Bahasa dan Pikiran Menurut Sapir – Whorf

3 min read

a.      Hipotesis Bahasa Menurut Sapir – Whorf

Sudah kita ketahui bahwa kelebihan manusia adalah berfikir. Selama dekade terakhir ini ada perdebatan sengit antara bahasa dan pikiran. Ada yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran adalah suatu etentitas yang berdiri sendiri-sendiri. Sebagian lagi ada yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Banyak orang yang mendukung mengenai pendapat kedua ini. Salah satu gagasan yang terkenal mengenai hubungan antara perbedaan bahasa (antara “peta” dan realitas) secara antarbudaya adalah hipotesis Sapir – Whorf yang sering disebut tesis Whorfian.[1]

Edward Sapir adalah seorang antropolog linguistik yang mengajar di Universitas Yale, Sapir berpendapat bahwa bahasa dan budaya tidak bisa dipisahkan seperti koin yang tidak bsia dipisahkan diantara kedua gambarnya.

Bahasa <———-> Budaya

Ilustrasi di atas menunjukan kaitan timbal balik antara bahasa dengan budaya. Budaya adalah sebuah realitas yang ditentukan dengan bahasa, dan bahasa adalah sesuatu yang diwariskan secara kultural. Namun demikian, Sapir lebih menekankan bahwa bahasa yang menjadi penentu cara persepsi kita akan kenyataan.Lebih lanjut, Sapir menegaskan pendapatnya dengan menyatakan, “hilangkan komunitas sosial, maka individu tidak akan pernah dapat belajar untuk berbicara, artinya mengkomunikasikan ide sesuai dengan tradisi dari masyarakat tertentu”.

Sapir memandang bahwa kajian-kajian dalam Linguistik yang umumnya berkisar tentang pemahaman mengenai simbol, istilah atau terminologi Linguistik sebaiknya mulai beralih dan lebih terfokus kepada upaya memahami elemen-elemen bahasa yang menunjang terjadinya kesepahaman antara pengujar dan pendengar. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sapir –yang berbeda dengan Sausurre – yang menyatakan bahwa bahasa itu ada sejauh penggunaannya. Dikatakan dan didengar, ditulis dan dibaca.[2]

Sedangkan Benjamin L. Worf adalah seorang ahli penanggulangan ahli, yang dikenal Sapir lewat kuliahnya yang diikuti Whorf. Karena minatnya sangat besar dalam bahasa, maka Whorf pun melakukan penelitian, antara lain tentang bahasa Indian Hopi.

Hipotesis Sapir – Whorf menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya kita. “Kramsch (2001:11, 77) juga mengemukakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula”[3]

Menurut Edward Sapir dan Benyamin Whorf, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial.[4] Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman, tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya. Dengan arti lain orang-orang yang berbeda bahasa : Indonesia, Inggris, Jepang, China, Korea, dan lain sebagainya cenderung melihat realitas yang sama dengan cara yang berbeda pula. Implikasinya bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya penekanan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan dan lain sebagainya[5].

Prinsip demikian tidak jauh berbeda dari pokok bahasan bidang studi sosiolinguistik (sosiologi bahasa) yang mempelajari hubungan antara struktur bahasa atau tindakan berujar (speech performance) dengan struktur sosial (dalam bentuk interaksi). Hubungan itu dapat dilihat sebagai berikut[6] :

1.         Bahasa dan cara berujar (speech) merupakan indikator atau petunjuk atau pencerminan ciri-ciri struktur sosial. Misalnya status sosial atau posisi kelas sosial dapat ditunjukkan dari penggunaan kata-kata dalam bahasa. Dengan cara analisis demikian kita dapat menentukan kedudukan individu dalam struktur sosial.

2.       Struktur sosial yang menentukan cara berujar atau perilaku bahasa. Dalam hal ini terjadi perubahan-perubahan pada standar bahasa baku dan dialek dengan berubahnya konteks dan topik pembicaraan.

