Arab Pra Islam – Sistem Politik, Kemasyarakatan, Kepercayaan dan Kebudayaan

3 min read

Secara umum, bangsa arab pra Islam terbagi dalam dua kelompok besar; Bangsa ‘Aribah dan Bangsa Muta’aribah. Bangsa ‘Aribah mendiami wilayah Yaman dan terdiri dari beberapa kabilah. Mereka adala keturunan ari Qahthan yang dalam kitab Taurat disebut Yaqzan. Selama ratusan tahun lamanya, Bangsa ‘Aribah pernah berjaya yang melahirkan kebudayaan dan peradaban tinggi di zamannya. Bangsa ‘Aribah sudah mampu mengolah pertanian mereka dengan sistem irigasi, disamping ahli dalam seni ukir, ahli dalam ilmu nujum, memiliki angkatan perang yang tangguh, dan mengadakan hubungan perniagaan dengan negara-negara tetangga.

Sedangkan Bangsa Muta’aribah adalah keturunan dari Nabi Ismail as. Mereka mendiami kawasan Hijaz, yakni sebelah utara dari daerah yang didiami Bangsa ‘Aribah. Mereka dinamakan Bangsa Muta’aribah kaena nenek moyang mereka yang pertama, Nabi Ismail as. tidak berbahasa asli arab, melainkan berbahasa Ibrani dan Suryani. Menurut catatan sejarah, kedatangan Nabi Ismail ke Arab berawal ketika beliau bersama ibunya, Siti Hajar, dibawa oleh bapaknya, Nabi Ibrahim as. ke Mekah lalu menetap di sana. Nabi Ismail dan Siti Hajar berbaur bersama penduduk setempat, yakni kabilah Jurhum. Dari kabilah Jurhum inilah Nabi Ismail menenal bahasa Arab, dan setelah dewasa menikah dengan salah seorang gadis keturunan kabilah tersebut. Dari pernikahan itu, Nabi Ismail dikaruniai dua belas orang anak yang di kemudian hari menjadi cikal-bakal keturunan Quraisy.

Arab Pra Islam

A. Sistem Politik Dan Kemasyarakatan

1. Sistem Politik

Bangsa Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa ashabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.

Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah.

Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota kabilah harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah. Baik itu seruan damai ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya pemimpin dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka.

Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah system dictator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.

2. Sistem Kemasyarakatan

Bila ditinjau dari segi daerah tempat tinggal, bangsa Arab yang yang wilayahnya terdiri dari padang pasir dan stepa, dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yakni penduuduk pedalaman (Badui/A’rabi) dan penduduk perkotaan. Penduduk pedalaman tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Mereka adalah kaum Nomad yang hidup bepindah-pindah dari satu kawasan satu ke kawasan lain bersama binatang ternak mereka untuk mencari sumber mata air dan padang rumput yang subur (oase). Kaum Badui ini hidup dari beterak kambing dan memerah susu sebagai konsumsi sehari-hari. Sedangkan penduduk perkotaan sudah memiliki tempat tinggal permanen di beberapa kota kecil secara terpisah-pisah. Mereka sudah memiliki beragam keterampilan seperti berdagang, bercocok tanam, atau beternak.
Baik penduduk perkotaan maupun pedalaman, mereka semua hidup berkabilah-kabilah atau bersuku-suku sesuai garis keturunan (klan) masing-masing. Oleh karena itu, seringkali terjadi perselisihan antar kabilah yang biasanya berakhir dengan peperangan dan pertumpahan darah.

B. Sistem Kepercayaan Dan Kebudayaan

1. Sistem Kepercayaan

Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Nabi Isma’il as., yaitu menyeru kepada agama Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya. Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin Luhay, (Pemimpin Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani.

Kemudian Amr Bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam menyembah berhala. Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa Hubal dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci.

Pada saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka ditempat-tempat tertentu, seperti:

  1. Manat, mereka tempatkan di Musyallal ditepi laut merah dekat Qudaid.
  2. Lata, mereka tempatkan di Tha’if.
  3. Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah.

Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim.

2. Sistem Kebudayaan

Sejak sebelum kedatangan Islam, Bangsa Arab dikenal memiliki kebudayaan non-materiil yang dilestarikan secara turun-temurun. Dikalangan mereka banyak para pujangga, penyair, penutur cerita prosa, atau penunggang kuda yang tangkas. Kelebihan-kelebihan seperti itu menjadi syarat mutlak diraihnya status sosial, baik di kabilahnya sendiri maupun di hadapan kabilah lain.

Sementara kedudukan sastra dalam masyarakat Arab sudah seperti ajaran agama. Mereka memposisikan syair-syair laksana kalam hikmah yang harus diikuti dan ditaati, dan penyairnya diposisikan layaknya nabi yang memiliki ajaran hikmah tingkat tinggi.

Cara Bangsa Arab menerima syair biasanya dengan mengundang para penyair ke berbagai acara, baik acara keluarga maupun acara kolosal. Sejak sebelum kedatangan Islam, di kalangan Bangsa Arab terdapat nama-nama penyair yang sangat populer dan mempunyai posisi sangat terhormat. Mereka antara lain adalah Imri’ al-Qais, Nabighah al-Dzibyani, Zuhair bin Abi Salma, dan al-A’sya.

Laporan Praktikum Efek Fotolistrik

Efek Fotolistrik Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Efek fotolistrik adalah fenomena terlepasnya elektron logam akibat disinari cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek...
Ananda Dwi Putri
9 min read

Laporan Praktikum Tetes Minyak Milikan

Tetes Minyak Milikan Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Elektron merupakan suatu dasar penyusun atom. Inti atom terdiri dari elektron (bermuatan negatif) dan proton...
Ahmad Dahlan
7 min read

Makalah Sifat Fantasi Dalam Tinjauan Psikologi

Sifat Fantasi Bab I. Pendahuluan Pada dasarnya psikologi mempersoalkan masalah aktivitas manusia. Baik yang dapat diamati maupun tidak secara umum aktivitas-aktivitas (dan penghayatan) itu...
Wahidah Rahmah
4 min read

Leave a Reply