Daftar isi
Indonesia Pra Islam
A. Sekilas Kondisi Geografis Indonesia
Nama Indonesia digunakan dalam pembahasan ini untuk menunjukkan seluruh kesatuan wilayah yang membentuk negara Republik Indonesia. Nama ini untuk pertama kali digunakan oleh Adolf Bastian (seorang etnolog Jerman) pada tahun 1884M untuk mengidentifikasikan seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Kepulauan ini juga dulu dikenal dengan sebutan Nusantara.
Indonesia adalah kelompok kepulauan terbesar di dunia. Diperkirakan kurang lebih 3.000 pulaunya. Kepulauan Indonesia sangat panjang yang terbentang dari Barat ke Timur yaitu dari titik terbarat Sumatra sampai ke titik paling Timur Irian Jaya(Papua). Kepulauan Indonesia termasuk salah satu wilayah yang terbanyak gunung berapinya. Di Jawa, Sumatra dan beberapa pulau lainnya terdapat lebih dari 100 buah gunung berapi yang masih aktip.
Indonesia mempunyai iklim tropis yang sangat dipengaruhi oleh pegunungan dan laut. Temperatur berkisar 20 derajat Celsius sampai 30 derajad Celsius. Curah hujan lebih dari 102 cm setahun. Beberapa daerah seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi Tengah dan Maluku lebih banyak turun hujannya. Kepulauan Indonesia dipengaruhi oleh dua musim, musim kemarau dan hujan. Musim kemarau berlangsung antara bulan Mei sampai dengan September dan musim penghujan antara bulan Oktober sampai dengan April.
Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, dua samudra India dan Fasifik. Karena letaknya yang demikian, kepulauan ini menjadi jembatan penyeberangan berbagai bangsa di zaman dahulu (pra Sejarah). Dan tak kurang pula pentingnya adalah letak Indonesia pada jalur perdagangan di antara dua pusat perdagangan “Internasional” zaman dulu (Sejarah Indonesia Klasik), yaitu antara India dan Cina. Juga memungkinkan Indonesia senantiasa dilalui oleh pelayaran tersingkat antara Asia Timur disatu pihak dan Asia Selatan-Asia Barat-Afrika di pihak lain. Jadi tepat dikatakan bahwa kepulauan Indonesia terletak pada persimpangan jalan dunia.
B. Agama dan Kepercayaan
Agama anutan penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara sebelum tersiarnya agama Islam adalah agama Hindu dan Budha. Dan sebelum berkembangnya kedua agama tersebut tiap suku atau masyarakat Nusantara telah memiliki sistem religi yang beraneka ragam.
Dari hasil penelitian ilmu Antropologi dan Sosiologi terhadap suku-suku bangsa di kepulauan Nusantara ini, terlihat adanya keaneka ragaman sistem kepercayaan itu. Fenomena keagamaan itu terlihat dengan jelas baik pada suku bangsa yang memang secara resmi belum menyatakan diri sebagai penganut agama besar, misalnya Pelbegu-Nias (Sumatera), Kaharingan-Dayak (Kalimantan), Aluk Todolo-Toraja, Patuntung dan Tolotan (Sulawesi Selatan).
Sesungguhnya sangat sulit untuk mengungkap sistem agama dan kepercayaan yang menjadi anutan masyarakat di kepulauan Nusantara secara keseluruhan, oleh karena sumber-sumber yang dapat dijadikan bahan penelitian sangat minim sehingga juga sangat sulit dapat diketahui mengenai proses perbauran antara sistem kepercayaan asli tiap etnis di kepulauan Nusantara dengan sistem kepercayaan pada agama Hindu dan Budha. Yang pasti sebelum kedatangan agama besar itu, nenek moyang bangsa Indonesia bukanlah bangsa liar yang tidak mempunyai sistem religi dan kepercayaan, tetapi mereka telah tunduk dan patuh pada sistem yang mengaturnya sesuai dengan alam pikiran mereka sendiri.
Banyak faktor yang menjadi indikator, mengapa agama Hindu dan Budha tersiar dan tersebar di kepulauan Nusantara kemudian menyatu dengan sistem religi setempat. Antara lain bahwa agama yang berasal dari India selatan itu adalah merupakan akar yang utama dari kebudayaan yang termaju di kawasan Asia pada abad-abad pertama Masehi itu.
Untuk menyamakan kedudukan agar setarap dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa India, maka seyogyanyalah tiap suku bangsa yang mengadakan hubungan dengan mereka untuk mengambil dan menerima sistem kepercayaan agama Hindu dan Budha, seterusnya akan mempengaruhi sistem kehidupan sosialnya. Berubahlah alam gaib dari sebahagian orang Indonesia menjadi sama dengan alam gaib menurut agama Hindu dan Budha, begitu pula sistem kekerabatan, sistem pemerintahan, kesenian dan sebagainya.
Para ahli sejarah mengatakan bahwa agama Budha yang lebih awal tersiar di Indonesia kemudian agama Hindu, setidak-tidaknya kedatangan hamper bersamaan, meskipun kita ketaahui bahwa agama Hindu itu jauh lebih tua dari agama Budha.
Bilamana dan Bagaimana agama Budha itu memulai perkembangannya di kepulauan Nusantara, belum dapat diketahui dengan pasti. Diduga bahwa sejak abad 1 Masehi agama Budha/Hindu telah mulai masuk secara berangsur-angsur ke Indonesia. Keterangan paling awal diperoleh dari Fa Hsien seorang Bikhu Cina yang pernah mengunjungi pulau Jawa 414 M. Menurut keterangannya penduduk pulai yang dikunjunginya itu menganut agama Budha. Bikhu Gunawarman dari Kasmir juga pernah menetap di pulai Jawa sekitar tahun 421 M. Ia menyebar luaskan pengajaran agama Budha, malah berhasil menterjemahkan pustaka suci agama Budha dari aliran Dar, Agupta yaitu Mulasarvastivadanikava ke dalam bahasa Sansekerta. Kerajaan yang dikunjungi Fa Hsien diperkirakan adalah Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat (400-500 M) dengan rajanya yang terkenal.
Menurut pengakuannya pada kerajaan itu penganut Budha sedikit. Kebanyakan penduduk masih menganut agama “kotor” yaitu agama asli penduduk yang sudah lama dianut sebelum kedatangan agama Budha di Indonesia.
Pada tahun 672 M., Bhikhu l Tsing dalam perjalanannya dari Kanton (Cina) menuju India mengunjungi Kerajaan Sriwijaya dan menetap sekitar enam bulan untuk belajar bahasa Sansekerta. Agama Budha berkembang mengikuti laju perkembangan Kerajaan Sriwijaya. Di ibu kota Sriwijaya telah berdiri Perguruan Tinggi Agama Budha. I Tsing menyebut Perguruan Tinggi itu negeri Fo Shih, di sana belajar lebih seribu Bhikhu Budha seperti halnya di India. Bahkan Bhikhu Cina sebelum ke India belajar, Universitas Nalanda, ia terlebih dulu belajar selama dua tahun di Perguruan Tinggi tersebut. Ini merupakan bukti adanya jalinan kuat antara kedua perguruan tinggi agama itu.
Sedang agama Hindu masuk ke Indonesia dapat dipahami juga dari beberapa kerajaan tertua yang menganut agama Hindu seperti, Kerajaan Kutai 4 M, Mataram Kuno, Medang Kamulan/Isyana, Kediri dan Singosari dan Majapahit. Ini menunjukkan adanya jalinan kuat antara pemerintah setempat dengan negara asal agama tersebut.
C. Politik dan Pemerintahan
Bukti tentang politik dan pemerintahan yang ada di Nusantara dapat di lacak dari munculnya kerajaan-kerajaan tertua yang pernah ada di Indonesia. Sebagai contoh prasasti dari Kutai yang selama ini telah menjadi patokan babakan dimulainya masa sejarah Indonesia dapat memberikan gambaran akan adanya sistem politik dan pemerintahan ketika itu.
Keberadaan raja sebagai pemimpin erat hubungannya dengan golongan lain dari kelompok keagamaan yaitu para brahmana. Hubungan ini pula yang dapat memberikan gambaran lebih jauh akan sistem pemerintahan dan politik ketika itu. Struktur birokrasi sebagai inti pemerintahan ada yang mengatakan mulai dapat dilacak sejak masa Sriwijaya. Sejumlah prasasti menunjukkan adanya pelaksanaan dari keputusan raja dilengkapi dengan perincian saksi dan imbalan-imbalan yang diterimanya.
Dari beberapa kerajaan yang tertua di Nusantara telah menunjukkan tentang bagaimana tatanan politik dan pemerintahannya. Kekuasaan pemerintah pusat diperkuat dengan melakukan program-program yang berhubungan dengan upacara dan birokrasi. Pesta-pesta tahunan merupakan sarana pengkonsentrasian rakyat dalam jumlah banyak di ibukota. Hasil-hasil industry dan pertanian dalam kualitas dan kuantitas lebih disediakan untuk upacara. Hasil pertanian, pajak dan kerja wajib dibuutuhkan untuk penyelenggaraan ini. Di sinilah loyalitas penguasa bawahan kepada penguasa atasan, antara rakyat dengan penguasanya akan dipakai sebagai ukuran.
Upacara agama menimbulkan arti yang lebih besar dan menyebabkan tumbuhnya pusat-pusat kehidupan. Selain rakyat tentunya, di sana akan terkonsentrasi struktur-struktur upacara seperti candi, makam dan tempat suci lainnya. Hal ini membuat berkembangnya pusat-pusat politik dan menjadi kohesif bagi pusat pemerintahan.
