Konsep Hak Dalam Islam

14 min read

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT tidak hanya diperintahkan untuk beribadah kepada Allah semata. Dalam pada itu, manusia juga diberikan tugas oleh Allah SWT untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan hidupnya di muka bumi. Tugas ini memang tidak mudah, namun Allah SWT telah membuat sebuah sistem yang berfungsi sebagai pedoman dan pengantur bagi manusia untuk memelihara kesejahteraan hidupnya di muka bumi. Sistem ini bernama Din Islam.

Agama Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sistem ini tidak hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah SWT, atau yang sering disebut hubungan vertikal. Namun, lebih dari itu agama islam sebagai sebuah sistem juga mengatur hubungan antar sesama manusia dan seluruh ciptaan Allah SWT, misalnya tumbuhan dan hewan.

Hak Dalam Islam

Dalam Islam, hubungan antar sesama manusia(hubungan horizontal) di bahas dalam ilmu fiqh ( baca : fiqh muamalat ). Contohnya, tentang konsep hak dalam islam. Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefenisikan kata hak . Menurut Ali al-khafif hak adalah kemaslahatan yang diperoleh secara syara, sedangkan Mustafa Ahmad az-Zarqa’ menyatakan bahwa hak dalah suatu kekhususan yang padanya (hak kekhususan tersebut ) ditetapkan oleh syara’ sebagi suatu kekuasaan. Adapun perbedaan timbul disebabkan oleh pemahaman mereka dalam menafsirkan nash–yang berhubungan dengan hak–berlainan.

Pembahasan seputar konsep hak dalam Islam tidak terlepas dari pembahasan tentang kepemilikan, ketetapan atau kekuasaan terhadap harta ataupun bukan harta. Dari pernyataan tersebut timbul dua pertanyaan, pertama apakah benar bahwa hak hanya terbatas pada kekuasaan, kepemilikan atau kekuasaan terhadap sesuatu? Kedua, siapakah sebenarnya pemilik dari hak itu sendiri?

A. Asal-usul terciptanya hak

Sebelum manusia memulai untuk hidup berdampingan dengan sesamanya atau hidup bermasayarakat dan sebelum tercipitanya hubungan antara seseorang dengan orang yang lain, mungkin kita tidak akan pernah mendengar apa yang dinamakan dengan hak.

Setiap manusia yang hidup secara bermasyarakat pasti akan bertolong-menolong dalam menghadapi berbagai macam kegiatan. Kegiatan tersebut bertujuan untuk memenuhi kepentingan/kepentingan individu masing-masing, atau bahkan masyarakat. Dalam pada itu, untuk memenuhi kepentingan / kebutuhan, seseorang bisa mendapatkannya dari alam secara langsung atau bahkan dari milik orang lain. Ketika seseorang sudah bersinggungan dengan milik orang lain, maka boleh jadi akan timbul pertentangan-pertentangan kehendak yang dapat berujung pada pertikainan kedua belah pihak. Maka untuk memelihara kepentingan masing-masing perlu ada suatu peraturan yang mengatur batas-batas kepentingan seseorang di dalam hidup bermasayrakat. Artinya, peraturan itu ada agar seseorang mengetahui apa yang menjadi hak-nya dan sebaliknya, sehingga ia tidak akan melanggar hak orang lain.

B. Pengertian hak

Hak dalam pengertian umum adalah suatu ketentuan yang dengan dia ( hak ) syara’ menetapkan suatu kekuasaan atau suatu kebebasan ( hukum ).
Secara etimologipengertian yang bersumber al-qur’an hak dapat berarti menetapkan, keadilanlawan dari kezaliman, kebenaranlawan dari kebatilan, kewajiban,bagian dan kepastian. Hal ini firman-firman Allah SWT, diantaranya:

“Agar Allah menetapkan yang hak ( islam ) dan membatalkan yang batil( syirik )…”
{QS : Al-anfal : 8}

“ Dan Allah menghukum dengan adil…” {QS. Al-Mu’min : 20}

“Katakanlah yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”{QS. Al-Israa : 81}

“ Kepada wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah ( pemberian sebagai penghibur , pesangon ) menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertaqwa.” {QS. Al-Baqarah : 241}

“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu,bagi orang (miskin) yag meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa(yang tidak mau meminta)” {QS. Al-Ma”arij : 24-25}

“Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman” {QS. Yasiin : 7}

Kemudian hak secara terminologi adalah sebagai berikut :
Ø Menurut Syekh abd. Hakim Al-Lukman dari Mazb. Hanafi hak adalah :
“Hukum yang tetap berdasarkan syara”

Ø Menurut Syekh ali Al-Khafif, hak adalah :
“Kemaslahatan yang diperoleh secara syara”

Ø Menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa’, hak adalah :
“Kekhususan yang ditetapkan oleh syara’ dalam bentuk kekuasaan”

Ø Menurut Ibnu Nujam,Ahli Fiqh Mazhb.Hanafi, hak adalah :
“Kekhususan yang terlindungi”

Ø Sedangkan menurut ulama fiqh hak merupakan hubungan spesifik antara pemilik hak dan kemaslahatan yang diperoleh dari hak itu sendiri. hubungan itu dalam syariat Islam tidak bersifat alamiah  yang bersumber dari alam dan akal manusia. Sumber hak adalah Allah karena Allah-lah yang membuat syariat, UU dan hak atas manusia dan seluruh alam. Oleh sebab itu, hak selalu terkait dengan kehendak Allah dan merupakan anugerahnya. Hal tersebut hanya bisa diketahui dari sumber-sumber hukum islam Al-Quran As-Sunah. Firman Allah SWT :

“Dan berikanlah kepada keluarga yang dekat akan hak-nya, kepada orang miskin dan orang yang dalam dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros.” {QS. Al-Israa : 26}

