Laporan Praktikum Analisis Subsistem Sawah, Tegal, Talun, Pekarangan dan Perkebunan Teh

Analisis Subsistem Sawah, Tegal, Talun, Pekarangan dan Perkebunan Teh

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Agroekosistem secara teoritis dapat dipahami secara teoritis melalui kuliah agroekosistem dan akan terasa lengkap apabila disertai dengan observasi maupun kondisi sesungguhnya dilapangan. Pemahaman di lapangan sangat diperlukan sehingga secara langsung dapat diamati dan dianalisis seluruh aspek yang termuat di dalam agroekosistem. Sebagai suatu sistem tentu melibatkan beberapa komponen atau subsistem dan setiap subsistem dicirikan oleh tingkat kehadiran individu tumbuhan atau tanaman serta makhluk hidup yang lain termasuk unsur lingkungan fisik maupun sosial yang terlibat didalamnya.

Manusia telah mengubah ekosistem alam secara luas sejak mulai mengenal pemukiman. Meraka mengubah hutan dan padang rumput menjadi lahan  untuk mengusahakan tanaman bahan pangan. Kegiatan manusia tersebut dapat menimbulkan beberapa agroekosistem, baik agroekosistem dengan diversitas rendah (sawah, tegal dan perkebunan) maupun agroekosistem dengan diversitas tinggi (hutan dan talun). Agroekosistem dicirikan dengan tingginya lapis transfer energi dan nutrisi terutama di grazing food chain dengan demikian hemeostatis kecil. Agroekosistem–agroekosistem tersebut sangat tergantung dengan alam, gangguan ilkim, hama dan penyakit.

Analisis perndekatan dengan zona agroekosistem sangat perlu dilakukan. Analisis ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara karateristik biosifik, pengelolaan sumberdaya alam, dan sosial ekonomi yang ada di zone agroekosistem tersebut, serta dampaknya terhadap lingkungan.

2. Tujuan Praktikum

Tujuan dari praktikum acara ini adalah sebagai berikut:

  1. Memperkenalkan mahasiswa dengan tipe lahan persawahan untuk kepentingan produksi pertanian
  2. Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang perlunya pengelolaan sawah dengan memperhitungkan kaidah-kaidah lingkungan
  3. Meningkatkan kecerdasan mahasiswa dengan kesadaran dan pikiran logis dari apa yang mereka lihat di lapangan dengan teori dan kajian yang selama ini diperoleh di kelas saat tatap muka.

B. Tinjauan Pustaka

1.      Subsistem Persawahan

Sawah adalah pertanian yang dilaksanakan di tanah yang basah atau dengan pengairan. Bersawah merupakan cara bertani yang lebih baik daripada cara yang lain, bahkan merupakan cara yang sempurna karena tanah dipersiapkan lebih dahulu, yaitu dengan dibajak, diairi secara teratur, dan dipupuk (Rustiadi 2007). Sawah bukaan baru dapat berasal dari lahan kering yang digenangi atau lahan basah yang dijadikan sawah. Hara N, P, K, Ca, dan Mg merupakan pembatas pertumbuhan dan hasil padi pada lahan sawah bukaan baru. Hara N, P dan K merupakan pembatas pertumbuhan dan hasil padi pada ultisol (Widowati et al., 1997).

 Lahan untuk sawah bukaan baru umumnya mempunyai status kesuburan tanah yang rendah dan sangat rendah. Tanah-tanah di daerah bahan induknya volkan tetapi umumnya volkan tua dengan perkembangan lanjut, oleh sebab itu miskin hara, dengan kejenuhan basa rendah bahkan sangat rendah. Kandungan bahan organik, hara N, P, K dan KTK umumnya rendah (Suharta dan Sukardi 1994). Tanah yang baik untuk areal persawahan ialah tanah yang memberikan kondisi tumbuh tanaman padi. Kondisi yang baik untuk perumbuhan tanaman padi sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu posisi topografi yang berkaitan dengan kondisi hidrologi, porositas tanah yang rendah dan tingkat kemasaman tanah yang netral, sumber air alam, serta kanopinas modifikasi sistem alam oleh kegiatan manusia (Hanafiah 2005).

Lapangan produksi ada bermacam – macam antara lain adalah lahan terbuka yang terdiri dari beberapa sub rgani anatara lain sawah, tegalan, kebun buah, kebun sayur. Sawah sendiri terdiri dari beberapa macam, antara lain adalahsawah berpengairan teknis, setengah teknis dan tadah hujan. Perbedaan antara sawah dan tegalan adalah; di lokasi sawah, terdapat pematang namun pada tegalan tidak ditemukan pematang (Supriyono 2002). Padi sawah tidak hanya memberikan respon yang lebih baik pada kondisi aerob dibandingkan dengan anaerob, namun sekaligus pada kondisi aerob dapat meningkatkan produktivitasnya. Pemberian bahan organik, khususnya dari kotoran sapi ke lahan sawah sebaiknya pada kondisi aerob (tidak tergenang). Teknik budidaya padi sawah secara aerobik di samping meningkatkan produktivitasnya, sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan air dan produktivitas air (Sumardi 2007).

