Manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya: manusia: makhluk yang selalu berpikir (Homo Sapiens). Decrates, juga Kant, menyimpulkan bahwa jiwalah yang menjadi alat utama pengetahuan, bukan alat indera. Jiwa menafsitkan pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima.
Para psikologi Gestalt menyatakan bahwa manusia tidak memberikan respons kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respons, manusia menangkap dulu ”pola” stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna.
Menurut Lewin, perilaku mansia harus dilihat dari konteksnya. Dari fisika, Lewin meminjam konsep medan (field) untuk menunjukan totalitas gaya yang mempengaruhi seseorang pada saat tertentu. Perilaku manusia bukan sekedar respons pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat (life space). Ryang hayat terdiri dari tujuan kebutuhan individu, semua faktor yang disadarinya, dan kesadaran diri.
Dari Lewin juga lahir konsep dinamika kelompok. Dalam kelompok, individu menjadi bagian yang saling berkaitan dengan anggota kelompok yang lain. Kelompok memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki individu. Lewin juga berbicara tentang tension (tegangan) yang menunjukan suasana kejiawaan yang terjadi ketika kebutuhan psikologis belum terpenuhi.
Sejak pertengahan tahun 1950-an berkembang penelitian mengenai perubahan sikap dengan kerangka teoritis manusia sebagai pencari konsistensi kognitif (The Person as Consistency Seeker). Di sini, manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha menjaga keajegan dalam sistem kepercayaannya dengan perilaku.
Awal tahun 1970-an, teori disonansi dikritik, dan muncul konsepsi manusia sebagai pengolah informasi (The Person as Information Processor). Dalam konsepsi ini, manusia bergeser dari orang yang suka mencari justifikasi atau membela diri menajadi orang yang secara sadar memecahkan persoalan. Perilaku manusia dipandang sebagai produk strategi pengolahan informasi yang rasional, yang mengarahkan penyandian, penyimpanan, dan pemanggilan informasi.
Manusia dalam Konsepsi Psikologi Humanistik
Pada psikologi Humanistik, manusia menentukan cinta, kreativitas, dan pertumbuhan pribadi yang ada dalam dirinya. Psikologi Humanistik mengambil banyak dari psikoanalisis Neo-Freudian, tetapi lebih banyak mengambil dari fenomologi dan eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam ”dunia kehidupan” yang dipresepsi dan diinterpretasi secara subyektif. Setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri.
Menusut Alferd Schutz, pengalaman subjektif ini dikomunikasikan oleh faktor sosial dalam proses intersubjektivitas. Intersubjektivitas diungkapkan pada eksistensialisme dalam tema dialog, pertemuan, hubungan diri-dengan-orang lain, atau apa yang disebut Martin Buber ”I-thou Relationship”. Istilah ini menunjukan hubungan pribadi dengan pribadi, bukan pribadi dengan benda; subjek dengan subjek, bukan subjek dengan objek.
Perhatian pada makna kehidupan adalah juga hal yang membedakan psikologi humanistik dari mazhab yang lain. Manusia bukan saja pelakon dalam panggung masyarakat, bukan saja pencari identitas, tetapi juga pencari makna.
Fran menyimpulkan asumsi-asumsi Psikologi Humanistik: keunikan manusia, pentingnya nilai dan makna, serta kemampuan manusia uuntuk mengembangkan dirinya.
Carl Rogers menggarisbesarkan pandangan Humanisme sebagai berikut:
Setiap manusia hidup dalam dua pengalaman yang bersifat pribad dimana dia – sang Aku, Ku, atau diriku (the I, me, or myself) – menjadi pusat.
Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan dan mengaktualisasikan diri.
Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya.
Adnggapan adanya ancapan terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri.
Kecenderngan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri