KISAH NABI NUH AS

46 min read

KISAH NABI NUH AS

Pendidikan. Berlalulah beberapa tahun dari kematian Nabi Adam. Bunga-bunga berguguran di sekitar kuburannya dan pohon-pohon dan batu-batuan tampak tidak bergairah. Banyak hal berubah di muka bumi. Dan sesuai dengan hukum umum, terjadilah kealpaan terhadap wasiat Nabi Adam. Kesalahan yang dahulu kembali terulang. Kesalahan dalam bentuk kelupaan, meskipun kali ini terulang secara berbeda.

Sebelum lahirnya kaum Nabi Nuh, telah hidup lima orang saleh dari kakek-kakek kaum Nabi Nuh. Mereka hidup selama beberapa zaman kemudian mereka mati. Nama-nama mereka adalah Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Setelah kematian mereka, orang-orang membuat patung-patung dari mereka, dalam rangka menghormati mereka dan sebagai peringatan terhadap mereka. Kemu­dian berlalulah waktu, lalu orang-orang yang memahat patung itu mati. Lalu datanglah anak-anak mereka, kemudian anak-anak itu mati, dan datanglah cucu-cucu mereka. Kemudian timbullah berbagai dongeng dan khurafat yang membelenggu akal manusia di mana disebutkan bahwa patung-patung itu memiliki kekuatan khusus.

Di sinilah iblis memanfaatkan kesempatan, dan ia membisikkan kepada manusia bahwa berhala-berhala tersebut adalah Tuhan yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya sehingga akhirnya manusia menyembah berhala-berhala itu. Kami tidak mengetahui sumber yang terpecaya berkenaan dengan bagaimana bentuk kehidupan ketika penyembahan terhadap berhala dimulai di bumi, namun kami mengetahui hukum umum yang tidak pernah berubah ketika manusia mulai cenderung kepada syirik. Dalam situasi seperti itu, kejahatan akan memenuhi bumi dan akal manusia akan kalah, serta akan meningkatnya kelaliman dan banyaknya orang-orang yang teraniaya. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Alhasil, kehidupan manusia semuanya akan berubah menjadi neraka Jahim. Situasi demikian ini pasti terjadi ketika manusia menyembah selain Allah SWT, baik yang disembah itu berhala dari batu, anak sapi dari emas, penguasa dari manusia, sistem dari berbagai sistem, mazhab dari berbagai mazhab, atau kuburan seorang wali. Sebab satu-satunya yang menjamin persamaan di antara manusia adalah, saat mereka hanya menyembah Allah SWT dan saat Dia diakui sebagai Pencipta mereka dan yang membuat undang-undang bagi mereka. Tetapi saat jaminan ini hilang lalu ada seorang yang mengklaim, atau ada sistem yang mengklaim memiliki wewenang ketuhanan maka manusia akan binasa dan akan hilanglah kebebasan mereka sepenuhnya.

Penyembahan kepada selain Allah SWT bukan hanya sebagai sebuah tragedi yang dapat menghilangkan kebebasan, namun pengaruh buruknya dapat merembet ke akal manusia dan dapat mengotorinya. Sebab, Allah SWT menciptakan manusia agar dapat mengenal-Nya dan menjadikan akalnya sebagai permata yang bertujuan untuk memperoleh ilmu. Dan ilmu yang paling penting adalah kesadaran bahwa Allah SWT semata sebagai Pencipta, dan selain-Nya adalah makhluk. Ini adalah poin penting dan dasar pertama yang harus ada sehingga manusia sukses sebagai khalifah di muka bumi.

Ketika akal manusia kehilangan potensinya dan berpaling ke selain Allah SWT maka manusia akan tertimpa kesalahan. Terkadang seseorang mengalami kemajuan secara materi karena ia berhasil melalui jalan-jalan kemajuan, meskipun ia tidak beriman kepada Allah SWT, namun kemajuan materi ini yang tidak disertai dengan pengenalan kepada Allah SWT akan menjadi siksa yang lebih keras daripada siksaan apa pun, karena ia pada akhirnya akan menghancurkan manusia itu sendiri. Ketika manusia menyembah selain Allah SWT maka akan meningkatlah penderitaan kehidupan dan kefakiran manusia. Terdapat hubungan kuat antara kehinaan manusia dan kefakiran mereka, serta tidak berimannya mereka kepada Allah. Allah SWT berfirman:

“Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. ” (QS. al-A’raf: 96)

Demikianlah, bahwa kufur kepada Allah SWT atau syirik kepada-Nya akan menyebabkan hilangnya kebebasan dan hancurnya akal serta meningkatnya kefakiran, serta kosongnya kehidupan dari tujuan yang mulia. Dalam situasi seperti ini, Allah SWT mengutus Nuh untuk membawa ajaran-Nya kepada kaumnya. Nabi Nuh adalah seorang hamba yang akalnya tidak terpengaruh oleh polusi kolektif, yang menyembah selain Allah SWT. Allah SWT memilih hamba-Nya Nuh dan mengutusnya di tengah-tengah kaumnya.

Nuh membuat revolusi pemikiran. Ia berada di puncak kemuliaan dan kecerdasan. Ia merupakan manusia terbesar di zamannya. Ia bukan seorang raja di tengah-tengah kaumnya, bukan penguasa mereka, dan bukan juga orang yang paling kaya di antara mereka. Kita mengetahui bahwa kebesaran tidak selalu berhubungan dengan kerajaan, kekayaan, dan kekuasaan. Tiga hal tersebut biasanya dimiliki oleh jiwa-jiwa yang hina. Namun kebesaran terletak pada kebersihan hati, kesucian nurani, dan kemampuan akal untuk mengubah kehidupan di sekitarnya. Nabi Nuh memiliki semua itu, bahkan lebih dari itu. Nabi Nuh adalah manusia yang mengingat dengan baik perjanjian Allah SWT dengan Nabi Adam dan anak-anaknya, ketika Dia menciptakan mereka di alam atom. Berdasarkan fitrah, ia beriman kepada Allah SWT sebelum pengutusannya pada manusia. Dan semua nabi beriman kepada Allah SWT sebe­lum mereka diutus. Di antara mereka ada yang “mencari” Allah SWT seperti Nabi Ibrahim, ada juga di antara mereka yang beriman kepada-Nya dari lubuk hati yang paling dalam, seperti Nabi Musa, dan di antara mereka juga ada yang beribadah kepada-Nya dan menyendiri di gua Hira, seperti Nabi Muhammad saw.

Terdapat sebab lain berkenaan dengan kebesaran Nabi Nuh. Ketika ia bangun, tidur, makan, minum, atau mengenakan pakaian, masuk atau keluar, ia selalu bersyukur kepada Allah SWT dan memuji-Nya, serta mengingat nikmat-Nya dan selalu bersyukur kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah SWT berkata tentang Nuh:

“Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. al-Isra’: 3)

Allah SWT memilih hamba-Nya yang bersyukur dan mengutusnya sebagai nabi pada kaumnya. Nabi Nuh keluar menuju kaumnya dan memulai dakwahnya:

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar. ” (QS. al-A’raf: 59)

Dengan kalimat yang singkat tersebut, Nabi Nuh meletakkan hakikat ketuhanan kepada kaumnya dan hakikat hari kebangkitan. Di sana hanya ada satu Pencipta yang berhak disembah. Di sana terdapat kematian, kemudian kebangkitan kemudian hari kiamat. Hari yang besar yang di dalamnya terdapat siksaan yang besar.

Nabi Nuh menjelaskan kepada kaumnya bahwa mustahil terdapat selain Allah Yang Maha Esa sebagai Pencipta. Ia memberikan pengertian kepada mereka, bahwa setan telah lama menipu mereka dan telah tiba waktunya untuk menghentikan tipuan ini. Nuh menyampaikan kepada mereka, bahwa Allah SWT telah memuliakan manusia: Dia telah menciptakan mereka, memberi mereka rezeki, dan menganugerahi akal kepada mereka. Manusia mendengarkan dakwahnya dengan penuh kekhusukan. Dakwah Nabi Nuh cukup mengguncangkan jiwa mereka. Laksana tembok yang akan roboh yang saat itu di situ ada seorang yang tertidur dan engkau meng-goyang tubuhnya agar ia bangun. Barangkali ia akan takut dan ia marah meskipun engkau bertujuan untuk menyelamatkannya.

Akar-akar kejahatan yang ada di bumi mendengar dan merasakan ketakutan. Pilar-pilar kebencian terancam dengan cinta ini yang dibawa oleh Nabi Nuh. Setelah mendengar dakwah Nabi Nuh, kaumnya terpecah menjadi dua kelompok: Kelompok orang-orang lemah, orang-orang fakir, dan orang-orang yang menderita, di mana mereka merasa dilindungi dengan dakwah Nabi Nuh, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok orang-orang kaya, orang-orang kuat, dan para penguasa di mana mereka menghadapi dakwah Nabi Nuh dengan penuh keraguan. Bahkan ketika mereka mempunyai kesempatan, mereka mulai melancarkan serangan untuk melawan Nabi Nuh. Mula-mula mereka menuduh bahwa Nabi Nuh adalah manusia biasa seperti mereka:

“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami.'” (QS. Hud: 27)

Dalam tafsir al-Quturbi disebutkan: “Masyarakat yang menentang dakwahnya adalah para pembesar dari kaumnya. Mereka dikatakan al-Mala’ karena mereka seringkali berkata. Misalnya mereka berkata kepada Nabi Nuh: “Wahai Nuh, engkau adalah manusia biasa.” Padahal Nabi Nuh juga mengatakan bahwa ia memang manusia biasa. Allah SWT mengutus seorang rasul dari manusia ke bumi karena bumi dihuni oleh manusia. Seandainya bumi dihuni oleh para malaikat niscaya Allah SWT mengutus seorang rasul dari malaikat.

Berlanjutlah peperangan antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh. Mula-mula, rezim penguasa menganggap bahwa dakwah Nabi Nuh akan mati dengan sendirinya, namun ketika mereka melihat bahwa dakwahnya menarik perhatian orang-orang fakir, orang-orang lemah, dan pekerja-pekerja sederhana, mereka mulai menyerang Nabi Nuh dari sisi ini. Mereka menyerangnya melalui pengikutnya dan mereka berkata kepadanya: “Tiada yang mengikutimu selain orang-orang fakir dan orang-orang lemah serta orang-orang hina.”

Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): ‘Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesung­guhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang berdusta. ” (QS. Hud: 25-27)

Demikianlah telah berkecamuk pertarungan antara Nabi Nuh dan para bangsawan dari kaumnya. Orang-orang yang kafir itu menggunakan dalih persamaan dan mereka berkata kepada Nabi Nuh: “Dengarkan wahai Nuh, jika engkau ingin kami beriman kepadamu maka usirlah orang-orang yang beriman kepadamu. Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang lemah dan orang-orang yang fakir, sementara kami adalah kaum bangsawan dan orang-orang kaya di antara mereka. Dan mustahil engkau menggabungkan kami bersama mereka dalam satu dakwah (majelis).” Nabi Nuh mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dari kaumnya. la mengetahui bahwa mereka menentang. Meskipun demikian, ia menjawabnya dengan baik. Ia memberitahukan kepada kaumnya bahwa ia tidak dapat mengusir orang-orang mukmin, karena mereka bukanlah tamu-tamunya namun mereka adalah tamu-tamu Allah SWT. Rahmat bukan terletak dalam rumahnya di mana masuk di dalamnya orang-orang yang dikehendakinya dan  terusir darinya orang-orang yang dikehendakinya,  tetapi rahmat terletak dalam rumah Allah SWT di mana Dia menerima siapa saja yang dikehendaki-Nya di dalamnya. Allah SWT berfirman:

“Berkata Nuh: ‘Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya? Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui.’ Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, siapakah yang dapat menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkan kamu mengambil pelajaran?’ Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): ‘Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui hal yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan: ‘Sesungguhnya aku adalah malaikat,’ dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: ‘Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada mereka. Sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang lalim.'” (QS. Hud: 28-31)

Nuh mematahkan semua argumentasi orang-orang kafir dengan logika para nabi yang mulia. Yaitu, logika pemikiran yang sunyi dari kesombongan pribadi dan kepentingan-kepentingan khusus. Nabi Nuh berkata kepada mereka bahwa Allah SWT telah memberinya agama, kenabian, dan rahmat. Sedangkan mereka tidak melihat apa yang diberikan Allah SWT kepadanya. Selanjutnya, ia tidak memaksakan mereka untuk mempercayai apa yang disampaikannya saat mereka membenci. Kalimat tauhid (tiada Tuhan selain Allah) tidak dapat dipaksakan atas seseorang. Ia memberitahukan kepada mereka bahwa ia tidak meminta imbalan dari mereka atas dakwahnya. Ia tidak meminta harta dari mereka sehingga memberatkan mereka. Sesungguhnya ia hanya mengharapkan pahala (imbalan) dari Allah SWT. Allahlah yang memberi pahala kepadanya. Nabi Nuh menerangkan kepada mereka bahwa ia tidak dapat mengusir orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Meskipun sebagai Nabi, ia memiliki keterbatasan dan keterbatasan itu adalah tidak diberikannya hak baginya untuk mengusir orang-orang yang beriman karena dua alasan. Bahwa mereka akan bertemu dengan Alllah SWT dalam keadaan beriman kepada-Nya, maka bagaimana ia akan mengusir orang yang beriman kepada Allah SWT, kemudian seandainya ia mengusir mereka, maka mereka akan menentangnya di hadapan Allah SWT. Ini berakibat pada pemberian pahala dari Allah SWT atas keimanan mereka dan balasan-Nya atas siapa pun yang mengusir mereka. Maka siapakah yang dapat menolong Nabi Nuh dari siksa Allah SWT seandainya ia mengusir me­reka?

Demikianlah Nabi Nuh menunjukkan bahwa permintaan kaumnya agar ia mengusir orang-orang mukmin adalah tindakan bodoh dari mereka. Nabi Nuh kembali menyatakan bahwa ia tidak dapat melakukan sesuatu yang di luar wewenangnya, dan ia memberitahu mereka akan kerendahannya dan kepatuhannya kepada Allah SWT. Ia tidak dapat melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari kekuasaan Allah SWT, yaitu pemberian nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Ia tidak mengetahui ilmu gaib, karena ilmu gaib hanya khusus dimiliki oleh Allah SWT. Ia juga memberitahukan kepada mereka bahwa ia bukan seorang raja, yakni kedudukannya bukan seperti kedudukan para malaikat. Sebagian ulama berargumentasi dari ayat ini bahwa para malaikat lebih utama dari pada para nabi (silakan melihat tafsir Qurthubi).

Nabi Nuh berkata kepada mereka: “Sesungguhnya orang-orang yang kalian pandang sebelah mata, dan kalian hina dari orang-orang mukmin yang kalian remehkan itu, sesungguhnya pahala mereka itu tidak sirna dan tidak berkurang dengan adanya penghinaan kalian terhadap mereka. Sungguh Allah SWT lebih tahu terhadap apa yang ada dalam diri mereka. Dialah yang membalas amal mereka. Sungguh aku telah menganiaya diriku sendiri seandainya aku mengatakan bahwa Allah tidak memberikan kebaikan kepada mereka.”

Kemudian rezim penguasa mulai bosan dengan debat ini yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Allah SWT menceritakan sikap mereka terhadap Nabi Nuh dalam flrman-Nya:

“Mereka berkata: ‘Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.’ Nuh menjawab: ‘Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri. Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu. Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. ” (QS. Hud: 32-34)

Nabi Nuh menambahkan bahwa mereka tersesat dari jalan Allah SWT. Allahlah yang menjadi sebab terjadinya segala sesuatu, namun mereka memperoleh kesesatan disebabkan oleh ikhtiar mereka dan kebebasan mereka serta keinginan mereka. Dahulu iblis berkata:

“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat…” (QS. al-A’raf: 16)

Secara zahir tampak bahwa makna ungkapan itu berarti Allahlah yang menyesatkannya, padahal hakikatnya adalah bahwa Allah SWT telah memberinya kebebasan dan kemudian Dia akan meminta pertanggungjawabannya. Kita tidak sependapat dengan pandangan al-Qadhariyah, al-Mu’tazilah, dan Imamiyah. Mereka berpendapat bahwa keinginan manusia cukup sebagai kekuatan untuk melakukan perbuatannya, baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan. Karena bagi mereka, manusia adalah pencipta per­buatannya. Dalam hal itu, ia tidak membutuhkan Tuhannya. Kami tidak mengambil pendapat mereka secara mutlak. Kami berpen­dapat bahwa manusia memang menciptakan perbuatannya namun ia membutuhkan bantuan Tuhannya dalam melakukannya[1].