2.      Subsistem Tegal

Tegal adalah suatu lahan yang kering tanpa adanya pengairan. Pertanian tegalan adalah cara bertani yang secara tetap tanpa pengairan. Pertanian tegalan dikerjakan secara tetap dan intensif dengan bermacam-macam tanaman secara bergantian antara palawija (seperti jagung, kacang tanah, ketela pohon) dan padi gogorancah. (Pratiwi 2004). Untuk menyuburkannya, biasanya tanah ditanami orok-orok (Crotalaria striata) sebagai pupuk hijau. Selain untuk tanaman pangan, di sekitar terdapat bermacam-macam pohon besar seperti pohon mahoni, pohon akasia, pohon johar, pohon sengon, pohon mangga, pohon petai, petai cina, jambu air, dll). Sehingga subsistem tegalan memiliki diversitas/keanekaragaman tinggi (Anonim 2005).

Hampir sama dengan subsistem tegal. Perbedaan antara tegal dan talun hanya pada luasnya saja. Pekarangan itu sendiri adalah bentuk pertanian dengan memanfaatkan pekarangan halaman sekitar rumah. Biasanya lahan pertanian pekarangan diberi batas/pagar. Jenis tanaman yang diusahakan pada lahan ini antara lain jagung, kedelai, kacang tanah, sayur-sayuran, kelapa dan buah-buahan. Cara bertanam saja hanya memanfaatkan lahan yang ada di sekitar rumah (biasanya dimiliki oleh penduduk desa). Namun memiliki tanaman yang jenis keanekaragaman tinggi (Anonim 2009). Perbedaan antara sawah dan tegalan adalah di lahan sawah terdapat pematang, tapi di tegalan tidak ditemukan (Supriyono 2002).

Tegalan letaknya terpisah dengan halaman sekitar rumah. Tegalan sangat tergantung pada turunnya air hujan. Tegalan biasanya diusahakan pada  daerah yang belum  mengenal sistem irigasi atau daerah yang tidak memungkinkan dibangun saluran irigasi. Permukaan tanah tegalan tidak selalu datar. Pada musim kemarau keadaan tanahnya terlalu kering sehingga tidak ditanami (Anonim 2009).

Pola tanam yang diterapkan dilahan tegal adalah sistem campuran lahan kering , sehingga sumber air hanya dari hujan saja. Sistem tanamanya streep croping untuk efesiensi konversi energi dan pola tanam antara tanaman yang satu dengan tanaman yang lain sama umur. Pengolahan tanah agar tidak terjadi erosi maka dibuat terasering (Anonim 2009).

3.      Subsistem Talun

           Talun adalah salah satu sistem agroforestry yang khas, ditanami dengan campuran tanaman tahunan/kayu dan tanaman musiman, dimana strukturnya menyerupai hutan, secara umum ditemui di luar pemukiman dan hanya sedikit yang berada di dalam pemukiman (Yanto 2008). Pada ekosistem talun biasanya berupa lahan pekarangan yang berdekatan dengan tempat tinggal petani dan jenis tanamannya antara lain pohon karet, aren, langsat, kelapa, kopi, kakao, melinjo, singkong, bayam, kacang panjang, dll (Anonim 2009).

Secara garis besar, talun dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu talun permanen dan talun tidak permanen (talun-kebun). Pada talun permanen, tidak ditemukan adanya pergiliran tanaman dan pohon-pohonnya rapat dengan kanopi menutupi area, sehingga cahaya yang tembus sedikit dan hanya sedikit tanaman toleran yang ditanam. Pada talun yang pohonnya jarang, cahya bisa banyak tembus, sehingga tanaman musiman tumbuh dan dapat ditemukan ditemuakan, talun seperti itu disebut juga “Kebun Campuran”. Pada talun tidak permanen, ditemukan adanya pergiliran tanaman, biasanya terdiri dari tiga fase, yaitu kebun, kebun campuran, dan talun (Widagda 2000).

Mendefinisikan talun sebagai sistem tradisional yang mempunyai aneka fungsi selain fungsi produksi, dimana dalam sistem ini terdapat kombinasi tanaman pertanian semusim dengan pepohonan. Talun umumnya mempunyai batas-batas kepemilikan yang jelas dan ditemukan di sekitar daerah pemukiman  (Widagda 2000). Talun dari sudut komposisi dan pola struktur vegetasi, banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor biofisik dan sosial ekonomi, baik secara lokal maupun daerah. Biasanya talun ditanami tanaman rumahan (yang diperlukan untuk memasak dan kebutuhan sendiri sehari-hari) seperti sayur (cabai, terong, bayam), buah-buahan (mangga, jambu biji, jambu air, sawo, rambutan), tanaman apotek hidup (jahe, kencur, kunci, temulawak, lengkuas, kunyit) dan bunga-bunga (Parikesit 2001)

Berbeda dengan tegal, talun lebih sempit dikarenakan lahan keringnya hanya pada pekarangan di sekitar rumah (biasanya dimiliki oleh penduduk pedesaan yang masih memiliki pekarangan yang cukup luas). Cara bertaninya hanya memanfaatkan kebun atau pekarangan yang ada di sekeliling rumah (Anonim 2006).

