Nilai Luhur Budaya Suku Bugis-Makassar

25 min read

PESAN PUANG RI MAGGALATUNG

(Tokoh Cendekiawan Pada Zaman Kerajaan Wajo-Bugis)

Di Sulawesi Selatan

MAKKEDAI PUANG MAGGALATUNG, LEMPU NA ACCA, IYANARITU MADECENG RIPARADDEKI RIWATAKKALEE, IYATONARITU TEMMASSARANG DEWATA SEUWAE. NAIYA RIASENGNGE ACCA, IYANARITU MITAE MUNRI GAU. NAIYA NAPPOGAU ENGKAPI MADECENG NAPOGAUI. NAREKKO ENGKAI MAJA, AJA SI MUPOGAUI NAREWEI MATTI JA’NA RIKO. (Bahasa bugis)

Artinya :

BerkataPuang Ri Maggalatung, kejujuran dan kepandaian, itulah yang paling baik ditanamkan pada diri kita, itulah juga yang tak bercerai dengan Dewata Tunggal. Yang disebut pandai ialah kemampuan untuk melihat akhir(akibat) perbuatan. Dan dikerjakannya adalah yang baik, bilamana dapat mendatangkan keburukan, janganlah lakukan. Bilamana tidak baik, jaganlah hendaknya engkau kerjakan, karena kembali juga nanti keburukannya kepadamu.

ANGGANGASSENG TONJA’ LABBA BOYO

PACCE TANAEBBA LADING

TENNA GARINGKU

NAMALANTANG PA’RISIKU (bahasa makassar)

Artinya :

Daku nikmati tawarnya labu

Pedis tak tergores pisau

Ku tak menderita penyakit

Namun betapa pedisnya terasa menusuk jauh dilubuk hati.

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Suku Bugis dan Makassar merupakan suku-bangsa utama yang mendiami Sulawesi Selatan, disamping suku-bangsa utama lainnya seperti toraja dan Mandar.

Suku Bugis mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba, Sinjai, bone, Wajo, Sidenreng-Rappang (sidrap), Pinrang, Polewali-Mamasa Polmas, Enrekang, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene-Kepulauan (Pangkep) dan Maros. Dua Daerah Tingkat II yang disebutkan terakhir (Pangkep dan Maros) merupakan daerah peralihan suku Bugis dan Makassar, Sedangkan Enrekang peralihan Bugis dengan Toraja sering dikenal sebagai orang-orang Duri atau Massenrempulu’.

Suku Makassar mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan selayar walaupun mempunyai dialek tersendiri.

Siri’ sebagai aspek kebudayaan atau aspek Sosial budaya Bugis-Makassar, guna mengkajinya dan menghayatinya secara mendasar dibutuhkan pengenalan-pengenalan pada pengertian-pengertian kebudayaan itu terlebih dahulu. Yakni pengertian tentang apakah kebudayaan itu?.

Kebudayaan Indonesia mengalami pengaruh-pengaruh (akulturasi) kebudayaan Hindu, kebudayaan Islam. Karenanya maka pengetahuan dasar perihal kebudayaan perlu dihayati, sebelum mengkaji masalah-masalah Siri’ tersebut.

Istilah kebudayaan dalam bahasa Indonesia yang biasa dipakai oleh umum dalam pembicaraan sehari-hari mengandung pengertian mengenai bangunan-bangunan indah, candi-candi, tarian-tarian, seni-suara, seni-rupa dan sebagainya. Tetapi Istilah tersebut yang berasal dari bahasa Sansekerta berarti akal, jadi dengan kebudayaan dapat diartikan segala sesuatu yang bersangkutan dengan akal.

Dalam lingkungan sosiologi, definisi kebudayaan dirumuskan, sebagai berikut:

“Kebudayaan ialah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata-kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat”.

Dari definisi kebudayaan tersebut , kita dapat menyimpulka ada tujuh unsur kebudayaan yang ada pada sebuah bangsa di dunia, yaitu:

1. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, sistem hukum dan sebagainya)

2. Mata pencaharian dan sistem ekonomi.

3. Perlengkapan dan peralatan hidup manusia (pakaian,perumahan,alat-alat produksi dan sebagainya.

4. Religi.

5. Ilmu.

6. Bahasa.

7. Seni.

Diuraikan dalam buku Lontara (catatan yang ditulis di atas daun lontar) yang kemudian diwariskan kepada generasi ke lain generasi dalam lingkungan masyarakat suku Bugis-Makassar, bahwa watak atau falsafah hidup orang-orang Bugis-Makassar itu, tergambar sebagai berikut:

1). Jangan dipermalukan dia, sebab dia akan pi-lih lebih baik mati daripa pada dipermalukan (“Aja mupakasiriwi, materi-tu”).

2). Jangan kecewakan dia, sebab apabila dikecewakan pasti meninggalkan anda (“Aja muballeiwi, nabokoriko-tu”).

Pada hakekatnya, sikap mental atau pandangan hidup orang Bugis-Makassar pada umumnya, sama atau sejalan dan tali temali dengan sikap mental orang-orang Makassar, karena berdasarkan kisah awal mula kelahiran kedua suku ini ( Bugis-Makassar), adalah satujuan adanya. Yakni, berawal usul dari satu sumber rumpun (leluhur).

Dikisahkan dalam buku Lontara, bahwa di Sulawesi selatan ini tempo dulu, ada tiga buah kerajaan besar. Masing-masing kerajaan Luwu/Toraja yang mengusai daerah sampai ke Sulawesi Tengah, kerajaan Gowa, dan kerajaan Bone.