Alhasil, Allah SWT mengerahkan setiap makhluk sesuai dengan arah penciptaannya, baik pengarahann itu menuju kebaikan atau keburukan. Ini termasuk kebebasan sepenuhnya. Manusia memilih dengan kebebasannya kemudian Allah SWT mengerahkan jalan menuju pilihannya itu. Iblis memilih jalan kesesatan maka Allah SWT mengerahkan jalan kesesatan itu padanya, sedangkan orang-orang kafir dari kaum Nabi Nuh memilih jalan yang sama maka Allah pun mengerahkan jalan itu pada mereka.

Peperangan pun berlanjut, dan perdebatan antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh semakin melebar, sehingga ketika argumentasi-argumentasi mereka terpatahkan dan mereka tidak dapat mengatakan sesuatu yang pantas, mereka mulai keluar dari batas-batas adab dan berani mengejek Nabi Allah.

“Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: ‘Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-A’raf: 60)

Nabi Nuh menjawab dengan menggunakan sopan-santun para nabi yang agung.

“Nuh menjawab: ‘Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-A’raf: 61-62)

Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya, waktu demi waktu, hari demi hari, dan tahun demi tahun. Berlalulah masa yang panjang itu, namun Nabi Nuh tetap menga­jak kaumnya. Nabi Nuh berdakwah kepada mereka siang malam, dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, bahkan ia pun memberikan contoh-contoh pada mereka. Ia menjelaskan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan kekuasaan-Nya di dunia. Namun setiap kali ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT, mereka lari darinya, dan setiap kali ia mengajak mereka agar Allah SWT mengampuni mereka, mereka meletakkan jari-jari mereka di telinga-telinga mereka dan mereka menampakkan kesombongan di depan kebenaran. Allah SWT menceritakan apa yang dialami oleh Nabi Nuh dalam firman-Nya:

“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan keterlaluan. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mere­ka dengan cara yang terang-terangan, kemudian aku menyeru mereka lagi dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesung­guhnya Dia adalah Maha Pengampun. Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.'” (QS. Nuh: 5-12)

Namun apa jawaban kaumnya?

“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Mereka telah melakukan tipu-daya yang amat besar. Dan mereka berkata: ‘Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali meninggalkan (pen­yembahan) wadd, suwa, yaghuts, yauq, dan nasr. Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang lalim itu selain kesesatan,'” (QS. Nuh: 21-24)

Nuh tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun. Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. ” (QS. aPAnkabut: 14)

Sayangnya, jumlah kaum mukmin tidak bertambah sedangkan jumlah kaum kafir justru bertambah. Nabi Nuh sangat sedih namun ia tidak sampai kehilangan harapan. la senantiasa mengajak kaumnya dan berdebat dengan mereka. Namun kaumnya selalu menghadapinya dengan kesombongan, kekufuran, dan penentangan. Nabi Nuh sangat bersedih terhadap kaumnya namun ia tidak sampai berputus asa. la tetap menjaga harapan selama 950 tahun. Tampak bahwa usia manusia sebelum datangnya topan cukup panjang. Dan barangkali usia panjang bagi Nabi Nuh merupakan mukjizat khusus baginya.

Datanglah hari di mana Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa orang-orang yang beriman dari kaumnya tidak akan bertambah lagi. Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia tidak bersedih atas tindakan mereka. Maka pada saat itu, Nabi Nuh berdoa agar orang-orang kafir dihancurkan. la berkata:

“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS. Nuh: 26)

Nabi Nuh membenarkan doanya dengan alasan:

“Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat dan kafir. ” (QS. Nuh: 27)

Allah SWT berfirman dalam surah Hud:

“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasannya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang-orang yang telah beriman saja, karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 36-37)

Kemudian Allah SWT menetapkan hukum-Nya atas orang-orang kafir, yaitu datangnya angin topan. Allah SWT memberitahu Nuh, bahwa ia akan membuat perahu ini dengan “pengawasan Kami dan wahyu kami,” yakni dengan ilmu Allah SWT dan pengajaran-Nya, serta sesuai dengan pengarahan-Nya dan bantuan para malaikat.