4.      Subsistem Pekarangan

Pekarangan adalah areal tanah yang biasanya berdekatan dengan sebuah bangunan. Tanah ini dapat diplester, dipakai untuk berkebun, ditanami bunga atau terkadang memiliki kolam. Pekarangan bisa berada di depan, di belakang, disamping sebuah bangunan, tergantung besar sisa tanah yang tersedia setelah dipakai untuk bangunan utamanya (Anonim 2009). Lahan pekarangan beserta isinya merupakan satu kesatuan kehidupan yang saling menguntungkan. Sebagian dari tanaman dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan sebagian lagi untuk manusia, sedangkan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk kandang untuk menyuburkan tanah pekarnagn. Dengan demikian, hubungan antara tanah, tanaman, hewan piaraan, ikan dan manusia sebagai unit-unit di pekaranagn merupakan satu kesatuan terpadu (Pratiwi 2004).

Pekarangan adalah sebidang tanah yang terletak di sekitar rumah dan umumnya berpagar keliling. Di atas lahan pekarangan tumbuh berbagai ragam tanaman. Bentuk dan pola tanaman pekarangan tidak dapat disamakan, bergantung pada luas tanah, tinggi tempat, iklim, jarak dari kota, jenis tanaman. Pada lahan pekarangan tersebut biasanya dipelihara ikan dalam kolom , dan hewan piaraaan seperti ayam, itik, kambing, domba, kelinci, sapi dan kerbau. Keragaman tumbuhan dan bintang piaraan inilah yang menciptakan pelestarian lingkungan hidup pada pekarangan (Lunda 1994).

Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat dengan pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini tercakup beraneka jenis komponen seperti pepohonan, perdu, tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder. Sistem agroforestri kompleks dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Pekarangan berbasis pepohonan

b. Agroforesty kompleks (Van Noordwijk et al., 1995).

               Kecenderungan kembali ke alam telah melanda dunia. Hampir semua orang mengalami kejenuhan mengonsumsi pestisida kimiawi yang ternyata memang bisa menimbulkan aneka penyakit. Karenanya, kini mulai marak dilakukan penanaman sayuran secara organik. Oleh karena itu, diperlukan tata cara menanam, merawat, dan memanen sayuran organik di pekarangan rumah dengan cara yang benar (Endro 2009). Saat ini sudah sangat jarang rumah yang memiliki pekarangan yang luas. Namun, hal itu tidak berarti tidak bisa memanfaatkan pekarangan rumah kita yang sempit. Oleh karena itu, diperlukan cara memilih tanaman yang bermafaat untuk mengisi pekarangan, baik lahannya luas atau sempit. Adanya tanaman pekarangan yang dipilih akan membuat halaman rumah menjadi lebih sejuk dan menyenangkan untuk dipandang mata (Eman, 2009).

5.      Subsistem Perkebunan Teh

           Subsistem perkebunan berupa lahan luas yang hanya terdapat satu komoditas pertanian yang diusahakan dan permanen. System perkebunan perlu diutamakan tata rumah tangga yang sedikit atau sama sekali tertutup dimana di dalamnya terdapat suatu satuan unit tanah yang luas. Tanaman yang diusahakan biasanya kelapa sawit, karet, teh, kopi,dll (Beukering, 1981). Tanaman Teh (Camellian sp) merupakan tumbuhan berdaun hijau yang termasuk dalam keluarga Camellia yang berasal dari Cina, Tibet, dan India bagian Utara. Ada dua varietas utama tanaman the, varietas berdaun kecil, dikenal sebagai Camellia sinensis, yang tumbuh dengan baik di daerah pegunungan tunggi berhawa dingin di Cina tengah dan Jepang. Varietas berdaun lebar, dikenal sebagai Camellia assamica, yang tumbuh paling baik di daerah beriklim tropis yang lembab, di India bagian utara dan Szechuan dan propinsi Yunnan di Cina. Tanaman teh mempunyai daun berwarna hijau gelap, mengkilap, berukuran kecil, dan berbunga putih. Penanaman Tanaman teh terutama tumbuh di daerah tropis, memerlukan curah hujan hingga 1000-1250 mm per tahun, dengan temperature ideal antara 10 hingga 30 derajat celcius. Tanaman teh tumbuh pada permukaan laut hingga 2400 meter. Pohon teh mampu menghasilkan teh yang bagus selama 50-70 tahun, namun setelah 50 tahun hasil produksinya menurun. Pada saat tersebut pohon yang sudah tua sudah saatnya digantikan dengan pohon yang masih muda yang telah ditumbuhkan di perkebunan untuk pembiakan tanaman muda.