1.      Raja luwu/Toraja mencanangkan politik pemerintahnya dengan mengutamakan “rasa kekeluargaan” (menghendaki agar yang mengusai daerah Sulawesi selatan sebagai raja-raja ialah keturunannya).

2.      Raja Gowa menjalankan politik perintahannya berdasarkan pengembangan syiar Agama Islam

3.      Raja bone mencanangkan politik pemerintahannya berdasarkan politik pengusaha (perluasan daerah).

Secara umum dapat digambarkan bahwa pandangan orang-orang Bugis atau Makassar terhadap Siri’ dan masalah-masalah penyelesaian Siri’ itu, hakekatnya sama saja. Begitu pula dengan masalah-masalah adat-istiadat sebagai warisan leluhur mereka yang satu. (bersumber dari satu rumpun asal usul).

Bagi orang-orang suku Makassar yang pada umumnya berwatak keras dan konsekuen

dijiwai oleh manifestasi sikap-sikap yang berpolakan semboyang :

a. Ejatompi na-doang (arti harfiah: Merah baru disebut udang; dalam arti positif, namun dalam arti negatif ada juga istilah “pabbamban-gang na-tolo” yang artinya semacam sikap membabi buta karena pancingan emosi yang kelewatan sehingga sukar menjaga keseimbangan pada dirinya, biasanya terjadi atau dilakukan dalam hal-hal yang sangat memalukan atau Ni-pakasiriki).

b.   Ku-alleangnga tallanga na-towalia (arti harfiah: Lebih kupilih tenggelam daripada kembali ke pangkalan; lebih baik mati berkalangan tanah daripada hidup menanggung malu; juga biasa diartikan sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, demi mencapai sasaran yang hendak dicapai. Ibaratnya, dalam mengarungi lautan sekalipun badai mengamuk harus tetap melayarkan bahtera dan jika harus menanggung risikonya misalnya tenggelam ditengah ditengah laut, (memang yang bersangkutan sudah mempersiapkan diri untuk itu).

c.   Punna tena sirik-nu pa’niaki pacce-nu (jika anda kehilangan harga diri atau kehormatan, pertahankanlah rasa kemanusiaan dan kesetiakawananmu (setia-kawan, solidaritas), tunjukkan kesetiaan (loyalitas) untuk itu.

Dengan sikap “ eja tompi na-doang” ( merah baru disebut udang) memanifestasikan watak yang keras (konsekuen pada pendiririan atau sikap). Yakni bertindak terlebih dahulu, resiko itu soal belakang. Menggambarkan bahwa emosi lebih menonjol ketimbang rasionya bersifat resesif/sifat yang tak muncul pada keturunan (resesif, kebalikan dominan).

Atau dengan perkataan lain, dapat dikemukakan bahwasanya emosi seringkali mengusai rasio. Hal ini erat kaitannya dengan masalah sendi-sendi Siri’ tersebut, yakni manakala rasa ketersinggungan kehormatan (identitas terganggu), maka hal tersebut berarti Sirik. Yakni nilai Sirik bagi orang-orang suku Bugis-Makassar dinilai sesuatu yang perlu dimuliakan.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka kami merumuskan masalah sebaigai berikut:

a.       Sejarah Bugis-Makassar

b.      Etnografi dan Etnolinguistik Bugis – Makassar?

c.       Apa itu Siri’ Na Pacce

d.      Siapa Tomanurung itu?

C.     Pembatan Masalah

Mengingat Bugis-Makassar adalah suku-bangsa yang di dalamnya terkandung banyak nilai budaya dan suatu referensi yang sangat luas dan beragam macamnya maka kami hanya fokus pada rumusan masalah yang kami tulis.

Bab 2

PEMBAHASAN

A.      Sejarah Bugis-Makassar

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.

Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. Perkembangan
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang.

Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.
Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan) Masa Kerajaan Bone.
Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah Ade Pitue. Kerajaan Makassar
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar kemudian terpecah menjadi Gowa dan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar. Kerajaan Soppeng
Di saat terjadi kekacauan, muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng. Kerajaan Wajo
Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut Puangnge ri Lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Konflik antar Kerajaan
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedangkan Wajo perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru.

Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut “Tellumpoccoe”.

Penyebaran Islam pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba. Kolonialisme Belanda pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang tidak sudi berada dibawah Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan benteng Somba Opu luluh lantak. Kekalahan ini mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa.

Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian di tahun 1905-6 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Bugis-Makassar baru bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.Masa Kemerdekaan
Para raja-raja di Nusantara bersepakat membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam wadah NKRI. Pada tahun 1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan kampung halamannya. Pada zaman Orde Baru, budaya periferi seperti budaya di Sulawesi benar-benar dipinggirkan sehingga semakin terkikis. Sekarang generasi muda Bugis-Makassar adalah generasi yang lebih banyak mengkonsumsi budaya material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati diri akibat pendidikan pola Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka. Seiring dengan arus reformasi, munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk Propinsi baru yaitu Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua. Sementara banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga dimekarkan. Namun sayangnya tanah tidak bertambah luas, malah semakin sempit akibat bertambahnya populasi dan transmigrasi. Mata Pencaharian masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Bugis Perantauan
Kepiawaian suku Bugis-Makasar dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka. Penyebab Merantau
konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan. Bugis di Kalimantan Selatan
Pada abad ke-17 datanglah seorang pemimpin suku Bugis menghadap raja Banjar yang berkedudukan di Kayu Tangi (Martapura) untuk diijinkan mendirikan pemukiman di Pagatan, Tanah Bumbu. Raja Banjar memberikan gelar Kapitan Laut Pulo kepadanya yang kemudian menjadi raja Pagatan. Kini sebagian besar suku Bugis tinggal di daerah pesisir timur Kalimantan Selatan yaitu Tanah Bumbu dan Kota Baru.Bugis di Sumatera dan Semenanjung Malaysia.
Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang merupakan keturunan Bugis.