q Rukun-rukun hak
I. Pemilik hak
Dalam pandangan islam yang menjadi pemilik hak adalah Allah SWT, baik yang menyangkut hak keagamaan, pribadi atau hak secara hukum. Dalam fiqh disebut Asy-syakhsyiah al ‘itibaniyah
II. Objek hak
q Macam-macam hak
Dari segi pemilik hak
Hak Allah SWT, yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Seperti, melalui berbagai macam ibadah, jihad, amar ma’ruf nahi munkar. Hak Allah merupakan kewajiban bagi manusia dan hak tersebut tidak boleh menggugurkan dengan memanfaatkan atau berdamai dan bahkan tidak boleh mengubahnya. Contoh : pasangan berzina atas dasar suka sama suka, tetap harus dihukum.
Hak manusia, dengan hakikat untuk memelihara kemaslahatan pribadi manusia. Hukuman yang berhubungan dengan hak manusia antara lain adalah pemilik diperbolehkan melepaskan hak-nya dengan cara pemaafan, perdamaian atau membebaskan tanggunan atas seseorang. Hak ini terbagi menjadi 2 sifat :
Umum : menyangkut kemaslahatan orang banyak misalnya menjaga ketertiban dan memelihara sarana umum.
Khusus : menyangkut individu masing – masing misalnya hak istri mendapat nafkah dari suaminya.
Dalam pada itu, hak manusia ada yang dapat digugurkan dan ada yang tidak dapat digugurkan :
a. Hak manusia yang dapat digugurkan, pada dasarnya adalah seluruh hak yang berkaitan dengan pribadi bukan yang berkaitan dengan harta benda (materi). Misalnya, hak qishash, hak syuf’ah dan hak khiyar. Pengguguran hak ini dapat dilakukan dengan membayar ganti rugi, atau tanpa ganti rugi.
b. Hak manusia yang tidak dapat digugurkan adalah sebagai berikut :
i. Hak yang belum tetap, seperti hak suami atas nafkah yang akan datang, hak khiyar pembeli sebelum melihat barang (objek) yang dibeli, atau hak syuf’ah bagi penerima syuf’ah sebelum terjadi jual beli.
ii. Hak yang dimiliki seseorang secara pasti berdasarkan atas ketetapan syara’. Seperti ayah atau kakek menggugurkan hak mereka untuk menjadi wali dari anak yang masih kecil, atau hak wakaf atas benda yang diwakafkan, karena hak wakaf itu berasal dari miliknya.
iii. Hak-hak, yang apabila digugurkan akan berakibat berubahnya hokum-hukum syara’, seperti suami mengugurkan haknya untuk kembali (rujuk) kepada istrinya dan seseorang menggugurkan hak pemilikanya terhadap suatu benda(mengugurkan hak hibah dan wasiat).
iv. Hak-hak, yang didalamnya terdapat hak orang lain. Seperti ibu menggugurkan haknya dalam mengasuh anak, suami mengugurkan iddah isteri yang ditalaknya, orang yang dicuri hartanya mengugurkan hak hukuman potong tangan bagi si pencuri. Hal-hal diatas muncul disebabkan semua hak tersebut berserikat (gabungan). Apabila ada orang yang menggugurkan haknya, maka tidak dibenarkan ia mengugurkan hak orang lain
Hak berserikat, yaitu gabungan antara hak Allah dan hak manusia misalnya kasus Qishash, hak Allah berupa pencegahan bagi masyarakat dalam tindak pidana membunuh agar menjadi contoh bagi masyarakat untuk tidak membunuh serta memberikan efek jera kepada pelaku. Sedangkan hak manusia sebagai penawar kemarahannya dengan menghukum sang pembunuh.
Dari segi objek hak :
Al-Haq Al-Maali : Hak yang berhubungan dengan harta seperti hak pembeli terhadap barang yang dibeli.
Al-Haq Ghairu Al-Maali : Hak yang tidak terkait dengan harta benda. Seperti hak wanita dalam talak karena tidak diberi nafkah oleh suami dan hak cipta bagi pengarang sebuah buku.
Al-Haq Al-Syakhshu : Hak yang ditetapkan syara’ bagi pribadi berupa kewajiban terhadap orang lain, misalnya hak seseorang tinggal diatas rumah orang lain dan hak anak untuk dibiayai yang kemudian menjadi kewajiban bagi orang tuanya.
Al-Haq Al-‘Ainu : Hak yang ditetapkan syara’ terhadap suatu zat untuk dimanfaatkan . seperti pemanfaatan barang jaminan utang dan sewa-menyewa.
Al-Haq Al-Mujarradu : hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila digugurkan melalui perdamaian misalnya pemberi utang yang tidak menuntut pengembalian hutang tersebut.
Al-Haq Ghairu Al-Mujarradu : yang apabila digugurkan meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan seperti ahli waris terbunuh memaafkan pembunuh maka pembunuh menjadi haram dibunuh karena telah dimaafkan.
Dari segi kewenangan terhadap hak tersebut
Al-Haq Al-Diyaani : Hak yang tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan hakim seperti persoalan hutang yang tidak dapat diselesaikan di pangadilan akan tetapi ditunut di hadapah Allah dan hati nurani sendiri.
Al-Haq Al-Qadhaai : Seluruh hak dibawah kekuasan pengadilan dan dapat dibuktikan didepan hakim.
Di samping itu para ulama fiqh juga membagi hak dalam pewarisan ( hak pewarisan ), yaitu :
Hak-hak yang dapat diwariskan, yaitu hak-hak yang dimaksudkan sebagai suatu jaminan atau kepercayaan, seperti hak menahan harta yang dijadikan jaminan utang, menahan barang yang dijual sampai dibayarkan oleh pembelinya.
Hak-hak yang tidak dapat diwariskan, dalam hak ini ulama fiqh berbeda pendapat. Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa hak dan manfaat tidak dapat diwariskan, karena yang dapat diwariskan hanya materi ( harta benda ) saja, sedangkan hak manfaat tidak termasuk materi. Sedangkan Jumhur ulama fiqh berpendapat, bahwa warisan itu tidak hanya materi saja, akan tetapi hak dan manfaat juga mempunyai nilai yang sama dengan harta benda.
q Sumber dan sebab hak
Syara’
Syara’ tanpa sebab, contoh perintah melaksanakan ibadah.
Syara’ melalui sebab, contoh perkawinan memunculkan hak dan kewajiban memberi nafkah.
Akad, seperti dalam jual beli
Kehendak pribadi, seperti janji
Perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi utang orang lain
Perbuatan yang menimbulkan mudarat bagi orang lain, contohnya Amir mewajibkan ganti rugi akibat kelalaian budi menggunakan jam tangannya.
q Akibat hukum suatu hak
Menyangkut pelaksanaan dan penuntutan hak : Para pemilik hak harus melaksanakan hak-nya itu dengan cara yang sesuai dengan syariah. Menurut ulama fiqh yang terpenting adalah sifat keadilan dalam mengembalikan hak sehingga masing-masing pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Atas dasar keadilan ini, syariat islam menganjurkan agar pemilik hak berlapang hati dalam menerima atau menuntut hak-nya itu. Terlebih ketika hak tersebut diambil oleh orang yang sedang mengalami kesulitan ( miskin, susah ). Hal ini sesuai dengan firman Allah :
“ Jika ( orang-orang yang berhutang itu ) dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan menyedekahkan ( sebagian atau semua utang )itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” { QS; Al-Baqarah : 280}