           Perkebunan merupakan usaha penanaman tumbuhan secara teratur sesuai dengan ilmu pertanian dan mengutamakan tanaman perdagangan. Perkebunan penting bagi bahan ekspor dan bahan industri. Jenis-jenis tanaman perkebunan khususnya di Indonesia antara lain karet, kelapa sawit, kopi, teh, tembakau, tebu, kelapa, cokelat, kina, kapas, cengkih (Soerjani 2007). Pada sistem pengairan, pertanian lahan kering, kondisi topogragfi memegang peranan cukup penting dalam penyediaan air, serta menentukan cara dan fasilitas pengairan. Sumber – sumber air biasanya berada pada bagian yang paling rendah, sehingga air perlu dinaikkan terlebih dahulu agar pendistribusiannya merata dengan baik. Oleh karena itu, pengairan pada lahan kering dapat berhasil dan efektif pada wilayah yang datar datar – berombak (Kurnia 2004).

           Perkebunan mempunyai kedudukan yang penting di dalam pengembangan pertanian baik pada tingkat nasional maupun regional. Perkembangan kegiatan perkebunan di Provinsi Riau menujukkan trend yang semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari semakin luasnya lahan perkebunan dan meningkatnya produksi rata-rata pertahun, dengan komoditas utama kelapa sawit, kelapa, karet, kakao dan tanaman lainnya. Peluang pengembangan tanaman perkebunan semakin memberikan harapan, hal ini berkaitan dengan semakin kuatnya dukungan pemerintah terhadap usaha perkebunan rakyat, tumbuhnya berbagai industri yang membutuhkan bahan baku dari produk perkebunan dan semakin luasnya pangsa pasar produk perkebunan (Anonim 2009).

           Sistem perkebunan, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar yang dulu milik swasta asing dan sekarang kebanyakan perusahaan negara, berkembang karena kebutuhan tanaman ekspor. Dimulai dengan bahan-bahan ekspor seperti karet, kopi, teh, dan coklat yang merupakan hasil utama, sampai sekarang sistem perkebunan berkembang dengan manajemen yang industri pertanian (Anonim 2005). Subsistem perkebunan berupa lahan luas yang hanya terdapat satu komoditas pertanian yang diusahakan dan permanen. Sistem perkebunan perlu diutamakan tata rumah tangga yang sedikit atau sama sekali tertutup dimana di dalamnya terdapat suatu satuan unit tanah yang luas. Tanaman yang diusahakan biasanya kelapa sawit, karet, teh, kopi,dll (Faris 2007).

           Perkebunan merupakan usaha penanaman tumbuhan secara teratur sesuai dengan ilmu pertanian dan mengutamakan tanaman perdagangan. Perkebunan penting bagi bahan ekspor dan bahan industri. Jenis tanaman perkebunan khususnya di Indonesia antara lain karet, kelapa sawit, kopi, teh, tembakau, tebu, kelapa, cokelat, kina, kapas, cengkih (Soerjani 2007). Perkebunan mempunyai kedudukan yang penting di dalam pengembangan pertanian baik pada tingkat nasional maupun regional. Perkembangan kegiatan perkebunan di Provinsi Riau menujukkan trend yang semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari semakin luasnya lahan perkebunan dan meningkatnya produksi rata-rata pertahun, dengan komoditas utama kelapa sawit, kelapa, karet, kakao dan tanaman lainnya. Peluang pengembangan tanaman perkebunan semakin memberikan harapan, hal ini berkaitan dengan semakin kuatnya dukungan pemerintah terhadap usaha perkebunan rakyat, tumbuhnya berbagai industri yang membutuhkan bahan baku dari produk perkebunan dan semakin luasnya pangsa pasar produk perkebunan (Anonim 2009).

Praktek agrikultur dengan intensitas rendah seperti perladangan berpindah, pekarangan tradisional, talun, rotasi lahan, menyisakan banyak proses ekosistem alami dan komposisi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Sistem dengan intensitas tinggi, termasuk perkebunan modern yang seragam dan peternakan besar, mungkin merubah ekosistem secara keseluruhan sehingga sedikit sekali biota dan keistimewaan bentang alam sebelumnya yang tersisa (Karyono 2000).

C.    Metode Praktikum

1.      Waktu dan Tempat Praktikum

Praktikum Analisis beberapa Tipe Agroekosistem ini diadakan pada hari Minggu, tanggal 05 Mei 2013 dengan 5 subsistem, yaitu :

a.       Sub sistem Sawah diadakan di Dusun Pompongan, Desa Bejen, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar.

b.      Sub sistem Pekarangan diadakan di Desa Pompongan, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar.

c.       Sub sistem Tegal diadakan di Desa Puntuk Rejo Dusun Ngerantin, Kecamatan Ngargoyoso.

d.      Sub sistem Talun diadakan di Desa , Kecamatan , Kabupaten Karanganyar.

e.       Sub sistem Perkebunan Teh di Dusun Ulono Kecamatan Kemuning, Kabupaten Kemuning, Karanganyar.

2.      Alat dan Bahan

a.       Alat

1)      Kamera digital

2)      Meteran

3)      pH meter

4)      Klinometer

5)      Hygrometer

6)      Lightmeter

b.      Bahan

1)      Berbagai jenis vegetasi, yaitu vegetasi sawah, vegetasi talun,              vegetasi kebun, vegetasi pekarangan dan vegetasi tegal.

3.      Cara Kerja

a.       Menentukan Lokasi Pengamatan.

b.      Melakukan pengamatan dan pengukuran tehadap kelembaban tanah, kelembaban udara, Ph tanah, intensitas cahaya dan suhu udara.

c.       Menentukan denah pola tanam dan cara pengelolaan lahan.

D. Hasil Pengamatan dan Pembahasan

1. Subsistem Sawah

a.       Hasil Pengamatan

Tabel 7.1 Hasil pengamatan analisis subsistem sawah

No.DeskripsiKeterangan
1.AlamatPongpongan kecamatan Karanganyar
2.Kemiringan lereng3% (hampir datar)
3.Luas1 petak =  1/3 ha
4.Longitude110 59’ 10,4” BT
5.Latitude07°36’ 35,4” LS
6.Letak dan tinggi tempat254 mdpl
7.Kelembaban Tanah10 %
8.Kelembaban udara45 %
9.pH7
10Intensitas cahaya      Lux
11.Pola tanamanMonokultur
12.Inputa.       Pupuk       : Urea, ZA, SP-36, Phonskab.      Bibit padi : IR64   c.       Pestisida   : Perselot dan   walang, RIDcropd.      Irigasi seminggu sekali
12.OutputGabah dan jerami (untuk kompos dan pakan ternak)
1314.15.16.17.Pengolahan tanahHaraJarak tanamBatas-batasVegetasiMenggunakan traktorTerbuka26-25 cmUtara   : Jalan RayaBarat   : BejenTimur   : Rumah MakanSelatan            : PerumahanPadi, Pohon Jati

Sumber: Laporan Sementara

b.      Pembahasan

      Pada subsistem sawah yang telah diteliti pada daerah Karanganyar. Diperoleh letak astronomis 110059’10,4” BT 07036’35,4” LS. Ketinggian tempat adalah 254 meter m dpl dengan kemiringan lahan 7 %. Topografinya datar, pH tanah sekitar 7 dengan kelembaban tanah 10% dan kelembapan udara 45%. Luas daerah sekitar 3 hektar. Intensitas cahaya sekitar  lux. Pola tanam pada sawah (tampak pada gambar 7.1) secara monokultur. Jenis tanaman yang diusahakannya yaitu padi jenis IR 64. Tanah dikelola menggunakan peralatan-peralatan seperti cangkul, traktor, sabit. Input tanaman berasal dari berbagai macam. Pupuk berasal dari urea, ZA, phonska dan pupuk organik. Pengairan menggunakan sistem irigasi yang bersumber dari mata air sungai dan waduk serta pengairan ini juga mengandalkan curah hujan. Benih berasal dari hasil panen sebelumnya yang disemai dan diseleksi terlebih dahulu. Penggunaan pupuk anorganik lebih dominan jika dibandingkan dengan pupuk organiknya. Sehingga tanah di daerah ini semakin rawan terkena hama penyakit.

      Output padi di panen sekitar 3 kali dalam setahun. Hasil yang diperoleh dari sawah tersebutt mencapai kurang lebih 2,680 ton/ha dalam bentuk gabah. Sisa tanamannya digunakan masyarakat untuk pakan ternak dan untuk pupuk kompos. Meskipun begitu, sawah tersebut mempunyai siklus hara terbuka karena memiliki jumlah kehilangan hara yang besar.

2.      Subsistem Tegal

a.       Hasil Pengamatan

Tabel 7.2. Hasil pengamatan analisis subsistem tegal

No.DeskripsiKeterangan
1.AlamatDesa Puntuk Rejo, Dusun Ngranten, kec Ngargoyoso
2.Kemiringan lereng% (hampir datar)
3.Luas  m2
4.Longitude111 06’ 43,7” BT
5.Latitude07°37’ 15,0” LS
6.Letak dan tinggi tempat883 mdpl
7.Kelembaban Tanah30 %
8.Kelembaban udara42 %
9.pH7
10Intensitas cahaya16.770 lux
11.Pola tanamanTidak teratur
12.Inputa.       Pupuk                   : kandang (organik) dan Ureab.      Fungisida : Curacron dan dithane
12.Outputa.       Hasil : Buah dan umbib.      Sisa tanaman : Daun yang jatuh
1314.15.16.17.Pengolahan tanahHaraJarak tanamBatas-batasVegetasiCangkulTerbukaTergantung tanamanUtara               : DjrogoBarat               : DjorogoTimur               : GantenganSelatan                        :  Ngerantenseledri, cabai, wortel, buncis, dan ketela rambat.

Sumber : laporan sementara.

b.      Pembahasan

      Lokasi pengamatan tegal dilakukan di salah satu desa yang bernama desa Puntuk Rejo, Dusun Ngeranten, Kecamatan  Karanganyar. Tegal hampir sama dengan pekarangan  namun letaknya jauh dari rumah penduduk. Lahan ini berada pada ketinggian 875 m dpl serta memiliki letak geografis  111o06’43,7 BT dan 7° 37’15,0’LS. Memliki pH 7 dengan kemiringan..%. Lahan ini juga memiliki kelembapan udara dan tanah masing-masing 60% dan 30%. Suhu udara 30serta intensitas cahaya adalah 16770 lux.