Sejarah Lahirnya Makassar

Sejarah kelahiran Kota Makassar, tak akan bisa mengesampingkan letak muara Sungai Tallo. Di muara sungai inilah, berawal sejarah terbentuknya kota Makassar. Kota yang kini menjadi ibukota Sulawesi Selatan. Kota yang menjadi pintu gerbang di kawasan Indonesia Timur, kota yang sedang dikemas menjadi Living Room (ruang keluarga), yang kemudian sedang didesain untuk kembali menjadi Kota Dunia.

Pada abad ke-V, garis pantai di pesisir Makassar, berada di pada jalur yang kini dikenal dengan Jl.Jend Sudirman, hingga ke Dr.W.S.Husodo, seterusnya lurus hingga ke kawasan Tallo. Pada abad ke-VII, karena proses sedimentasi dari Sungai Jeneberang dan Sungai Tallo, garis pantai kemudian berpindah ke kawasan sepanjang Losari, hingga ke pesisir Tallo. Pada zaman itu, kawasan pesisir masih berupa hutan bakau. Belum dihuni penduduk.

Di penghujung abad XV, pesisir pantai di muara sungai Tallo, mulai terdapat pelabuhan niaga kecil. Pelabuhan ini kemudian semakin lama semakin ramai, hingga terbentuk kota kecil sebagai kota bandar niaga. Bandar sungai Tallo itu awalnya berada dibawah kerajaan Siang yang berpusat di sekitar Pangkajene, yang kini dikenal sebagai daerah pesisir yang berada di Kabupaten Pangkep. Pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang. Kerajaan Gowa-Tallo kemudian memerangi kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya, dan mengalahkan mereka.

Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan sungai ini mengalami pendangkalan, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang. Disinilah berelangsung pembangunan kekuasaan di kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo, yang kemudian membangun pertahanan Benteng Somba Opu. Kawasan Somba Opu inilah kemudian yang jadi wilayah inti kota Makassar.

Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI, didirikan Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) di bagian utara. Lokasi benteng tidaklah terlalu jauh dari eks bandar niaga hulu sungai Tallo, dan dengan kehadiran benteng, kota eks bandar niaga Tallo mulai melebar ke sekitar benteng. Saat itu, pemerintahan kerajaan masih dibawah kekuasaan kerajaan Gowa, dan terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan internasional, sektor politik, serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan kerajaan Gowa, namun selanjutnya, dengan adanya perjanjian Bungaya ternyata menghantarkan kerajaan Gowa pada awal keruntuhan.

Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku, maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa peranan penting Saudagar Melayu dalam perdagangannya yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan produksi komoditi itu dengan berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil lainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai kawasan pertanian lawan-lawannya itu, akan tetapi berusaha pula untuk membujuk dan memaksa para saudagar setempat agar berpindah ke Makassar, sehingga kegiatan perdagangan semakin terkonsentrasi di bandar niaga baru itu. Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang. Pada zaman itu, Makassar termasuk kota ke-20 terbesar dunia. Waktu itu jumlah penduduk kota Amsterdam, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang, meskipun sudah merupakan kota kosmopolitan dan multikultural. Perkembangan bandar Makassar yang demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511, demikian di Jawa Utara semakin berkurang mengikuti kekalahan armada lautnya di tangan Portugal dan pengkotak-kotakan dengan kerajaan Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar. Sampai pada pertengahan pertama abad ke-17, Makassar berupaya merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara, serta mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India.

B.      Etnografi dan Etnolinguistik Bugis – Makassar?

Kebudayaan adalah hasil manusia baik yang bersifat materi, maupun yang nonmateri. Seperti detailnya bahwa kebudayaan itu mempunyai tujuh unsur, yakni sistem matapencaharian hidup (ekonomi); peralatan hidup (tehnologi); ilmu pengetahuan; sistem sosial; bahasa; kesenian; dan sistem religi. Jika dihubungkan dengan sejarah, maka kebudayaan sangat erat kaitannya karena sejarah adalah suatu ilmu yang selalu membahas ketujuh unsur kebudayaan dilihat dari waktunya.

Kebudayaan di daerah Sulawesi Selatan sebenarnya tergolong banyak, terutama suku/etnisnya. Jika dilihat dari segi mayoritas penduduk hanya terdapat beberapa kelompok etnis besar yang berada di daerah Sulawesi Selatan. Diantaranya ; Bugis – Makassar dan Toraja. Begitu pula dalam pemakaian bahasa sehari-hari, memang kelompok etnis inilah yang terlihat lebih dominan diantara banyaknya bahasa yang digunakan etnis minoritas yang ada di Sulawesi Selatan.

Etnografi dan Etnolinguistik Bugis – Makassar

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Sistem Religi

Agama mayoritas orang Bugis – Makassar adalah Islam. Selain itu ada juga yang beragama Kristen Protestan dan Katolik.

Masyarakat Bugis banyak tinggal di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Mereka penganut Islam yang taat. Masyarakat Bugis juga masih percaya dengan satu dewa tunggal yang mempunyai nama-nama sebagai berikut.

1.      Patoto-e adalah dewa penentu nasib.

2.      Dewata Seuwa-e adalah dewa tunggal.

3.      Turie a’rana adalah kehendak tertinggi.

Masyarakat Bugis menganggap bahwa budaya (adat) itu keramat. Budaya (adat) tersebut didasarkan atas lima unsur pokok panngaderreng (aturan adat yang keramat dan sakral), yaitu sebagai berikut.

