Historisnya, pencemaran udara bukanlah masalah baru karena sudah terjadi ribuan tahun yang lalu. Letusan gunung dan kebakaran hutan adalah dua sumber pencemar alami yang menghasilkan asap, abu, debu, CO2 dan H2S. Dengan mekanisme swabersih, self-cleansing di atmosfer seperti dispersi, flokulasi, sedimentasi, absorpsi, adsorpsi dan hujan maka pencemaran udara tidak menjadi parah.
Jika ada satu atau lebih kontaminan di udara yang kadar, sifat dan durasinya merugikan flora, fauna dan manusia maka telah terjadi pencemaran udara bukan sekedar pengotoran udara. Sumber utamanya adalah aktivitas manusia seperti transportasi dan industri yang banyak mengemisi pencemar padat, cair dan gas. Penanganan limbah padat dan cair dengan teknik bioproses yang memanfaatkan mikroba sudah lama dilakukan. Sedangkan intensifikasi aplikasinya untuk limbah gas khususnya di Indonesia baru dasawarsa terakhir abad ke-20 yang lalu dimulai.
Ekonomis, itulah keunggulan rekayasa bioproses dibandingkan dengan proses fisikokimia seperti scrubber yang menggunakan pelarut (absorban) untuk menyisihkan limbah gas. Selain biaya investasi dan O-M yang tinggi, pengoperasian proses fisikokimia juga lebih rumit dan timbul masalah baru pada lingkungan akibat lumpur/sludge toksik yang dihasilkannya. Ide dasar bioproses limbah gas sama dengan limbah cair yakni pemanfaatan kemampuan mikroba untuk mendegradasi pencemar organik yang digunakan sebagai sumber karbon dan pertumbuhan sel. Pada kondisi ini, semua pencemar diubah menjadi produk akhir yang tidak berbahaya seperti CO2, H2O dan biomassa baru dan efektif untuk pencemar organik yang konsentrasinya relatif rendah, antara dari 1 – 5 g/m3.
Bioproses
Ide dasar bioproses adalah beternak mikroba pendegradasi polutan. Aplikasi dan jenis reaktornya mengalami perkembangan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa di antaranya dibahas secara singkat berikut ini.
a. Biofilter.
Jenis ini adalah pionir bioreaktor yang mekanisme interaksi proses fisika dan biologinya menggunakan media kompos, tanah dan material kasar untuk mencegah penurunan tekanan yang terlalu tinggi. Luas permukaan gas-cairan relatif besar antara 300 – 1.000 m2/m3. Transfer massa polutan terjadi pada media yang diselimuti biofilm. Biofilter telah digunakan di industri untuk menyisihkan polutan seperti alkohol, senyawa aromatik, alifatik dan ester.
b. Trickle-Bed (Trickling Filter).
Tipe kedua adalah trickle-bed yang aplikasinya sangat luas di bidang pengolahan air limbah, terdiri atas kolom media untuk pertumbuhan mikroba. Air bernutrien secara kontinu disemprotkan ke dalam aliran udara. Dengan cara ini, kelembaban, temperatur, dan suplai nutrien dapat dikendalikan lebih baik daripada biofilter. Sangat baik untuk mengolah limbah gas seperti hidrokarbon terklorinasi, aromatik, alkohol, aldehid, keton, ammonia dan sulfur. Kekurangannya, terbentuk lapisan air yang menghalangi transfer pencemar yang sulit larut di dalam air dari udara ke biomassa.
c. Bioscrubber.
Pada jenis ini, air disemprotkan di atas media tetapi mikrobanya tidak ditumbuhkan di sini. Mikroba dibiakkan pada tangki lain tempat terjadinya biodegradasi pencemar. Air mengabsorbsi polutan gas lalu dibawa ke tanki lumpur aktif untuk didegradasi. Karena kontaminan harus larut dalam air maka tipe ini tidak cocok digunakan untuk senyawa yang sulit larut dalam air. Untuk meningkatkan transfer massanya perlu ditambahkan pelarut organik sebagai absorban.
d. Bioreaktor membran.
Inilah bioreaktor terbaru untuk menyisihkan hidrokarbon terklorinasi yang sulit larut di dalam air. Reaktor terdiri atas membran hidrofobik yang memisahkan fase gas dengan fase cair. Biomassa tumbuh pada bagian cair dan pencemar serta oksigen didifusikan melalui membran. Kelebihan tipe membran ini, ia merupakan gabungan antara biofilter dan trickle-bed. Seperti pada biofilter, membran bioreaktor memiliki kemampuan transfer massa yang sangat baik sehingga cocok digunakan untuk menyisihkan hidrokarbon yang sulit larut. Sama dengan trickle-bed, fase cair memungkinkan penyisihan produk akhir yang toksik dan suplai nutrien dan air.