Menyangkut pemeliharaan hak : Ulama fiqh menyatakan bahwa syariat islam telah menetapkan agar setiap orang berhak untuk memulihkan atau menjaga hak-nya dari segala bentuk kesewenangan orang lain.
Menyangkut penggunaan hak : Dalam ajaran Islam setiap orang tidak diperbolehkan sewenang-wenang dalam menggunakan hak-nya yang dapat menimbulkan kemudaratan bagi orang lain. Oleh sebab itu, penggunaan hak dalam islam tidak bersifat mutlak, melainkan ada pembatasannya. Ulama fiqh berpendapat bahwa hak itu harus digunakan untuk hal-hal yang disyariatkan oleh islam. Atas dasar ini seseorang tidak diperbolehkan menggunakan haknya, bila penggunaan hak-nya itu dapat merugikan atau memudaratkan orang lain– baik perorangan, masyarakat, baik sengaja atau tidak sengaja. Misalnya,a) pemilik hak tidak diperbolehkan menggunakan hak-nya secara berlebih-lebihan. Sebab, dalam fiqh perbuatan itu termasuk sewenang-wenang dalam penggunaan hak , yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Sejalan dengan itu penggunaan hak pribadi tidak hanya terbatas untuk kepentingan pemilik hak, melainkan penggunaan hak pribadi harus dapat mendukung hak masyarakat. Ini terjadi karena kekayaan seseorang tidak terlepas dari bantuan orang lain. Bahkan dalam hal-hal tertentu hak pribadi diperbolehkan untuk diambil atau dikurangi untuk membantu hak masyarakat.

q Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kesewenangan dalam penggunaan hak
Maksud membuat kemudaratan : Jika seseorang dalam menggunakan haknya menimbulkan kemudaratan bagi orang lain, maka perbuatan tersebut merupakan kesewenangan dan hukumnya haram.
Melaksanakan suatu tindakan yang tidak disyariatkan : Jika seseorang dalam penggunaan hak-nya tidak didasari syariat dan tidak sesuai dengan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penggunaan hak tersebut, maka tindakan itu haram hukumnya dan harus dicegah.
Munculya kemudaratan yang besar ketika menggunakan hak untuk mecapai suatu kemaslahatan : Jika pemilik hak menggunakan hak-nya untuk memperoleh kemaslahatan pribadinya, akan tetapi penggunaan hak itu menimbulkan kemudaratan yang lebih besar bagi orang lain, maka tindakan itu harus dicegah. Hal ini, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW : “ Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh pula dimudharatkan.”
Penggunaan hak tidak pada tempatnya dam memunculkan kemudaratan bagi orang lain : Jika seseorang dalam menggunakan hak-nya tidak pada tempatnya, bertentangan dengan adat kebiasaaan atau membawa mudarat bagi orang lain, maka tindakan tersebut harus dicegah dan dilarang.
Mengunakan hak dengan tindakan ceroboh/lalai : Sifat kehati-hatian merupakan tuntutan dalam pengguanaan hak orang lain. Sebab, jika ceroboh dalam penggunaan hak yang dapat merugikan orang lain, tindakan tersebut termasuk tindakan sewenang-wenang yang tidak diperbolehkan oeh syara’. Ada dua tindakan seseorang yang tidak digolongkan dalam lalai dalam menggunakan hak , yaitu:
Ø Jika dalam menggunakan hak tersebut, menurut kebiasaan tidak mungkin menghindarkan kemudaratan bagi orang lain. Misalnya, paramedik yang melakukan tindakan operasi terhadap pasien. Mereka telah melakukannya dengan ilmu kedoktera, akan tetapi akibatnya salah satu anggota badan dari pasien menjadi tidak berfungsi.
Ø Jika dalam menggunakan hak telah dilakukan secara hati-hati, tetapi menimbulkan mudarat bagi orang lain, maka tidak termasuk tindakan sewenang-wenang dan tidak dapat diminta pertanggung jawabannya secara perdata.

