Pangeran Diponegoro dan Keraton Yogyakarta merupakan salah satu warisan sejarah yang mewarnai budaya daerah Jawa, Khususnya Yogyakarta. Salah satunya telah wafat dan kini dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional dan satunya lagi masih berdiri kokoh hingga hari ini membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari Daerah Istimewa Yogykarta.
Keduanya dikenal terlibat konflik yang menyisahkan beberapa pertanyaan yang banyak diajukan meskipun tidak begitu penitng untuk dijawab karena hanya menghasilkan konflik yang tidak penting juga. Seperti pertanyaan “Apakah Keturunan Pangeran Diponegoro dilarang masuk Keraton Yogyakrta?”
Daftar isi
Pangeran Diponegoro dan Keraton Yogyakarta
Kisah Pangeran Diponegoro memang tidak lepas dari Keraton Yogyakarta. Ayahnya adalah Gusti Raden Mas Suraja dan ibunya adalah selir bernama R.A. Mangkarawati. Gusti Ran Mas Suraja sendiri di hari kemudian dilantik sebagai raja Keraton dengan gelar Hamengkobowono III.
Hamengkobowono III pernah meminta Pangeran Diponegoro untuk menjadi Raja Jogja namun menolak dengan alasan ia sendiri adalah anak selur, bukan dari Permaisuri. Namun konflik antara Diponegoro dan Keraton Yogyakarta tidak sebabkan oleh penolahakan tersebut.
Perlawanan Diponegoro
Sebagaimana yang kita ketahui bersama jika Pangeran Diponegoro adalah salah satu pahlawan Nasional yang sangat keras melawan Belanda. Namun pada akhirnya Ia tertangkap pada tanggal 28 Maret 1830 di Magelang.
Proses penangkapan tidak lepas dari tipu daya Belanda yang menjebak Pangeran Diponegoro untuk berdiskusi. Jenderal de Kock yang merupakan Gubernur India Belanda Timur memanfaatkan momen tersebut untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda pada tanggal 28 Maret 1830.
Keterlibatan Keraton Yogyakarta
Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat, Cucul Sultan Hamengkobowno VIII menyatakan bahwa terdapat campur tangan Keraton Yogyakarta dalam prosses penangkapan Pangeran Diponegoro. Dugaan tersebut tidak lepas dari hasil penelitian yang ia dilakukan terkait naskah Jawa Kuno yang selama ini tersimpan rapat di Keraton Yogyakarta.
Dalam naskah itu, dikisajkan bahwa Raden Tumenggung Danukusuma II, sekonyong-konyong keluar dari Keraton. Raden Tumenggung Danukusuma II merupakan Ipar dari Pangeran Diponegoro. Saat itu ia menjabat sebagai Patih dengan gelar.
Selepas Pangeran Diponegoro kesepian karena ditinggalkan para panglima perang dan saudaranya, Abdullah berinisiatif berembuk dengan De Kock, Abdullah meminta De Kock untuk segera mengadakan perdamaian di loji Karesidenan Magelang.
Pada hari yang ditentukan, Pangeran Diponegoro dan Jenderal De Kock berada di kamar depan, demikian kisahnya, sementara Abdullah datang lebih dahulu di kamar belakang. Usai Pangeran Diponegoro ditangkap, dia lalu pergi melapor menghadap ke Keraton lagi dan selanjutnya, dia mendapat gelar Kanjeng Adipati Danuningrat.
Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat menduga bahwa Abdullah sengaja diselundupkan dalam misi rahasia, bukan atas inisatif pribadi, karena buktinya dia kembali ke keraton lagi. Dan karena ini rembuk negara, bukan perorangan maka fakta ini sesuatu yang patut dipertimbangkan.
Rekonsililiasi Pihak Keraton Yogyakarta vs Keturunan Pangeran Diponegoro
Pada tahun 1950, tidak lama setelah penyerahan kedaulatan RI 27 Desember 1949, Presiden Soekarno pernah berinisiatif mengumpulkan para keturunan Pangeran Diponegoro . Hubungan dengan keluarga keraton Yogyakarta yang memburuk selama lebih dari seratus tahun akhirnya direhabilitasi.
Keturunan Pangeran Diponegoro pun kembali diakui keraton dan bahkan pihak Keraton Yogyakarta menawarkan untuk mengembalikan warisan tanah seluas 20.000 m2 di Tegalrejo dan juga emas kepada keturunan Pangeran Diponegoro dari istri permaisuri, Raden Ayu Supadmi, namun tawaran tersebut ditolak secara halus dengan alasan mencegah keributan.
Jadi, sejak 1950 hingga saat ini hubungan Keraton Yogyakarta dengan keturunan Pangeran Diponegoro sudah pulih secara resmi sehingga tidak ada alasan pihak Keraton Yogyakarta menolak keturunan Pangeran Diponegoro.