Koordinasi dan integrasi masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah pusat menimbulkan kebutuhan akan birokrasi untuk mengorganisasi dan mengawasi pungutan pajak, upeti,dan barang-barang yang ada. Akibatnya basis kekuasaan sebagian besar ada di tangan birokrasi. Penguasa dan birokrasi, keduanya didasarkan pada kekuatan untuk mengeksploitasi agraris dan perdagangan, menjadi kekuatan yang paling dominan secara politik dan kultural.
Yang jelas, sebelum datangnya Islam bahwa perkembangan politik dan pemerintahan dalam mengelola negara adalah bersifat sentralisasi dan monopolisasi jabatan pemerintahan di tangan sekelompok penguasa yang dikepalai seorang rajayang paling dominan. Hubungan antara raja dengan pegawai-pegawai di bawahnya berbentuk sebagai hubungan clientship yaitu ikatan antara seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasan penguasa tertinggi.
D. Perekonomian dan Perindustrian
Telah diketahui bahwa pada masa kerajaan-kerajaan tertua yang pernah ada di Nusantara ini, juga telah disinggung bagaimana kehidupan ekonomi masyarakat ketika itu. Pemukiman yang terpencar dilembah-lembah sungai dan di dataran-dataran pegunungan, di sanalah terdapat komunitas-komunitas dengan segala aktivitasnya sebagai pendukung utama keberlangsungan stabilitas ekonomi pemerintahan. Toh begitu, daerah pedalaman adalah daerah agraris yang tertutup. Perdagangan, sebagai satu aktivitas ekonomi yang menuntut adanya keterbukaan hanyalah dilakukan oleh sedikit golongan rakyat yang harus berjalan jauh dengan pedati-pedati atau sampan mereka untuk berdagang. Perdagangan luar negeri hanyalah berpengaruh terutama pada istana dan para pedagang dan kota-kota pelabuhan. Perdagangan itu tidak untuk kepentingan massa penduduk desa, kaum bangsawan, ataupun pemuka agama daerah.
Sebagaian perdagangan interinsuler negeri Jawa terutama pada perdagangan beras. Istana sebagai pemegang pengawasan di seluruh daerah, mempunyai kekuasaan tertinggi atas transaksi perdagangan. Di kota-kota pantai kekuasaan politik dan ekonomi dipegang oleh kaum aristokrasi yang mendominasi perdagangan, baik sebagai pemegang/pemberi modal ataupun kadang-kadang sebagai pelaku perdagangan.
Dalam perspektif sejarah kalau di telaah bahwa kerajaan-kerajaan yang pernah ada itu menjadikan perdagangan sebagai basis kekuatan politik dan hubungan yang tetap dengan kebudayaan asing atau negara lain.
Sisi lain perekonomian adalah pertanian yang merupakan tulang punggung perekonomian sebagian besar pemerintahan yang pernah ada di wilayah Nusantara. Hasil pertanian persawahan menjamin stabilitas dan persediaan makanan secara teratur. Organisasi pekerjaan yang dibutuhkan dalam pengolahan lahan persawahan pada skala yang luas berhubungan timbal-balik dengan perkembangan masyarakat dan administrasi. Beras menjadi tulang punggung utama ekonomi kerajaan. Surplus hasil pertanain yang terjadi, kemudian bahkan menjadi komoditas ekspor. Beras dipertukarkan dengan komoditas lainnya, rempah-rempah (dari wilayah lokal) yang kemudian dipertukarkan dengan komoditas perdagangan dari luar seperti kain, keramik dan lain-lain terutama dari India dan Cina.
Sebagai contoh pada masa Kerajaan Majapahit berkuasa, para pedagang asing berdatangan ke wilayah kekuasaan Majapahit, seperti dari Champa, Thailand, Birma, Srilankka dan India. Mereka kemudian sebagian bermukim di Jawa dan bahkan ada beberapa diantaranya yang kemudian ditarik pajak.
Sebagai perimbangan kehidupan perekonomian yang semakin maju, maka di bidang industri juga terpacu untuk berkembang. Pengertian industry di sini meliputi industry rumah tangga, kerajinan dan industri logam. Sekali lagi data arkeologi menunjukkan bukti-buuktinya yaitu sumber prasasti dan artefak yang telah ditemukan. Ada istilah Perundagian yang berkaitan dengan kepandaian, kehlian seseorang yang memerlukan keahlian khususnya, misalnya tukang kayu atau ahli bangunan. Dalam beberapa prasasti kuno ditemukan beberapa keterampilan membuat suatu benda (alat) denggan istilah undagi seperti undagi lancang (pembuat perahu), undagi batu (pemahat batu), undagi pengarung (pembuat terowongan), undagi kayu (tukang kayu), undagi rumah (pembuat rumah). Selain itu ditemukan juga kelompok yang disebut pande mas (pandai emas), pande wse (pandai besi), pande tambra (pandai tembaga), pande kangsa (pandai perunggu), pande dadap (pandai tameng/perisai). Mereka selain membuat benda/alat itu untuk kebutuhan mereka dan rakyat biasa, juga untuk memenuhi kebutuhan raja dan kerabatnya.