q 6 macam akibat hukum bagi yang mengunakan hak dengan sewenang-wenang

  1. Menghilangkan segala bentuk kemudaratan yang ditimbulkan oleh penggunaan hak secara sewenang-wenang.
  2. Memberi ganti rugi atas kemudaratan yang ditimbulkan atas penggunaan hak secara sewenang-wenang, jika kemudaratan yang ditimbulkannya berhubungan denga nyawa dan harta.
  3. Pembatalan tindakan sewenang-wenang tersebut atau pembatalan akad
  4. Pelarangan penggunaan hak secara sewenag-wenang.
  5. Melakukan hukum ta’zir atas kesewenangan para pejabat dalam menggunakan hak-nya.
  6. Memaksa pelaku kesewenangan untuk melakukan sesuatu.

q Pemindahan hak
Menurut ulama fiqh seorang pemilik hak dibenarkan memindahkan hak-nya kepada orang lain, dengan ketentuan harus berdasarkan syariat islam, baik yang menyangkut kehartabendaan, seperti jual beli maupun yang bukan harta benda, seperti hak perwalian terhadap anak kecil.

q Berakhirnya suatu hak
Menurut ulama fiqh suatu hak hanya akan berakhir sesuai dengan yang ditentukan oleh syara’. Misalnya hak-hak dalam suatu perkawinan akan berakhir dengan terjadinya talak dan hak milik akan berakhir dengan terjadinya jual beli.

C. MACAM-MACAM HAK LAINNYA
q Haq Milk
Secara etimologi, kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk yang berati penguasaan terhadap sesuatu atau sesuatu yang dimiliki, misalnya harta. Milik juga dapat diartikan hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara’, yang menjadikan pemiliknya dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta itu, kecuali adanya larangan syara’. Contohnya, karena tidak punya uang Andi menyewakan sepeda motornya kepada Irham selama satu bulan. Kasus ini berarti harta milik andi menjadi milik Irham ( pemanfaatannya , dengan akad sewa-menyewa) selama satu bulan. Apabila, sebelum satu bulan Andi mengambil motor miliknya secara sepihak, maka irham dapat melakukan tindakan hukum, seperti menuntut ganti rugi. Adapun contoh yang lain dapat dilihat dari masalah pengampuan.
Secara terminologi, Al-milk adalah pengkhususan seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkannya bertindak hukum terhadap benda itu ( sesuai keinginan-keinginannya ), selama tidak ada halangan syara’. Dengan kata lain, benda yang dikhususkan kepada seseorang itu sepenuhnya berada dalam penguasaannya, sehingga orang lain tidak boleh bertindak dan memanfaatkannya. Adapun sebab-sebab timbulnya haqq milk adalah :
o Peguasaan terhadap harta “harta bebas”
o At-Tawallud ( berkembang biak )
o Al-Kalafiyah ( penggantian/waris, dll )
o Akad

q Haq Al-Irtifaq
Di beberapa literatur fiqh muamalat haq Al-irtifaq di sebut juga dengan milk al-manfaah al-‘aini. Secara etimologi irtifaq berarti pemanfaatan terhadap sesuatu. Sedangkan terminologi dari hak irtifaq adalah :

“Hak pemanfaatan benda tidak bergerak, baik benda itu milik pribadi atau milik umum.”

Sebab-sebab munculnya haq Al-irtifaq adalah :
o Adanya ikatan kebersamaan ( al-Syirkah Ammah )
o Adanya kesepakatan pihak yang berakad
o Adanya kesepakatan ketetanggaan ( kesepakatan Jaaru / Jiwar )