1.      Ade (‘ada dalam bahasa Makassar).

2.      Bicara.

3.      Rapang.

4.      Wari’.

5.      Sara’.

Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial

Dalam stratifikasi sosial masyarakat Bugis – Makassar ada tiga lapisan masyarakat :

1.      Anakarung, yaitu lapisan kaum kerabat raja

2.      To-maradeka, yaitu lapisan orang merdeka yang sebagian besar merupakan rakyat Sulawesi Selatan.

3.      Ata, yaitu lapisan budak .

Perkawinan yang ideal di Makassar sebagai berikut :

1.      Assialang Marola adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu baik dari pihak ayah/ibu.

2.      Assialanna Memang adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua baik dari pihak ayah/ibu.

Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan anak dengan ayah/ibu dan menantu dengan mertua.

Kegiatan-kegiatan sebelum perkawinan, meliputi:

1.      Mappuce-puce adalah meminang gadis,

2.      Massuro adalah menentukan tanggal pernikahan,

3.      Maddupa adalah mengundang dalam pesta perkawinan.

Perkawinan yang biasa ada di Bugis – Makassar disebut Mapabothi

Sistem Pengetahuan

Lontar adalah salah satu tumbuhan di daerah Bugis – Makassar, lontar adalah sejenis palma yang tumbuh di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Burung Rangkong Julang Sulawesi yang tergabung dalam marga Bucerotidae adalah salah satu hewan yang ada di Sulawesi Selatan. Di sana juga ada tanaman kopi, coklat, cengkeh, rotan, kayu, semen, nikel, gula.

Bahasa

Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan. Bahasa tersebut tersebar di berbagai kabupaten di daerah Sulawesi Selatan.

            Kesenian

Kesenian Bugis yang merupakan salah satu yang terkenal dari karya sastra Bugisadalah naskah tua I La Galigo. Lagu daerah propinsi Sulawesi Selatan yang sangat populer dan sering dinyanyikan di antaranya adalah lagu yang berasal dari Makasar yaitu lagu Ma Rencong-rencong, lagu Pakarena serta lagu Anging Mamiri. Sedangkan lagu yang berasal dari etnis Bugis adalah lagu Indo Logo, serta lagu Bulu Alaina Tempe.

Rumah tradisional atau rumah adat di propinsi Sulawesi Selatan yang berasal dari Bugis, Makassar dan Tana toraja dari segi arsitektur tradisional ke tiga daerah tersebut hampir sama bentuknya. Rumah-rumah adat tersebut dibangun di atas tiang-tiang sehingga rumah adat yang ada di sana mempunyai kolong di bawah rumahnya.

Tinggi kolong rumah adat tersebut disesuaikan untuk tiap tingkatannya dengan status sosial pemilik rumah, misalnya apakah seorang raja, bangsawan, orang berpangkat atau hanya rakyat biasa. Hampir semua masyarakat Sul-sel percaya kalau selama ini penghuni pertama zaman prasejarah di Sulawesi Selatan adalah orang “Toale”. Hal ini di dasarkan pada temuan Fritz dan Paul Sarasin tentang orang Toale (orang-orang yang tinggal di hutan/penghuni hutan).

Rumah adat suku bangsa Bugis Makassar berupa panggung yang terdiri atas 3 bagian sebagai berikut :

1.      Kalle balla adalah untuk tamu, tidur,dan makan.

2.      Pammakkang adalah  untuk menyimpan pusaka.

3.      Passiringang adalah  untuk menyimpan alat pertanian.

Tari Padupa Bosara merupakan sebuah tarian yang mengambarkan bahwa orang bugis kedatangan atau dapat dikatakan sebagai tari selamat datang dari Suku Bugis. Orang Bugis jika kedatangan tamu senantisa menghidangkan bosara sebagai tanda kehormatan.

Di daerah Bugis – Makassar mempunyai seni drama  / seni pertunjukan yaitu lagaligo dan icudae.

Alat musik di daerah Bugis – Makassar yaitu Kacapi (kecapi), alat musik ini adalah alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun. Sedangkan Sinrili adalah alat musik yang mernyerupai biola cuman kalau biola di mainkan dengan membaringkan di pundak sedang sinrili di mainkan dalam keedaan pemain duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.

Gendang adalah alat musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana. Sedangkan suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
-Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.

-Suling calabai (Suling ponco), sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi.

-Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau disebut juga acara penjemputan tamu.

Sistem mata pencaharian hidup/ sistem ekonomi

Masyarakat Bugis – Makassar yang berdomisili di daerah pesisir pantai menggantungkan hidup dari melaut di laut, mencari ikan. Keberaniaan orang Bugis – Makassar dalam  dalam pelayaran yang dijunjung tinggi oleh orang-orang bugis-makassar,yaitu yang dikenal dengan ade`allopiloping bicaranna pabbalu’e dan yang ditulis pada lontar yaitu amanna gappa di abad ke-17.

Sistem Teknologi

Masyarakat Bugis – Makassar terkenal sangat piawai dalam membuat perahu pinisi. Tehnologi di daerah Bugis – Makassar sudah sangat canggih, alat transportasi di sana antara lain ; becak, dokar, perahu, mobil, dan lain-lain. Perahu di sana mempunyai tiga kegunaan, yaitu ; untuk mengangkut barang (bakgo), untuk mencari ikan, untuk mengangkut orang dari satu tempat ke tempat yang lain (pinisi). Pakaian daerah Bugis –Makassar adalah baju Bodo, senjata daerahnya adalah badik.