      Perbedaan tegal dan pekarangan selain dari jaraknya dari rumah pemiliknya juga terletak pada pemanfaatan output. Pada tegal hasilnya dijual, karena pada umumnya tegal lebih luas daripada pekarangan. Sedangkan pada pekarangan hasilnya lebih variatif dan digunakan untuk kebutuhan sehari – hari. Tanaman yang dibudidaya di tegal biasanya merupakan tanaman musiman dan di tanam secara tumpang sari agar lebih meningkatkan hasil produktivitas. Perawatannya terdapat penggemburan tanah dengan cangkul, pemetakan jarak tanaman yang teratur dan rapi, pemberian pupuk dan pestisida yang rutin dan sesuai dosis. Jika panen tiba, biasanya para tengkulak datang ke tempat panen untuk membeli atau petaninya membawa hasil panennya ke pasar atau tempat pengepul setempat.

3.      Subsistem Talun

a.       Hasil Pengamatan

Tabel 7.3 Hasil pengamatan analisis subsistem talun

No.DeskripsiKeterangan
1.AlamatDs. Ngipikmbangsari, Karangpandan
2.Kemiringan lereng  % (miring)
3.Luas  m2
4.Longitude111 01’ 16,11” BT
5.Latitude07°37’ 08,4” LS
6.Letak dan tinggi tempat340 mdpl
7.Kelembaban Tanah20 %
8.Kelembaban udara40 %
9.pH6,3
10Intensitas cahaya5600 lux
11.Pola tanamanTidak teratur
12.Inputa.       Pupuk : kandang
12.Outputa.       Hasil : Buah, umbi, rumput,b.      Sisa tanaman : Daun yang jatuh, sisa kayu
1314.15.16.17.Pengolahan tanahHaraJarak tanamBatas-batasVegetasiCangkulTertutupTidak teraturUtara   : selarejoBarat   : TempelTimur   : NdegokSelatan            :  Lemah bangsengon, mangga, pisang, jati, rumput, asem, mahoni, ketela pohon, dan melinjo.

Sumber : laporan sementara.

b.      Pembahasan

      Pengamatan subsistem talun dilaksanakan di Desa Ngipikbangsari, Kecamatan Karanganyar. Berdasarkan keterangan hasil pengukuran dari GPS, diketahui bahwa lokasi pengamatan berada pada ketinggian 370 mdpl, serta memiliki letak geografis yang berada pada 11101’16,1’ BT dan 7° 37’08,4’ LS. Talun ini mempunyai tingkat kemiringan   %. Selain hal tersebut, dari hasil pengukuran intensitas cahaya diketahui untuk tempat ternaungi intensitas cahayanya sebesar 5600 lux.

      Tanaman yang terdapat di talun ini adalah asem melinjo, dan palawija seperti ketela pohon. Jarak tanam yang diterapkan cukup teratur meskipun agak tidak rapi. Input yang diberikan kepada talun berupa pupuk organik. Pupuk organik berasal dari daun yang rontok yang dibiarkan begitu saja sehingga bisa menjadi pupuk bagi tanaman, sedangkan hijauan dari tanaman waru digunakan sebagai pakan ternak yang kemudian kotoran hewan tersebut digunakan sebagai pupuk. Sehingga yang terjadi adalah daur siklik karena hasil yang ditanam pada akhirnya juga dikembalikan lagi ke tanah yang sama. Output yang dihasilkan dari lahan berupa pisang, mangga,  ketela pohon atau singkong. Komoditi pada sengon dapat menghasilkan kayu yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Begitu pula dengan mangga yang dapat digunakan untuk kayu bakar.

4.      Subsistem Pekarangan

a.       Hasil Pengamatan

Tabel. 7.4. Hasil pengamatan analisis subsistem pekarangan

No.DeskripsiKeterangan
1.AlamatDesa Pongpongan, Kecamatan Karanganyar
2.Kemiringan lereng   % (agak miring)
3.Luas   Ha
4.Longitude111 01’ 16,9” BT
5.Latitude07°37’ 08,4” LS
6.Letak dan tinggi tempat370 mdpl
7.Kelembaban Tanah20 %
8.Kelembaban udara40 %
9.pH6,5
10Intensitas cahaya76.800 lux
11.Pola tanamanPolikultur, Tumpang sari
12.InputPupuk  TSP
12.OutputHasil : ketela rambat, buah naga, dan mangga
1314.15.16.17.Pengolahan tanahHaraJarak tanamBatas-batasVegetasiTidak IntensifTertutup20 x 20 cmUtara   : pekaranganBarat   : rumahTimur   : rumahSelatan            :  rumahTanaman buah naga, ketela rambat, pohon mangga.