Allah SWT menetapkan perintah-Nya kepada Nuh:

“Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 37)

Allah SWT menenggelamkan orang-orang yang lalim, apa pun kedudukan mereka dan apa pun kedekatan mereka dengan Nabi. Allah SWT melarang Nabi-Nya untuk berdialog dengan mereka atau menengahi urusan mereka. Nabi Nuh mulai menanam pohon untuk membuat perahu darinya. Ia menunggu beberapa tahun, kemudian ia memotong apa yang ditanamnya dan mulai merakitnya. Akhirnya, jadilah perahu yang besar, yang tinggi, dan kuat.

Para mufasir berbeda pendapat tentang besarnya perahu itu, bentuknya, masa pembuatannya, tempat pembuatannya dan lain-lain. Berkenaan dengan hal tersebut Fakhrur Razi berkata: “Ketahuilah bahwa pembahasan ini tidak menarik bagiku karena ia merupakan hal-hal yang tidak perlu diketahuinya. Saya kira mengetahui hal tersebut hanya mendatangkan manfaat yang sedikit.” Mudah-mudahan Allah SWT merahmati Fakhrur Razi yang menyatakan kebenaran dengan kalimatnya itu. Kita tidak mengetahui hakikat perahu ini, kecuali apa yang telah Allah SWT ceritakan kepada kita tentang hal itu. Misalnya, kita tidak mengetahui dimana ia dibuat, berapa panjangnya atau lebarnya, dan kita secara pasti tidak mengetahui selain tempat yang ditujunya setelah ia berlabuh.

Allah SWT tidak memberikan keterangan secara detail berkenaan dengan hal tersebut yang tidak memberikan kepentingan pada kandungan cerita dan tujuannya yang penting. Nabi Nuh mulai membangun perahu, lalu orang-orang kafir lewat di depannya saat ia dalam keadaan serius membuat perahu. Saat itu, cuaca atau udara sangat kering, dan di sana tidak terdapat sungai atau laut yang dekat. Bagaimana perahu ini akan berlayar wahai Nuh? Apakah ia akan berlayar di atas tanah? Di manakah air yang memungkinkan bagi perahumu untuk belayar? Sungguh Nuh telah gila! Orang-orang kafir semakin tertawa terbahak-bahak dan semakin mengejek Nabi Nuh.

Puncak pertentangan dalam kisah Nabi Nuh tampak dalam masa ini. Kebatilan mengejek kebenaran dan cukup lama menertawakan kebenaran. Mereka menganggap bahwa dunia adalah milik mereka dan bahwa mereka akan selalu mendapatkan keamanan dan bahwa siksa tidak akan terjadi. Namun anggapan mereka itu tidak terbukti. Datangnya angin topan menjungkirbalikkan semua perkiraan mereka. Saat itu, orang-orang mukmin mengejek balik orang-orang kafir dan ejekan mereka adalah kebenaran. Allah SWT berfirman:

“Dan mulailah Nuh membuat bahtera itu. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan metewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: ‘Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek kami. Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakan dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (QS. Hud: 38-39)

Selesailah pembuatan perahu dan duduk menunggu perintah Allah SWT. Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa jika ada yang mempunyai dapur, maka ini sebagai tanda dimulainya angin topan. Di sebutkan bahwa tafsiran dari at-Tannur ialah oven (alat untuk memanggang roti) yang ada di dalam rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya air dan ia lari maka itu merupakan perintah bagi Nabi Nuh untuk bergerak. Maka pada suatu hari tannur itu mulai menunjukkan tanda-tandanya dari dalam rumah Nabi Nuh, lalu Nabi Nuh segera membuka perahunya dan mengajak orang-orang mukmin untuk menaikinya. Jibril turun ke bumi. Nabi Nuh membawa burung, binatang buas, binatang yang berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut, dan lain-lain. Dalam perahu itu, Nabi Nuh telah membuat kandang binatang buas.