C.      Siri’ Na Pacce

Orang-orang Bugis-Makassar mengutamakan sifat-sifat Harga diri dan kesetia kawanan (loyalitas), yang di nilai sebagai unsur Sirik dan Pacce atau passe.

Siri’ adalah kebanggaan atau keagungan harga diri . Bagi orang-orang suku Bugis-Makassar diwariskan amanah oleh leluhurnya untuk menjunjung tinggi adat-istiadatnya yang didalamnya terpatri pula sendi-sendi sirik tersebut.

Manakala harga diri tersebut disinggung yang karenanya melahirkan aspek-aspek siri’, maka diwajibkan bagi yang tertimpa Siri’ itu untuk Melakukan aksi-aksi tantangan. Dapat berupa aksi (perlawanan) seseorang atau aksi (perlawanan) kelompok masing-masing. Terserah pada mutu nilai Siri’ yang timbul sebagai ekses-ekses (kejadian bermasalah) kasus yang lahir karenanya.

Bagi pihak-pihak yang terkena Siri’ tetapi hanya diam (tanpa aksi-aksi perlawanan) dijuluki sebagai: Tau Tena Siri’na (tak punya rasa malu atau tak punya hargadiri). Atau dalam bahasa Bugis diungkapkan sebagai Tau Kurang Siri’ (orang yang tak ada harga diri).

Dalam hal-hal mencapai tujuan, orang-orang Makassar berpegang semboyan Kualleangnga tallanga na-towalia (sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai), semboyan ini memanifestasiakan bahwa orang-orang Bugis-Makssar itu tabah menghadapi tantangan-tantangan hidup. Tabah menghadapi segala jenis cobaan-cobaan yang datang bertubi-tubi menimpa. Hal ini erat pula hubungannya dengan perjuangan-perjuangan hidup orang-orang Bugis-Makassar sebagai pelaut-pelaut.

Sebagaimana sejarah mengajarkan, bahwa oaring-oarang Bugis-Makassar adalah pelaut-pelaut yang ulung yang berlayar mengarungi selat Malaka sampai kepulauan Makassar. Yang kemudian melahirkan ammana Gappa yang terkenal sebagai penyusun ilmu pelayaran (ahli pelayaran) orang-orang Bugis pada zamannya.

Seperti jelas dalam ungkapan-ungkapan berikut:

Punna tena sirita pacceta seng ammantang (Makssar)

Rekuade sirita engka messa passeta (Bugis). Yang artinya. jika anda kehilangan harga diri atau kehormatan, pertahankanlah rasa kemanusiaan dan kesetiakawananmu

Manakala kita ingin mendalami pengertian Siri’ dengan segenap masalahnya antara lain dapat diketahui dari buku La Toa. Buku ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang merupakan kumpulan petuah untuk dijadikan suri teladan.

Buku La Toa artinya Yang Tua. Tetapi, arti sebenarnya ialah Petuah-Petuah, berisis sekitar seribu jenis petuah-petuah. Hampir semua isi La Toa ini erat hubungannya dengan peranan Siri’ dalam pola hidup atau adat istiadat Bugis-Makassar (merupakan falsafah hidup). Misalnya:

– SIRI’ sebagai harga diri atau kehormatan

– MAPPAKASIRI’ (artinya: dinodai kehormatannya)

– RITAROANG SIRI’ (artinya: ditegakkan kehormatannya).

– PASSAMPO SIRIK (artinya: penutup malu)

– TOMASIRI’NA (artinya : keluarga pihak yang dinodai kehormatannya).

– dan SIRIK sebagai perwujudan sikap tegas demi kehormatan tersebut.

Siri’ adalah ethos kultur, berisi pandangan hidup dan pandangan dunia yang melekat pada sistim nilai yang terjelma dalam sistem budaya, sistim sosial, dan sistim kepribadian (Personality) masyarakat.

Sirik secara harfiah adalah suatu perasan malu. Jawaban menurut arti kata mungkin tepat secara harfiah tetapi tidak cukup mewakili makna sebenarnya. Sedangkan jiwanya dirumuskan dalam suatu batasan, ini pun akan terbatas pada aspek tertentu saja yang mewakili sesuai pendekatan objek tersebut.

Istilah sirik ini bila dibahas dalam bentuknya ada dua bagian, yaitu:

1. Sirik yang berasal dari pribadi yang merasakannya/bukan kehendaknya (penyebabnya dari luar), jadi sirik ripakkasirik.

2. Sirik yang berasal dari pribadi yang itu sendiri ( penyebabnya di dalam) disebut sirik masirik.

Sedangkan dalam bentuk jenisnya ada empat yaitu:

1.      Siri’ dalam hal pelanggaran kesusilaan,

2.      Siri’ yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja,

3.      Siri’ yang berakibat kriminal,

4.      Siri’ yang berarti malu-malu (sirik-sirik).

Semua jenis siri’ tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia.

Jenis siri’ yang pertama

Adalah sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai siri’ seperti kawin lari (dilariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, (perbuatan sumbang/salimarak)/susu talloa yakni perbuatan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dan putrinya, ibu dengan putranya dsb.

Dari berbagai perbuatan a-susila itu, maka salimarak merupakan pelanggara terberat. Sebab susah untuk diselesaikan karena menyangkut hubungan keluarga yang terlalu dekat, semuanya serba salah. Kalau perkawinan terus dilangsungkan, sengat dikutuk oleh masyarakat, dan kalau perkawinan tidak dilangsungkan, status anak yang lahir nanti bagaimana ? Perbuatan salimarak ini dulu dapat dikenakan hukuman “niladung” yakni kedua pelaku dimasukkan dalam karung kemudian ditenggelamkan kelaut atau ke dalam air sampai mati. Lain halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja, bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atua mengadakan upacara abajik (damai). Sesudah itu tidak ada lagi masalah.

