiliki suatu morfologi tertentu yang dihubungkan dengan suatu kombinasi faktor-faktor pembentuk tanah yang khas. Terdapat beberapa jenis tanah yang digunakan dalam praktikum acara I, diantaranya: vertisol, andisol, inceptisol, entisol dan ultisol.

A. Vertisol

 Vertisol adalah tanah hitam dan subur, dapat terbentuk dari berbagai macam bahan induk tanah. Tanah ini mempunyai sifat yang retak-retak bila kering. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa warna tanah Vertisol bevariasi, dengan hue berkisar dari 2.5Y hingga 10YR, value bervariasi dari 2 hingga 6, dan kroma berkisar dari 0 hingga 4. Mineral liat didominasi oleh smektit, dengan sedikit kaolinit, illit atau vermikulit. Pembentukan tanah Vertisol terjadi melalui dua proses utama, pertama adalah proses terakumulasinya mineral 2:1 (smektit), dan yang kedua adalah proses mengembang dan mengkerut yang terjadi secara periodik sehingga membentuk slickenside atau relief mikro gilgai. Kation dapat ditukar yang mendominasi Vertisol sangat tergantung pada bahan induk tanahnya.

Vertisol yang berasal dari bahan volkan didominasi oleh kation dapat tukar Ca++ diikuti oleh Mg++, yang berasal dari batu gamping didominasi oleh Ca++, sedangkan yang berasal dari ultrabasa peridotit didominasi oleh Mg++. Nilai kapasitas tukar kation dari Vertisol tergolong tinggi hingga sangat tinggi dengan pH berkisar antara 5,5 hingga 7,4. Penggunaan tanah ini untuk pertanian harus memperhatikan tingginya kandungan kation Ca++ dan Mg++, serta pengelolaan air untuk menghindarkan tanah dari kondisi kering (Prasetyo, 2007).

Tanah vertisol termasuk tanah yang unik diantara tanah mineral yang berkembang dari batuan kapur. Kandungan liat yang tinggi menyebabkan tanah ini mampu mengembang dan mengkerut. Kandungan bahan organik pada tanah vertisol umumnya antara 1,5 – 4 %.

B. Andisol

Tanah andisol merupakan tanah abu volkan yang mempunyai sifat-sifat khusus terutama kapasitasnya yang sangat besar dalam menjerap P. Jerapan P ini menyebabkan pemupukan P pada tanah ini kurang efisien. Tanah ini mempunyai unsur hara yang cukup tinggi, sehingga tanah jenis ini baik untuk ditanami. Kebanyakan tanah Andisol memiliki pH antara 5 – 7, dan memiliki kandungan C-organik berkisar antara 2-5%.

C. Inceptisol

Tanah Inceptisol (inceptum atau permulaan) dapat disebut tanah muda karena pembetukannya agak cepat sebagai hasil pelapukan bahan induk, kandungan bahan organiknya berkisar antara 3-9 % tapi biasanya sekitar 5% . (Saridevi et al, 2013). Tanah ini memiliki lapisan solum tanah yang tebal sampai sangat tebal, yaitu dari 130 cm – 5 meter bahkan lebih, sedangkan batas antara horizon tidak begitu jelas. Warnanya merah, coklat sampai kekuning-kuningan.  Reaksi tanah berkisar antara pH 4.5-6.5, yaitu dari asam sampai agak asam. Tekstur seluruh solum tanah ini umumnya adalah liat, sedang strukturnya remah dan konsistensi adalah gembur (Sarief, 1979).

D. Entisol

Di Indonesia tanah entisol banyak diusahakan untuk areal persawahan baik sawah teknis maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah. Tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan hara tersediakan rendah. Potensi tanah yang berasal dari abu vulkan ini kaya akan hara tetapi belum tersedia, pelapukan akan dipercepat bila terdapat cukup aktivitas bahan organik sebagai penyedia asam-asam organik. Tanah Entisol merupakan tanah yang relatif kurang menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan produktivitasnya dengan jalan pemupukan (Utami, 2003).