Adapun macam-macam haq irtifaq adalah sebagai berikut :
1) Haq as-Syurb adalah hak manusia atau hewan terhadap air untuk memanfaatkannya. Dalam hak, ini ulama mambagai air kepada 4 macam : a) air yang ditampung dalmam tempat khusus oleh pemiliknya, b) air sumur, c) air sungai khusus yang melewati lahan pribadi tertentu atau pengairan yang dibuat orang/kelompok tertentu, dan e) air sungai besar (umum). Dasar hukum hak ini adalah hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, yang berbunyi :“Manusia itu berserikat dalam tiga hal yaitu air, rumput, dan api.” {HR. Ahmad ibn Hanbal }
2) Haq al-Majra adalah hak pemilik lahan yang jauh dari aliran air untuk irigasi dalam rangka mengairi lahannya, baik melalui lahan orang lain ataupun tidak. Dasar hokum dari hak ini adalah kasus antara dua orang sahabat yang bertengkar dalam persoalan air, pemilik lahan yang dekat dengan sumber air tidak mau mengalirkan air atau tidak mau lahannya dijadikan aliran air ke lahan orang yang jauh dari sumber air. Ketika Umar bin Khattab berupaya mendamaikan keduanya, pemilik lahn yang dekat dengan sumber air tetap bersih keras dengan pendiriannya. Akhirnya Umar bin Khattab berkata :Ðemi Allah saya akan mengalirkan air itu,sekalipun melalui perut engkau”, kisah ini diriwayatkan imam malik dalam kitabnya, al-Mumatta’ Juz II.
3) Haq al-Masil adalah hak seseorang untuk menyalurkan kotoran, baik manusia atau pun rumah tangga, ke penampungan atau saluran umum dengan mempergunakan selang yang melalui jalan raya, lahan, rumah dan perusahaan milik orang lain. Pemanfaatan hak ini tidak boleh mengganggu kemaslahatan orang lain. Maka dari itu, pemilik hak berkewajiban memelihara atau mengamati secara intensif alat yang dipergunakan untuk mengalirkan limbah tersebut.
4) Haq al-Murur / ath-Thariq adalah hak seseorang untuk sampai kerumah atau lahannya dengan melalui lahan orang lain, baik milik umum ataupun pribadi. Misalnya, irham berjalan menuju rumahnya melawati depan rumah hamid. Ulama fiqh membagi permasalahan dalam hak ini ke dalam 2 macam : a) apabila yang dilewati jalan raya, maka semua orang dapat memanfaatkan jalan tersebut (melewati, parkir, berjualan ) asalkan tidak menimbulkan mudharat pada orang lain, b) apabila jalan yang dilewati adalah jalan khusus, boleh dipergunakan ketika jalan raya sedang padat. Namun, tentunya pemilik hak harus menjaga agar jalan tersebut tidak rusak sehingga dapat menimbulkan kemudharatan bagi orang lain.
5) Haq at-Ta’ali adalah hak seseorang untuk tinggal di tingkat atas pada perumahan bertingkat (aparteman, hotel) dan menjadikan loteng rumah orang di tingkat bawah sebagai lantainya.
6) Haq al-Jiwar adalah hak seseorang untuk tinggak bersebelahan dengan tetangganya disebabkan saling bertemunya batas milik masing-masing. Para ulama sepakat dalam keadaan seperti ini, masing-masing pemilik boleh memeanfaatkan milik tetangganya, selama tidak membawa mudharat kepada tetangganya itu. Misalnya, dinding rumah menyatu, maka masing-masing pihak boleh mempergunakan dinding tersebut untuk menggantung lukisan atau perabotan lainnya.

q Haq Al-Intifa’
Intifaq dalam bahasa arab berarti menggunakan, memanfaatkan atau memakai. Sedangkan secara terminologi, defenisi dari Haqq Intifa’ adalah kewenangan memanfaatkan, menggunakan, dan memakai sesuatu yang berada dalam kekuasaaan atau milik orang lain, dan kewenangan itu terjadi disebabkan oleh beberapa hal yang disyariatkan. Misalnya, melalui jual beli dan sewa menyewa. Munculnya Haqq Intifa’, menurut para ulama, bisa disebabkan oleh beberapa hal. Hal-hal tersebut tentunya selaras dengan apa yang ada dalam nash, yaitu :
1) Al-I’arah ( Pinjam-meminjam ) / Ariyah . Para ulama fiqh ( ulama hanafiyah dan malikiyah ) merumuskan defenisi dari Al-I’arah, sebagai :
“ Pemilikan manfaat tanpa imbalan ganti rugi”
Maksudnya, seseorang memnberikan manfaat dari sebuah benda kepada orang lain tanpa meminta imbalan selama benda tersebut berada di tangan orang yang meminjam. Implikasi dari Al-I’arah adalah orang yang meminjam suatu benda, menjadi pemilik manfaat dari benda tersebut. Hakikat dari Al-I’arah adalah adalah hukum Ibahah (kebolehan) untuk memanfaatkan manfaat suatu benda. Pembolehan mengandung arti manfaat benda yang dipinjam hanya berlaku bagi pihak yang meminjam ( sebagai pihak kedua ) dan peminjam tidak diperbolehkan untuk meminjamkan , atau bahkan menyewakan, manfaat benda yang ia pinjam kepada pihak ketiga.. Pendapat ini muncul dari ulama kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah.
2) Al-Ijarah ( Sewa-menyewa ). Berbeda dengan Al-I’arah, pada Al-Ijarah pihak yang memberi pinjaman dibolehkan meminta imbalan ganti rugi selama benda tersebut itu dipergunakan oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan defenisi Al-Ijarah yang dikemungkakan oleh para ulama fiqh, yaitu :