Sumber: Laporan Sementara

b.      Pembahasan

      Pengamatan subsistem pekarangan dilaksanakan di Desa Pongpongan, Kecamatan Karanganyar. Berdasarkan keterangan hasil pengukuran dari GPS, diketahui bahwa lokasi pengamatan berada pada ketinggian 370 mdpl, serta memiliki letak geografis yang berada pada 11101’16,9’ BT dan 7° 37’08,4’ LS. Talun ini mempunyai tingkat kemiringan  %. Selain hal tersebut, dari hasil pengukuran intensitas cahaya diketahui untuk tempat ternaungi intensitas cahayanya sebesar 76.800 lux.

      Pada pekarangan, tanaman yang dibudidayakan biasanya yang mengandung manfaat, baik dari segi keindahan, untuk konsumsi sampai untuk obat. Pada praktikum kali ini, tanaman yang dibudidayakan di pekarangan berupa tanaman buah naga, mangga dan ketela rambat, dimana ditanam secara tumpang sari. Pemeliharaannya pun tidak seintensif pada subsistem sawah, hanya cukup disiram setiap pagi dan sore, jika diperlukan dapat diberi pupuk (biasanya diberikan saat tanaman tampak tidak sehat).

5.      Subsistem Perkebunan Teh

a.       Hasil Pengamatan

Tabel. 7.5 Hasil pengamatan analisis subsistem perkebunan teh

No.DeskripsiKeterangan
1.AlamatKemuning, Ngargoyoso, Karanganyar
2.Kemiringan lereng16% (agak miring)
3.Luas1 ha
4.Longitude111 07’ 28,6” BT
5.Latitude07°36’ 07,3” LS
6.Letak dan tinggi tempat944 mdpl
7.Kelembaban Tanah25 %
8.Kelembaban udara54 %
9.pH7
10Intensitas cahaya13.300 lux
11.Pola tanamanMonokultur
12.InputPupuk  kimia  
12.OutputHasil : daun teh
1314.15.16.17.Pengolahan tanahHaraJarak tanamBatas-batasVegetasiTidak IntensifTertutup50 x 50 cmUtara   : perumahanBarat   : kebun tehTimur   : kebun tehSelatan            :  perumahanTanaman teh 

Sumber: Laporan Sementara

b.      Pembahasan

      Area perkebunan teh yang terletak di kebun teh Kemuning, Karanganyar berada pada posisi 111 07’ 28,6” BT dan 07°36’ 07,3” LS . Ketinggian tempatnya 944 m dpl dengan kemiringan 7%. pH tanah 7 dan kelembaban tanah dan udara adalah 25% dan 54%. Suhu rata-rata 290C. Pola tanamnya monokultur, jarak tanamnya teratur 50 x 50 cm. Input di lahan perkebunan ini adalah pemupukan yang dilakukan 2 kali setahun pada awal dan akhir musim hujan dengan dosis menurut balai penelitian. Pemberantasan hama menggunakan obat-obatan pestisida. Sedangkan Outputnya adalah daun teh. Daun teh  yang dihasilkan sebelum di jual atau dimanfaatkan menjadi teh harus di keringkan sampai batas tertentu, setelah itu baru diolah menjadi teh yang biasa dikonsumsi. Berdasarkan rantai makanan (siklus hara) subsistem perkebunan tergolong siklus siklik atau tertutup, karena tanah dibiarkan tidak diolah secara teknis, pupuk dari seresah pohon-pohon besar yang terdekomposisi menjadi bahan organik.

      Pengolahan dan pengeringan tanah dilakukan secara berkala. Pengolahan tanah bertujuan untuk menggemburkan tanah sedangkan pengeringan tanah bertujuan untuk membunuh/mengurangi jasad renik yang ada pada tanah. Pola tanamnya monokultur sehingga diversitasnya rendah mengakibatkan stabilitas juga rendah. Karena rentan terhadap gangguan hama dan penyakit maka perlu tambahan input berupa pestisida.

E.     Kesimpulan dan Saran

1.      Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum Analisis Subsistem Persawahan dapat disimpulkan bahwa :

a.       Tiap subsistem mempunyai cara tersendiri dalam pengolahan lahan dan memiliki siklus hara tersendiri pula.

b.      Pada subsistem sawah, tanah dikelola menggunakan peralatan-peralatan seperti cangkul, traktor, sabit. Input tanaman berasal dari berbagai macam. Pupuk berasal dari urea, ZA, phonska dan pupuk organik. Pengairan menggunakan sistem irigasi yang bersumber dari mata air sungai dan waduk serta pengairan ini juga mengandalkan curah hujan. Benih berasal dari hasil panen sebelumnya yang disemai dan diseleksi terlebih dahulu.

c.       Talun merupakan gabungan dari tegal dan pekarangan, jarak tanam yang diterapkan cukup teratur meskipun agak tidak rapi. Input yang diberikan kepada talun berupa pupuk organik. Pupuk organik berasal dari daun yang rontok yang dibiarkan begitu saja sehingga bisa menjadi pupuk bagi tanaman, sedangkan hijauan dari tanaman waru digunakan sebagai pakan ternak yang kemudian kotoran hewan tersebut digunakan sebagai pupuk. Sehingga yang terjadi adalah daur siklik karena hasil yang ditanam pada akhirnya juga dikembalikan lagi ke tanah yang sama.