E. Ultisol

Tanah ultisol termasuk tanah marginal dan umumnya belum tertangani dengan baik. Sifat fisik tanah ini umumnya jelek, yaitu mempunyai permeabilitas tanah yang sangat rendah, drainase buruk, ruang pori makro yang sangat sedikit sehingga aerasi tanah sangat rendah. Tanah ultisol umumnya jelek dan kurang menunjang untuk pengembangan di bidang pertanian seperti aerasi buruk, stabilitas agregat yang kurang stabil, laju infiltrasi dan permeabilitas lambat, serta daya pegang air (water holding capacity) rendah (Bondansari et al, 2011). 

Tanah ultisol yang tersebar luas di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai areal pertanaman jagung. Menurut Hardjowigeno (1995), tanah ordo ultisol terluas penyebarannya dibandingkan dengan jenis-jenis tanah lainnya yaitu sekitar 30 % atau sekitar 48.000.000 hektar dari luas daratan di Indonesia terutama di Sumatera (43,5 %), Kalimantan (29,9 %), Sulawesi (10,3 %) dan Irian Jaya (23,0 %).

Analisis sifat fisik tanah memerlukan contoh tanah yang berbeda, tergantung tujuannya. Ada beberapa jenis contoh tanah, diantaranya contoh tanah utuh (unditurbed soil sample), agregat utuh (undisturbed soil aggregate), dan contoh tanah tidak utuh (diturbed soil sample). Masing-masing memiliki analisis yang berbeda-beda :

  1. Contoh Tanah Utuh : merupakan contoh tanah yang diambil dari lapisan tanah tertentu dalam keadaan tidak terganggu, sehingga kondisinya hampir menyamai kondisi di lapangan.
  2. Contoh Tanah Agregat Utuh : contoh tanah berupa bonkahan alami yang kokoh dan tidak mudah pecah.
  3. Contoh Tanah Terganggu : kondisinya tidak sama dengan keadaan di lapangan, karena sudah terganggu sejak dalam pengambilan contoh. (Suganda et al, 2006).

Cara-cara pengambilan contoh tanah yang baik :

  1. Pertama, kita harus memperhatikan kebersihan permukaan tanahnya (tanaman, daun-daunan, sisa tanaman, kotoran-kotoran lain). Setelah benar-benar bersih, baru dilkuakan pengambilan.
  2. Contoh tanah individual diambil dengan menggunakan alat-alat bor tanah, tabung hoffer, cangkul ataupun sekop dari bagian atau lapisan tanah sedalam 10-20 cm.
  3. Contoh-contoh tanah individual (5-20 contoh) selanjutnya dicampur sehingga merata, bawa ke tempat yang teduh untuk ditebarkan agar menjadi kering udara.
  4. Banyaknya tanah kering udara yang diperlukan untuk suatu contoh adalah sekitar 500-1.000 gram, kemudian diberi petunjuk (etiket) dari mana/tempt mana tanah itu diambil, topografi (letak dan tinggi tempat), jenis tanaman yang sudah dan akan ditanam, pemberian pupuk yang biasa dilakuakan pada tanahnya, perlakuan-perlakuan lain, warna tanah, pengairan terhadap air itu, serta penjelasan-penjelasan lainnya yang bersifat khusus dan mungkin diperlukan.
  5. Petunjuk-petunjuk yang ada di tulis kembali pada label (rangkap dua) kemudian contoh tanah rata-rata yang kering udara itu dimasukkan ke dalam kantong plastik berikut selembar label, setelah diikat rapat, label yang satu lagi diikatkan/ditempelkan baik-baik pada bagian luar kantong. Hal ini untuk mengantisipasi kerusakan yang terjadi pada label yang berada di luar.