“ Pemilikan manfaat dengan imbalan ganti rugi”

Bila dijelaskan dalam Al-I’arah tadi bahawa pihak yang meminjam barang tidak boleh meminjamkannya kembali, maka berbeda dalam Al-Ijarah , menurut jumhur ulama fiqh, pihak penyewa diperbolehkan untuk menyewakan kembali kepada pihak ketiga selama pihak kedua memanfaatkan sebagai hak yang diberikan pihak pertama ( pemberi sewa ). Artinya, apabila seseorang menyewa mobil untuk mengangkut sayur-mayur, maka ia juga boleh menyewakan mobil tersebut kepada pihak ketiga (orang lain ) untuk mengangkut sayur-mayur juga, tidak untuk mengangkut selainnya, seperti batu, kayu dan semen. Tentunya pihak yang menyewa baik pihak kedua dan ketiga harus bisa menggunakan mabil itu daengn baik sehingga tidak timbul kerusakan, pada mobil, yang dapat menyebabkan kerugian bagi pihak-pihak yang berakad.
3) Al-Waqf ( Wakaf ). Para ulama mendefenisikan wakaf dengan :
“ Penyerahan manfaat sesuatu kepada orang lain untuk dimanfaatkan”

Orang yang menerima wakaf, menurut kesepakatan ulam fiqh, mempunyai hak untuk memanfaatkan harta yang diwakafkan itu untuk dirinya sendiri. Dia tidak berhak mengalihkan manfaat itu kepada orang lain. Jika ia mengalihkan manfaat itu kepada orang lain, maka akadnya dipandang tidak sah, kecuali jika pihak yang mewakafkan mengizinkannnya. Akan tetapi menurut mereka apabila secara adat ( urf ) orang lain boleh memanfaatkanya, maka orang selain yang menerimanya juga boleh memanfaatkan benda wakaf tersebut. Misalnya, apabila sebuah yayasan menerima wakaf sebuah rumah, maka disamping dimanfaatkan oleh yayasan itu, pihak yayasan juga boleh menyewakan rumah tersebut kepada orang lain yang hasilnya nanti dapat digunakan untuk kemaslahatan umum.
4) Al-Wasiat bi al-Manfaat ( Wasiat dengan manfaat ). Maksud dari kata ini adalah seseorang yang memberikan suatu benda kepada orang lain untuk dimanfaatkan setelah ia wafat. Ketentuan bentuk hak ini hampir sama dengan bentuk wakaf. Namun apabila pemilik wasiat mewasiatkan benda kepada orang lain dengan jangka waktu tertentu, maka setelah jangka waktu itu terlewati, ahli waris dari orang yang mewasiatkan berhak mengambil manfaat, karena benda yang diwasiatkan telah menjadi hak milik yang telah diwarisi. Misalnya, baopak irham mewasiatkan tanahnya untuk dipakai bercocok tanam selama satu tahun, maka setelah satu tahun terlewati ahli waris dari keluarga irham berhak atas tanah tersebut.
5) Al-Ibahah ( Pembolehan ). Yang dimaksud dengan Al-Ibahah adalah kebolehan atau keizinan yang diberiakn seseorang kepada orang lain untuk memanfaatkan suatu benda yang dimilikinya. Misalnya, irham membolehkan anton untuk memakan buah jambu yang ada dirumah irham atau hamid mengizinkan rudi untuk menggunakan mobilnya untuk satu hari. Bentuk Haqq Intifa’ yang kelima ini hampir sama dengan Al-I’arah dan Al-Ijarah. Perbedaannya adalah Al-I’arah dan Al-Ijarah memiliki akad masing-masing sedangkan Al-Ibahah hanya merupakan sebuah kebolehan, bukan akad. Para ulama fiqh membagi Al-Ibahah kepada dua macam, yaitu :
i) Pembolehan yang bersifat umum. Maksudnya memberikan pembolehan kepada setiap orang atau bersifat untuk umum. Misalnya, membolehkan orang lain melintas dijalan raya.
ii) Pembolehan yang bersifat khusus. Berlawanan dengan diatas, macam yang kedua ini hanya memberikan pembolehan untuk orang-orang tertentu saja. Dengan kata lain tidak memberi hak kepada orang ketiga untuk memanfaatkan benda. Misalnya, irham hanya mengizinkan hamid untuk menggunakan motornya, berati selain hamid tidak diperbolehkan menggunakan motor irham, walaupun orang itu yang akan menggunakan motor tersebut termasuk teman irham juga.