Jadi, kalau ada anggapan orang luar yang mengatakan siri’ itu “kejam” atau “jahat” memang demikian, akan tetapi dibalik kekejaman itu tersimpan makna hidup yang harus dimiliki oleh manusia untuk menjaga harga dirinya. Lebih kejam atau lebih jahat, bilamana anak yang lahir tanpa ayah, anak haram, kemana anak ini harus memanggil ayah ? Apalagi kalau perbuatan a-susila membudaya di negara kita, jelas harkat dan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang. Dekatakan memang nalurinya, sedangkan manusia punya otak, pikiran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Alangkah jahatnya bila perbuatan free seks atau “kumpul kerbau/kebo”, membudaya di negara kita, berapa banyak wanita yang harus jadi korban kebuasan seksual ? Justru kehadiran sirik di tengah masyarakat dapat dijadikan sebagai penangkal kebebasan seks (free seks)

Jenis siri’ yang kedua

Adalah sirik yang dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses. Misalnya, kalau kita melihat orang lain sukses, kenapa kita tidak? Contoh yang paling konkret, suku Bugis-Makassar biasanya banyak merantau ke daerah mana saja. Sesampai di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan. Kenapa mereka bekerja keras ? Karena mereka nantinya malu bilamana pulang kampung tanpa membawa hasil.

Contoh lain, semester yang lalu-lalu nilai saya ada yang jelek dikarenakan sesuatu hal (relative karena dosennya tidak objektif menurutku), karena saya malu maka semester kali ini saya meningkatkan pola belajar saya, karena saya malu bilamana ada nilai yang tidak bagus. Artinya orang yang kemarin nilainya jelek dan sekarang masih cuek sama pelajaran berarti tena sirik na (tidak ada malunya)

Jenis siri’ yang ketiga

Adalah siri’ yang bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata tidak enak didengar dan sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.

Ada anggapan orang luar bahwa orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh). Anggapan seperti ini bagi orang Makassar tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukannya bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata ingin membela harga dirinya. Adalah lebih bodoh bila dipermukaan di muka umum lantas diam saja tanpa ada tindakan apa-apa. Yang jelas, memang marah karena harga dirinya direndahkan di depan umum, tapi bukan berarti bodoh.

Jenis sirik yang keempat

Adalah sirik yang berarti malu-malu. Sirik semacam ini sebenarnya dapat berakibat negatifnya bagi seseorang, tapi ada juga positifnya. Misalnya yang ada akibat negatifnya ialah bila seseorang disuruh tampil di depan umum untuk jadi moderator tetapi tidak mau dengan alasan sirik-sirik. Ini dapat berakibat menhalangi bakat seseorang untuk berani tampil di depan umum. Sebaliknya akibat positif dari sirik-sirik ini, misalnya ada seseorang disuruh untuk mencuri ayam, lalu dia tidak mau dengan alasan sirik-sirik bilamana ketahuan oleh tetangganya.

Mengapa siri’ bagi suku Bugis-Makassar perlu ditegakkan, jawabnya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Yang menjadi masalah dalam kehidupan manusia ialah adanya dua versi hukum yang saling bertentangan, menyangkut sirik, yakni hukum adat Makassar menginginkan mengambil tindakan balasan terhadap orang-orang yang merendahkan martabatnya dalam arti kata bisa main hakim sendiri, sedang hukum positif (KUHP) melarang sama sekali melakukan tindakan main hakim sendiri. Suatu prinsip bagi suku Makassar, kalau harga dirinya direndahkan, akan melakukan tindakan balasan, Dalam ungkapan orang Makassar “Teai Mangkasarak punna boko’na lokok (bukan orang Makassar kalau bahagian belakangnya luka) maksudnya kalua luka itu berada di bagian belakang berarti orang itu takut berhadapan dengan lawannya, sebaliknya kalau luka itu ada di bagian depan menandakan keberaniannya.

Dalam arti yang lebih luas, setiap orang Bugis-Makassar diwajibkan untuk menegakkan prinsip-prinsip: Loyalitas pada hukum yang berlaku dan atau pantang berkompromi dengan kebahtilan, bagaimanapun bentuknya dan manifestasinya. Pantang surut, sebelum cita-cita perjuangan dicapai. Harus tegas keyakinan. Tidak boleh terombang-ambing dalam sikap pendirian. Yang diistilahkan dengan semboyan: orang bugis-Makassar: Toddo puli (Memaku pendirian).

Jelaslah kiranya, bahwa jika dianalisa secara mendasar aspek-aspek Sirik ini perlu digali guna diarahkan dalam kerangka-kepentingan keagungan faktor-faktor yang menjiwai Wawasan Nasional Bangsa. Yakni kepentingan-kepentingan ke Bhinneka Tunggal Ika itu dalam pengalaman pancasila dan UUD 1945 demi pencapaian sasaran : Masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Sirik sebagai harga diri, perlu menjiwai masyarakat dalam lingkungan pertahanan kepentingan-kepentingan sendi-sendi wawasan Nusantara tersebut. Aspek Khusus

Terhadap permasalahan Sirik, orang Makassar dan Bugis tak pernah mengenal kompromi. Seperti kata orang Makassar,Bawaku-ji akkaraeng badikku tena nakkareang (hanya mulut yang mengucapkan tuan,member penghormatan,tetapi kerisku tak tak kenal siap-kau, yakni na-pelakkanga’ Sirik-ku (menyinggung kehormatanku, membuat aku kehilangan malu/harga diri dan martabat), maka badikku tidak mengenal tuan (senjata tidak akan memilih merek,tidak pilih bulu).