Pembuatan contoh tanah halus untuk keperluan analisa ada dua cara :

  1. Cara kering : untuk tanah yang bersifat gembur
  2. Cara basah : untuk tanah yang berat maupun berkerikil lunak.

Cara pembutan contoh tanah kering udara mengguanakan cara kering :

  1. Tanah kering udara yang masih berbongkah-bongkah dihancurkan terlebih dahulu dengan tangan pada lumpang porselen.
  2. Selanjutnya ditumbuk dengan hati-hati sampai menjadi halus.
  3. Tanah kering udara yang telah halus kemudian diayak dengan pengayak yang lubang-lubangnya berdiameter 2 mm. Jika masih tersisa ditumbuk dan diayak lagi dengan pengayak yang sama, demikian dilakukan berkali-kali sehingga pada akhirnya tersisa bahan-bahan yang keras dan sukar untuk dihaluskan lagi.
  4. Bahan-bahan kering yang halus hasil pengayakan dicampur sampai merata. Setelah itu dimasukkan dalam botol yang benar-benar kering dan tertutup. Kemudian diberi etiket utuk memudahkan pengambilan. (Sutedjo, 2004).

Bab V. Penutup

A. Kesimpulan

  1. Pengambilan contoh tanah dapat dilakukan dalam tiga macam bentuk : contoh tanah utuh, contoh tanah agregatt utuh dan contoh tanah terganggu.
  2. Pembuatan contoh tanah halus untuk analisa dibedakan menjadi dua macam yaitu cara kering dan cara basah.

B. Saran

Ada baiknya praktikan dapat melakukan praktikum ini sendiri. Walaupun terlihat mudah, belum tentu setiap praktikan dapat membuat berbagai macam jenis contoh tanah. Penggolongan contoh tanah berdasarkan jenisnya juga perlu dipelajari oleh praktikan. Hal ini untuk memudahkan praktikan dalam membedakan tanah saat melakukan praktikum lain yang menggunakan contoh tanah yang telah dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

Asmin dan Syamsiar. 2006. Pengenalan Sifat Fisik Tanah untuk Kesesuaian Penglolaan Lahan Tanpa Olah Tanah pada Lahan Kering di Sulawesi Tenggara. Bulletin Teknologi dan Informasi Pertanian. 1:1-12.

Bondansari dan Susiol B S. 2011. Pengaruh Zeolit dan Pupuk Kandang Terhadap BeberapaSifat Fisik Tanah Ultisol dan Entisol pada Pertanaman Kedelai (Glycine max L. Merril). Agronomika. Vol. 11. 2:122-135.

 Dudal dan Supraptoharjo. 1957. Klasifikasi Tanah Indonesia. Bogor : Pusat Penelitian Tanah.

Foth D. Henry. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hardjowigeno, S. 1995. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Aka-Press.

Prasetyo, BH. 2007. Perbedaan Sifat-Sifat Tanah Vertisol dari Berbagai Bahan Induk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia . Vol. 9. 1:20-31

Saridevi, Gusti Agung Ayu Ratih, et al. 2013. Perbedaan Sifat Biologi Tanah pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan di Tanah Andisol, Inceptisol dan Vertisol. E-Jurnal Agroteknologi Tropika. Vol. 2. No. 1

Suganda, Husein, et al. 2006. Petunjuk Pengambilan Contoh Tanah.

Sutedjo, Mul Mulyani. 2004. Analisis Tanah, Air, dan Jaringan Tanaman. Jakarta : Rineka Cipta.

Sarief. 1979. Ilmu Tanah Umum. Bandung : Bagian Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran.

Utami SNH dan Handayani S. 2003. Sifat Kimia Entisol Pada Sistem Pertanian Organik. Ilmu Pertanian. Vol. 10. 2:63-69.

Wiyono, et al. 2006. Aplikasi Soil Taxonomy pada Tanah-Tanah yang Berkembang dari Bentukan Karst Gunung Kidul. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Vol. 6. No. 1:13-26.