q Perbedaan antara Haq Al-Irtifaq dan Haq Al-Intifa’

  • Haq al-irtifaq hanya berlaku pada benda tidak bergerak, seperti lahan, rumah dan sumur. Sedangkan Haq al-Intifa’ mengkhususkan pemanfaatan benda itu pada pribadi tertentu, seperti hak pemanfaatan benda oleh orang yang memimjam atau meyewa benda itu. Jika ia wafat maka hak ini pun habis.
  • Haq al-irtifaq selamanya terkait dengan benda tidak bergerak, sedangkan Haq al-Intifa’ boleh benda tidak bergerak ( Ali menjual sebidang tanah miliknya ) dan juga boleh benda bergerak.
  • Haq al-irtifaq tidak habis dengan wafatnya seseorang, karena para ulama sepakat mengatakan bahwa hak ini boleh diwarisi. Adapun Haq al-Intifa’ akan habis dengan wafatnya seseorang ,seperti seseorang yang diberi wasiat untuk memanfaatkan sebidang tanah. Apabila ia wafat, maka hak pemanfaatan ini tidak boleh diwarisi ahli warisnya.
  • Haq al-irtifaq,menurut ulama Hanafiyah, bukanlah harta. Oleh sebab itu, tidak boleh diperjual belikan terpisah dari asalnya, tidak boleh dihibahkan, tidak boleh dijadikan ganti rugi harta dan tidak boleh dijadikan mahar. Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa hak ini boleh diwariskan dan diwasiatkan. Apabila seseorang menjual lahannya, maka ia boleh menjual lahan itu, tapi haq al-irtifaq tetap berlaku sebagaimana sebelumnya. Hak-hak ini tidak termasuk dalam materi jual beli, kecuali dinyatakan secara jelas pada waktu akad.

q Gasb (Mengambil yang bukan Haq-nya )
Secara etimologi, al-gashb berarti mengambil sesuatu secara zalim, atau secara paksa dengan terang-terangan. Secara terminologi, ada tiga defenisi yang dikemungkakan oleh ulama fiqh :

  1. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa Gashb adalah mengambil harta yang bernilai menurut syara’ dan dihormati tanpa seizing pemiliknya sehingga harta itu berindah tangan dari pemiliknya.
  2. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Gashb adalah mengambil harta orang lain secara sewenag-wenang dan secara paksa, tetapi bukan dalam artian merampok.
  3. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.
    Adapun bentuk hukuman yang diberikan bagi peng –gashb, menurut ulama fiqh ada tiga, yaitu :
  4. Pelaku dikenakan dosa
  5. Wajib mengembalikan, apabila barang tersebut masih utuh.
  6. Apabila barang itu rusak atau hilang karena pemanfaatan, maka pelakunya dikenakan ganti rugi.

Referensi : Nasrun Haroen. Fiqh Muamalat. Jakarta : Gaya Media Pratama

Laporan Praktikum Efek Fotolistrik

Efek Fotolistrik Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Efek fotolistrik adalah fenomena terlepasnya elektron logam akibat disinari cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek...
Ananda Dwi Putri
9 min read

Laporan Praktikum Tetes Minyak Milikan

Tetes Minyak Milikan Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Elektron merupakan suatu dasar penyusun atom. Inti atom terdiri dari elektron (bermuatan negatif) dan proton...
Ahmad Dahlan
7 min read

Makalah Sifat Fantasi Dalam Tinjauan Psikologi

Sifat Fantasi Bab I. Pendahuluan Pada dasarnya psikologi mempersoalkan masalah aktivitas manusia. Baik yang dapat diamati maupun tidak secara umum aktivitas-aktivitas (dan penghayatan) itu...
Wahidah Rahmah
4 min read

Leave a Reply