Sirik sukar sekali dinilai oleh orang yang tidak bersangkutan (abstrak). Banyak sekali hal yang mengenai sirik yang tak dapat dituturkan dan banyak diantaranya tak dapat diterima Rasio, akan tetapi tak dapat dikesampingkan kerena benar-benar pengaruhnya untuk menimbulkan peristiwa pidana berdarah, antara lain: kentut tiba-tiba (nakelo ettu) di muka umum.

Contoh: (dikisakan dalam cerita orang Bugis-Makassar) Pernah seorang laki-laki nakelo ettu dimuka umum yang secara refleks kemudian menghunus kerisnya. Orang-orang sependapat bahwa itu sirik, sehingga tiada seorangpun menegadah, semua tunduk terpaku sebelum silaki-laki itu belum meninggalkan tempat. Oleh karena malunya, maka setibanya dirumah ia selalu berteriak :sayang sekali tiada seorangpun yang menegadah, kalau ada akan ku tikam mati.oleh karena menahan malu, maka diperintahkan istrinya untuk menumbuk lada sebanyak-banyaknya kemudian dipulaskan kejalan kentutnya sebagai ganjaran dan ia lalu meninggal dunia.

Dengan demikian, dapatlah dibayangkan betapa besar pengaruh nilai-nilai Sirik itu, bagi sikap mental orang-orang Bugis-Makassar pada umumnya.

Ada pendapat, menyatakan: perasaan sirik dipakasirik tidak akan lenyap di dalam perasaan seseorang yang didalam tubuhnya mengalir darah ugi-mengkasara’ (Bugis Makassar) sampe akhir zaman.

Unsur-Unsur Positif dan Negatif Siri’ Na Pacce

Ditinjau dari segi kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika ini sesungguhnya masalah Sirik tersebut mengandung nilai-nilai/ unsur-unsur positif dan negative. Namun dalam beberapa hal pada perwujudannya kadang kala menjurus pada yang negative. Karena salah diartikan atau ditafsirkan secara tidak tepat.

Nilai Positif

1.      Bertolak dari hakekat Sirik, yakni masalah harga diri atau prestise (wibawa), maka Sirik sesungguhnya merupakan hal yang sangat positif untuk dikembangkan bagi kepentingan kemajuan masyarakat yang sudah berlembaga dengan tatanan nilai-nilai budaya ini.

2.      Sirik pada pokoknya bersumber pada dasar dan nilai-nilai bentuk ikatan dalam masyarakat mentaati hukum, peraturan, perjanjian, dan lain-lain bentuk ikatan dalam masyarakat (community) sehingga dapat menjaga kelestarian hidup sesuatu kelompok masyarakat.

3.      Dengan prinsip sirik, mendorong masyarakat untuk tidak tertinggal dalam bentuk kemajuan apapun. Sebab motivasi terhadap rasa tidak ingin ketertinggalan adalah bersumber pada sirik itu sendiri.

4.      Sirik adalah merupakan harkat yang berlembaga dan hidup terus dihati masyarakat, berarti ia positif.

5.      Sirik dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan kemajuan masyarakat disebabkan oleh rasa solider yang tinggi terhadap nilai-nilai saja yang bersikap untuk kepentingan kemajuan masyarakat.

6.      Sirik oleh masyarakat Sulawesi Selatan telah dianggap sebagai suatu nilai budaya yang harus dipegang teguh (terus). Sebab tanpa sirik, manusia ini dianggap sangat rendah nilai kemanusiaanya (harkatnya).

7.      Dengan memberikan bentuk dari segi basic Moral tentang sirik yang positif, maka sikap budaya ini mendorong masyarakat untuk mendukung masalah integritas nasional. Utamanya dalam permasalahan pembinaan moral bangsa yang diarahkan pada nilai-nilai semangat juang 1945 dan pengamalan Pancasila serta ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.

8.      Sirik dengan kaitannya sebagai unsur kewiraan / kepatriotikan kepahlawanan / ketahanan, dapat dijadikan unsur-unsur ketahanan. Yakni pantang menyerah kalah pada musuh atau pada setiap bentuk tantangan yang timbul (menantang kebathilan), dalam kerangka menegakkan yang haq. Yakni, pendirian (sikap) yang tak tergoyahkan, yang dalam istilah Bugis-Makassar disebut : Toddopuli. Yakni, Memaku dalam sikap pendirian. Tidak tergoyahkan dalam keyakinan.

Nilai Negatif

1.      Sirik banyak diselewengkan oleh pribadi-pribadi pembawanya, menyimpang dari harkatnya sebagai aspek kebudayaan yang nilainya luhur. Karena terkadang perbutan yang negative dan sifatnya sangat sepele atau tidak prinsipil dikait-kaitkan dengan Sirik yang bernilai positif (mengandung nilai kulturil yang agung).

2.       Kadangkala nilai Sirik itu ditunggangi untuk kepentingan-kepentingan untuk mencapai sasaran-sasaran atau melindungi perbuatan-perbuatan yang negative. Yang di gerakkan oleh seseorang atau kelompok tertentu.

D.      To Manurung

To Manurung (Manusia yang berasal dari Langit) dalam riwayat kuno dipercaya sebagai asal-usul raja-raja di Sulawesi Selatan. Dalam sejarahnya, konon ada tiga kali pendaratan To Manurung di jazirah Sulawesi.