Para peneliti membagi hipotesis Whorf menjadi dua bagian, yaitu :

1.             Determinisme Linguistik

Bahasa memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma – norma budaya. Dengan arti lain manusia hanyalah sekedar hidup disuatu bagian kecil dunia yang dimungkinkan bahasa yang digunakannya. Jadi dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa yang diajarkan oleh budaya kita. Maka perbedaan bahasa mempresentasiakn juga perbedaan dasar dalam pandangan dunia berbagai budaya.

2.             Relativitas Linguistik

Bahasa mengasumsikan bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Dengan arti lain, budaya dikontrol dan sekaligus mengontrol bahasa. Berdasarkan interpretasi ini bahasa menyediakan kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi penggunaannya dikode dan disimpan.

Beberapa uraian para ahli dalam hipotesis ini adalah sebagai berikut :

1.             Bahasa Mempengaruhi Pikiran

Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangan terhadap realitas. Pikiran dapat terkondisikan oleh bahasa yang digunakan manusia.

2.             Pikiran Mempengaruhi Bahasa

Pendukung pendapat ini adalah Jean Peaget, yang meneliti kognitif anak. Ia melihat bahwa aspek koginit anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh anak

3.             Bahasa dan Pikiran Saling Mempengaruhi

Hubungan timbal balik antara pikiran dan bahasa ditemukan oleh Benyamin Vigotski. Seorang ahli semantik yang memperbaharui penelitian Jean Piageat yang mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Hal ini diterima oleh ahli kognitif.[7]

b.      Implikasi Hipotesis Bahasa Sapir – Whorf

Bahasa memberikan pandangan perseptual dan sekaligus memaksakan pandangan konseptual tertentu. Bahasa pula merupakan kacamata untuk melihat realitas budaya. Maka hipotesis bahasa Sapir – Whorf mempunyai implikasi dari pada kebudayaan saat ini, diantaranya :

1.      Jika suatu komunitas budaya menggunakan banyak kosakata untuk suatu hal atau suatu aktivitas, maka hal atau aktivitas tersebut adalah penting dalam komunikasi budaya tersebut.

Misalnya : kata salju dalam budaya Eskimo diantaranya, Qana (salju yang sedang turun, serpihan salju), Akilukak (salju lunak), Aput (salju diatas tanah), Kaguklaich (salju yang tertiup angin membentuk jajaran dam Qinuqsuq (timbunan salju)

2.      Lebih dari cara mempengaruhi mempersepsi objek dan lingkungan kita, bahasa dan pikiran juga mempengaruhi tindakan kita.

Misalnya : salah satu temuan menunjukkan bahwa orang Inggris menekankan waktu dan jumlah sedangkan pembicara orang Navaho menekankan ciri-ciri bentuk.

3.      Adanya hubungan yang erat antara bahasa dan pikiran adalah sebenarnya bahasa (lewat penciptaan kata-kata, istilah-istilah, dan julukan-julukan baru) dapat digunakan oleh suatu rezim atau sekelompok orang untuk merendahkan, mendiskriminasi dan menguasai kelompok orang lainnya.

Misalnya : Orang Amerika menggunakan kata Negro untu kelompok yang berkulit hitam.

Laporan Praktikum Efek Fotolistrik

Efek Fotolistrik Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Efek fotolistrik adalah fenomena terlepasnya elektron logam akibat disinari cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek...
Ananda Dwi Putri
9 min read

Laporan Praktikum Tetes Minyak Milikan

Tetes Minyak Milikan Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Elektron merupakan suatu dasar penyusun atom. Inti atom terdiri dari elektron (bermuatan negatif) dan proton...
Ahmad Dahlan
7 min read

Makalah Sifat Fantasi Dalam Tinjauan Psikologi

Sifat Fantasi Bab I. Pendahuluan Pada dasarnya psikologi mempersoalkan masalah aktivitas manusia. Baik yang dapat diamati maupun tidak secara umum aktivitas-aktivitas (dan penghayatan) itu...
Wahidah Rahmah
4 min read

Leave a Reply