E. Seni dan Sastra
Berbicara tentang seni akan ditemukan satu keragaman yang luar biasa bentuk dan jenisnya, karena seni adalah penjelmaan dari rasa indah yang terkandung di dalam hati orang yang dilahirkan dengan perantaraan alat-alat komunikasi ke dalam bentuk-bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari,drama).
Pada saat itu, bentuk-bentuk seni yang telah berkembang yaitu seni musik, seni tari, wayang, lawak, dan tari topeng. Bentuk-bentuk seni tersebut secara tak langsung sebagian besar terdokumentasikan pada pahatan-pahatan relief di candi-candi yang tersebar di berbagai tempat. Sedangkan seni yang tidak meninggalkan artefak dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan. Kemudian pada masa Kerajaan Medang Kamulan, rajanya Airlangga, di mana seni tari dan musik berkembang dengan baik.
Bentuk-bentuk karya seni berbahan tanah juga ada seperti wadah, dinding sumur, lantai, dinding, penyimpan uang juga ada yang berfungsi estetis murni ataupun religious seperti patung, amulet, patung binatang, miniature bangunan, mata uang. Bahan dari keramikdan porselin kebanyakan berupa alat-alat makan dan minum yang kadang-kadang difungsikan juga untuk hiasan.
Seni gamelan adalah adalah salah satu unsur budaya yang telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia sebelum datangnya pengaruh India. Panjangnya pengaruh dan perubahan, maka tentunya gamelan juga telah banyak mengalami perkembangan baik bentuk dan kualitasnya. Dari sumber prasasti, gamelan dari masa jawa kuno khususnya dapat dikelompokkan menjadi jenis chordopohones (alat music yang bunyinya dihasilkan dengan memetik kawat, contoh kecapi, siter,clempung), aerophones (alat musik tiup, contoh seruling, terompet), membranophones (alat musik pukul dengan penutup seperti gendang), idiophones (alat musik yang dirangkai, contohnya gong, reyong), dan xylophones, (alat musik bilah gambang, kulintang pada masa sekarang).
Sedangkan perkembangan sastra khususnya ketika masuk pengaruh Hindu-Budha ke Nusantara cukup mengalami perkembangan. Seperti kitab Mahabrata dan Ramayana adalah menjadi dasar ditemukannya gubahan-gubahan cerita yang sangat mungkin diambil sebagian atau utuh melahirkan naskah sastra yang lain. Naskah yang ada biasanya dalam bentuk sastra yang menceritakan tentang pengalaman ataupun kemuliaan seorang raja yang berkuasa ketika itu. Kitab Bratayudha berisi tentang kemenangan Kediri atas Jenggala (ini adalah hasil gubahan bebas dari bahagian buku Mahabrata). Salah seorang pujangga yang terkenal pada masa kerajaan ini ialah Mpu Kanwa menggubah suatu Syair bernama Arjunawiwaha (Perkawinan Arjuna), saduran dari bagian Mahabrata. Arjunawiwaha merupakan hasil kesusastraan jawa yang seindah-indahnya. Isinya mengisahkan perkawinan Erlangga dengan putrid Sumatra, dalam tahun 1030 M., syair itu disadur juga ke dalam cerita wayang.
Tiap-tiap daerah mempunyai naskah-naskah yang sekaligus merupakan sumber sejarah. Ada cerita pararaton, yaitu menceritakan tentang keberadaan raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Singosari. Kitab Nagarakertagama, yaitu menceritakan tentang hubungan silsilah raja-raja Majapahit dengan raja-raja Singosari. Kitab Sutasomo, yaitu merupakan karya Mpu Tantular yang terdapat kalimat “Bhinneka Tunggal Ika”. Ungkapan ini digunakan untuk menyatakan bahwa ajaran Hindu-Budha berbeda tetapi memiliki asas yang sama (Kerajaan Majapahit).
Kebudayaan masa itu adalah kebudayaan istana, artinya kebudayaan adalah ciptaan para penguasa, milik serta hasil karya eksklusif dari birokrasi. Monument-monumen, kesusasteraan, tulisan-tulisan teokratis dan ajaran-ajaran hukum dan agama menjadi milik para bangsawan dan rohaniawan. Seluruh kebudayaan menjadi menjulang tinggi di atas rakyat kebanyakan. Kebudayaan bukanlah harta benda kultural rakyat.