To manurung pertama adalah seorang lelaki perkasa bernama Tomboro Langi yang mendarat di puncak Gunung Latimojong. Ia memproklamirkan dirinya sebagai utusan langit untuk memerintah umat manusia. Tomboro Langi lalu menikah dengan Tande Bilik, seorang dewi yang muncul dari busa air sungai sa’dang. Putra sulung  mereka Sandaboro memperanakkan La Kipadada yang membangun 3 (tiga) kerajaan yaitu : Rangkong (Toraja), Luwu, dan Gowa, setelah itu dunia dilanda kekacauan maka diturunkan To Manurung ke dua.
To Manurung kedua yaitu Batara Guru yang kemudian kawin dengan We Nyilitimo dan melahirkan Batara Lattu. Batara Lattu kawin dengan We Opu Sengngeng putri dari Masyrik yang melahirkan Sawerigading. Sawerigading mendirikan kerajan Luwu yang dibawahnya terdiri dari kerajaan merdeka & berdaulat seperti Kerajaan Toraja, Bone, Gowa, Ternate, Palu. Fase Sawerigading mengalami kemunduran, sampai tak ada raja lagi yang memerintah di bumi maka diturunkanlah generasi To Manurung ketiga.
To Manurung ketiga terdiri dari beberapa orang dan mendarat di beberapa tempat. To Manurung di Luwu yaitu Sempurusiang yang kawin dengan Pattiajala. To Manurung di Bone bernama Mata SilompoE, kawin dengan To Manurung perempuan dari Toro. To Manurung di Gowa kawin dengan Karaeng Bayo. To Manurung di Bacukiki memepristrikan To Manurung di Lawaramparang.
Anak cucu turunan To Manurung itulah yang kemudian scara turun temurun menjadi Raja yang memerintah dimasing-masing kerajaan yang ada di jazirah Sulawesi.

Bab 3

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce ( Bahasa Makassar ) atau Siri’ na Pesse’ ( Bahasa Bugis ) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.

Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam ( dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan ).

Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain. Sedangkan pacce/pesse merupakan konsep yang membuat suku ini mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan di perantauan serta disegani.

Pacce/pesse merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, meskipun berlainan suku dan ras. Jadi, kalau pepatah Indonesia mengatakan “ Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul ”.

Itulah salah satu aplikasi dari kata pacce/pesse, jadi Siri’ skopnya dalam skala intern, sedang pacce/pesse bersifat intern dan ekstern, sehingga berlaku untuk semua orang.

Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri’ na pacce/pesse, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.

Konsep Siri’ na Pacce/pesse bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Toraja. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinterasi.

Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang telah menerapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan.

B. Saran

                       I.            Siri perlu digali sebagi suatu aspek budaya bangsa kita sebagai sub kultur budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Guna dimanfaatkan sebagai ramuan-ramuan pembinaan kebudayaan Nasional dan aspek-aspek pembangunan Nasional pdaumumnya yang Bhineka Tunggal Ika itu.

                     II.            Siri’ sebagai aspek budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika ini perlu diangkat nilai-nilai positifnya. Digali nilai-nilai mutiaranya, demi kepentingan identitas bangsa dalamkerangka penghayatan dan pengamalan pancasila.

                  III.            Perlu ditempu langkah-langkah agar nilai-nilai sirik tersebut, terpisahkan dari nilai-nilai emosional. Dengan kegiatan-kegiatan berupa merasionalkan masyarakat bersangkutan Melalui sarana-sarana pendidikan. Hal ini memungkin kan dengan berkembang pesatnya dunia pendidikan yang kini merata sampai ke pelosok-pelosok desa dimana desa sebagai tempat pesemaian sirik itu masih merupakan sesuatu yang berakar (melembaga).

                  IV.            Siri’ sebagai manifestrasi harga diri dan pegangan hidup untuk tidak berbuat yang tercela atau a’moral, disamping merupakan tekat untuk memperkuat iman untuk mencapai sukses yang dicita-citakan serta daya dorong untuk mengatasi hambatan yang dihadapi perlu dilestarikan sebagai aspek budaya bangsa yang Bhineka TunggalIka dan upaya mengamalkan nilai-nilai luhur falsafah pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

Hasil Rumusan Tudang Sipulung Kebudayaan Majelis Pertimbangan Budaya Daerah Provinsi Sulawesi Selatan tanggal 15-17 Juli 1989.

H.A.Mattulada. 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassar.Dalam Najib, dkk (Ed.) Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara Yogyakarta: LKPSM

R. Rahim,. 1985. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.

http://algazali-sosiologi.blogspot.com

http://www.rajaalihaji.com/id/article.php?a=YURIL3c%3D= Situs Raja Ali Haji

Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 8 Januari 2011. ISBN9812302123.

Vlekke, Bernard H.M..Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Laporan Praktikum Elektronika Rangkaian Paralel

Praktikum Elektronika Rangkaian Paralel Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Pada dasarnya, kehidupan kita saat ini tidak terlepas dari listrik yang dimana listrik ini...
Ahmad Dahlan
4 min read

Laporan Praktikum Full Wave Rectifier Bridge

Praktikum Full Wave Rectifier Bridge Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Peralatan elektronika umumnya menggunakan tegangan DC untuk dapat beroperasi, sedangkan sumber listrik yang...
Ananda Dwi Putri
2 min read

Laporan Praktikum Elektronika – Dioda Zener dan LED

Laporan Praktikum Dioda Zener dan LED Bab I. Pendahuluan  A. Latar Belakang Dioda adalah suatu komponen elektronik yang dapat melewatkan arus pada satu arah saja....
Ahmad Dahlan
5 min read

Leave a Reply