Bioreaktor Membran
Aplikasi membran sudah luas digunakan dalam menangani limbah seperti penyisihan zat padat, retensi biomassa, aerasi bioreaktor dan ekstraksi pencemar dalam air limbah. Sekarang pengembangan bioreaktor membran untuk mengolah limbah gas juga makin banyak. Pada tipe ini pencemar gas ditransfer melalui membran menuju fase cair yang isinya mikroba pendegradasi pencemar. Dua tipe bahan membran untuk kontak gas-cairan ini adalah bahan hidrofobik dan dense material seperti karet silicone. Biomassa tumbuh dalam bentuk biofilm pada membran tapi dapat juga tersuspensi di dalam fase cair. Kekurangan tipe ini adalah biofilmnya tidak stabil dan/atau clogging pori-pori akibat biomassanya yang berlebihan.
Bioreaktor limbah gas memanfaatkan mikroba untuk mendegradasi pencemar gas organik yang didifusikan ke fase cair menjadi produk tidak berbahaya seperti CO2, H2O dan mineral. Sebagai contoh adalah Xanthobacter Py2 yang mampu mendegradasi TCE (Trichloroethene) dengan kehadiran substrat propene. Biomembran adalah alternatif tipe bioreaktor konvensional pengolah limbah gas seperti biofilter media kompos. Kelebihannya, ada fase air diskrit yang menyebabkan humidifikasi biomassa menjadi optimal dan penyisihan produk degradasi sehingga tidak terjadi inaktivasi biomassa.
Fungsi membran: sebagai interface antara fase gas dan fase cair. Interface (antarmuka) gas-cair tersebut dapat dihasilkan misalnya dengan membran hollow fibre yang interface-nya lebih besar daripada kontaktor gas-cair tipe lain. Bagian reaktor membran juga tidak ada yang bergerak (moving parts), mudah di scale-up, dan aliran gas dan cairan dapat divariasikan dengan bebas tanpa timbul masalah genangan (flooding), beban (loading) atau buih (foaming) seperti yang sering terjadi pada diffuser (bubble columns).
Kendala Bioproses
Meskipun bioproses sangat baik digunakan untuk mengolah bermacam pencemar tetapi ada beberapa pencemar yang sulit disisihkan.
a. Pencemar yang sulit larut di dalam air sehingga degradasinya menjadi terbatas karena driving force-nya kecil agar terjadi transfer massa. Dengan demikian, ketebalan lapisan air antara fase gas dengan mikroba menjadi kecil.
b. Kekurangan kedua adalah untuk pencemar yang sulit dibiodegradasi. Beberapa polutan organik terklorinasi tidak dapat didegradasi dalam kondisi aerob sehingga sulit disisihkan. Sedangkan sebagian hidrokarbon terklorinasi dapat didegradasi secara aerob tetapi perlu substrat tambahan untuk pertumbuhan mikroba (cometabolisme).
c. Aspek ketiga adalah toksisitas polutan akibat konsentrasinya terlalu tinggi. Sebagai contoh adalah konsentrasi tinggi senyawa-antara (intermediate) hasil biodegradasi seperti akumulasi senyawa antara asam-asaman di dalam biofilter yang kelebihan etanol. Tidak hanya yang berkonsentrasi tinggi, senyawa-antara yang rendah konsentrasinya pun dapat menjadi toksik bagi mikroba. Senyawa intermedit biodegradasi trichlorethene (TCE) yang karsinogenik dapat menghasilkan dampak buruk pada mikroba pendegradasi TCE. Senyawa TCE ini terdistribusi luas pada air tanah dan tanah sehingga menjadi bahaya potensial bagi manusia.
Derasnya penurunan kualitas udara terutama di sekitar kawasan industri dapat menimbulkan gangguan bau, estetika dan bahaya pada kesehatan. Peningkatan perhatian masyarakat terhadap isu lingkungan, dapat mendesak pemerintah secara tidak langsung untuk lebih serius menangani masalah pencemaran khususnya polusi udara. Pihak industri pun dapat memanfaatkan teknologi ini yang relatif ekonomis dibandingkan proses fisikokimia jika ingin masuk ke pasar global karena audit lingkungannya memenuhi syarat. Dengan demikian, teknologi pemanfaatan mikroba menjadi alternatif yang baik di masa datang.**