d.      Talun banyak ditanami tanaman musiman dan tahunan yang kayunya dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan maupun untuk kayu bakar.

e.       Tegal banyak ditanami tanaman holtikultura, pada tegal hasilnya dijual, karena pada umumnya tegal lebih luas daripada pekarangan. Sedangkan pada pekarangan hasilnya lebih variatif dan digunakan untuk kebutuhan sehari – hari. Tanaman yang dibudidaya di tegal biasanya merupakan tanaman musiman dan di tanam secara tumpang sari agar lebih meningkatkan hasil produktivitas.

f.       Pada pekarangan, tanaman yang dibudidayakan biasanya yang mengandung manfaat, baik dari segi keindahan, untuk konsumsi sampai untuk obat. Pada praktikum kali ini, tanaman yang dibudidayakan di pekarangan berupa tanaman buah naga, mangga dan ketela rambat, dimana ditanam secara tumpang sari. Pemeliharaannya pun tidak seintensif pada subsistem sawah, hanya cukup disiram setiap pagi dan sore, jika diperlukan dapat diberi pupuk (biasanya diberikan saat tanaman tampak tidak sehat).

g.      Berdasarkan rantai makanan (siklus hara) subsistem perkebunan tergolong siklus siklik atau tertutup.

h.      Perkebunan memiliki diversitas rendah karena penerapan monokultur, pengolahan dan pengeringan tanah dilakukan secara berkala. Pengolahan tanah bertujuan untuk menggemburkan tanah sedangkan pengeringan tanah bertujuan untuk membunuh/mengurangi jasad renik yang ada pada tanah. Pola tanamnya monokultur sehingga diversitasnya rendah mengakibatkan stabilitas juga rendah. Karena rentan terhadap gangguan hama dan penyakit maka perlu tambahan input berupa pestisida.

2.      Saran

            Saran untuk Praktikum Analisis Subsistem ini adalah kepada praktikan agar serius dalam mengikuti rangkaian praktikum dan Co.ass lebih memperjelas setiap penjelasan tentang subsistem.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Sumber Daya Lahan Pertanian. Jurnal Agrosains 1(1) : 66-67. Balitbang. Bogor.

Anonim. 2009. Pentingnya Perkebunan di Indonesiawww.indonesia.go.id Diakses pada tanggal 3 Mei 2013

Barchia, Faris. 2007. Subsistem dan Pengaruh. IKIP Semarang : Semarang Press

Anonim,2009. Subsistem. www.pustaka-deptan.go.id. Diakses pada tanggal 3        Mei  2013.

Beukering. 1981. Keragaman dan Analisis Pengkajian Sistem Usaha Tani   Berbasis Padi di Kabupaten Lamongan. Jurnal Teknologi dan Informasi.         3(1): 43-47.

Lunda.1994.    Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pekarangan    Untuk Warung Hidup Di Desa Girigondo Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo. Semarang:Universitas Diponegoro.

Hanafiah. 2005. Tanah Sawah.  http://repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal  02 Mei 2013.

Karyono, 2000. Menejemen Agroekosistemhttp://www.foxitsoftware.com. Diakses pada tanggal 3 Mei 2013.

Kurnia, 2004. Lahan Kering. http://repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 3 Mei 2013

Kurnia, Undang. 2004. Prospek Pengairan Pertanian  Tanaman Semusim Lahan Kering. Balai Penelitian  Tanah.  Bogor.  Jurnal  Litbang Pertanian

Michon, G. and H. de Foresta. 1999. Agro-forests: incorporating a forest vision in agroforestry. CRC Press, Lewis Publishers: 381-406.

Noordwijk,van et al.1995. Sistem Agroforestyhttp://www.worldagroforestry.org. Diakses pada tanggal 3 Mei 2013.

Pratiwi, D.A (dkk). 2004. Biologi SMA. Erlangga. Jakarta.

Rustiadi. 2007. Tanah Pekarangan. www. acehforum.ac.id. Diakses pada tanggal 02 Mei 2013.

Setiawan, Arie. 2011. Laporan penelitian kebun teh. http://www.slideshare.net. Diakses pada tanggal 3 Mei 2013. 

Soerjani. 2007. Lingkungan Hidup. Jakarta:Universitas Indonesia Press

Suharta, N, Alkasuma, dan H. Suhendra. 1994. Karakteristik tanah dan      penyebarannya di daerah irigasi Air Kasie II, Lubuk Linggau, Sumatera                         Selatan. Bogor.

Suparyono dan Setyono. 1997. Tanah Sawah. http://repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 3 Mei 2013\

Supriyono. 2002. Agroekosistem Sawah dan Tegal. Jurnal Pengantar Ilmu Pertanian. 5(3) : 48-51

Supriyono. 2002. Pengantar Ilmu Pertanian. Surakarta:UNS Press

Widowati. 2000. Pengaruh pengolahan tanah, pengairan terputus, dan pemupukan terhadap produktivitas lahan sawah bukaan baru pada Inceptisols dan Ultisols Muarabeliti dan Tatakarya. Jurnal Tanah dan Iklim 18: 29-38.

Comments

Leave a Reply

Index