Jibril menggiring setiap dua binatang yang berpasangan agar setiap spesies binatang tidak punah dari muka bumi. Ini berarti bahwa angin topan telah menenggelamkan bumi semuanya, kalau tidak demikian maka buat apa ia harus mengangkut jenis binatang-binatang itu. Binatang-binatang mulai menaiki perahu itu beserta orang-orang yang beriman dari kaumnya. Jumlah orang-orang mukmin sangat sedikit. Allah SWT berfirman:

“Hingga apabila perintah Kami datang dan tannur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkanlah pula) orang-orang yang beriman.’ Dan tidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit. ” (QS. Hud: 40)

Istri Nabi Nuh tidak beriman kepadanya sehingga ia tidak ikut menaiki perahu, dan salah satu anaknya menyembunyikan kekafirannya dengan menampakkan keimanan di depan Nabi Nuh, dan ia pun tidak ikut menaikinya. Mayoritas manusia saat itu tidak ber­iman sehingga mereka tidak turut berlayar. Hanya orang-orang mukmin yang mengarungi lautan bersamanya. Ibnu Abbas berkata: “Terdapat delapan puluh orang dari kaum Nabi Nuh yang beriman kepadanya.”

Air mulai meninggi yang keluar dari celah-celah bumi. Tiada satu celah pun di bumi kecuali keluar air darinya. Sementara dari langit turunlah hujan yang sangat deras yang belum pernah turun hujan dengan curah seperti itu di bumi, dan tidak akan ada hujan seperti itu sesudahnya. Lautan semakin bergolak dan ombaknya menerpa apa saja dan menyapu bumi. Perut bumi bergerak dengan gerakan yang tidak wajar sehingga bola bumi untuk pertama kalinya tenggelam dalam air sehingga ia menjadi bola air. Allah SWT berfirman:

“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku. (QS. al-Qamar: 11-13)

Air meninggi di atas kepala manusia, dan ia melampaui ketinggian pohon, bahkan puncak gunung. Akhirnya, permukaan bumi diselimuti dengan air. Ketika mula-mula datang topan, Nabi Nuh memanggil-manggil putranya. Putranya itu berdiri agak jauh dari­nya. Nabi Nuh memanggilnya dan berkata:

“Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (QS. Hud: 42)

Anak itu menjawab ajakan ayahnya:

“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.” (QS. Hud: 43)

Nabi Nuh kembali menyerunya:

“Tidak add yang melindungi hari ini dari azab Allah selain orang yang dirahmati-Nya. ” (QS. Hud: 43)

Selesailah dialog antara Nabi Nuh dan anaknya.

“Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. ” (QS. Hud: 43)

Perhatikanlah ungkapan AI-Qur’an al-Karim: Dan gelombang men­jadi penghalang antara keduanya. Ombak tiba-tiba mengakhiri dia­log mereka. Nabi Nuh mencari, namun ia tidak mendapati anak­nya. Ia tidak menemukan selain gunung ombak yang semakin meninggi dan meninggi bersama perahu itu. Nabi Nuh ddak dapat melihat segala sesuatu selain air. Allah SWT berkehendak—sebagai rahmat dari-Nya—untuk menenggelamkan si anak jauh dari penglihatan si ayah. Inilah kasih sayang Allah SWT terhadap si ayah. Anak Nabi Nuh mengira bahwa gunung akan mencegahnya dari kejaran air namun ia pun terkejar dan tenggelam. Angin topan terus berlanjut dan terus membawa perahu Nabi Nuh. Setelah berlalu beberapa saat, pemandangan tertuju kepada bumi yang telah musnah sehingga tiada kehidupan kecuali sebagian kayu yang darinya Nabi Nuh membuat perahu di mana ia menyelamatkan orang-orang mukmin, begitu juga berbagai binatang yang ikut bersama mereka. Adalah hal yang sulit bagi kita untuk membayangkan kedahsyatan topan itu. Yang jelas, ia menunjukkan kekuasaan Pencipta. Perahu itu berlayar dengan mereka dalam ombak yang laksana gunung. Sebagian ilmuwan meyakini bahwa terpisahnya beberapa benua dan terbentuknya bumi dalam rupa seperti sekarang adalah sebagai akibat dari topan yang dahulu.

Topan yang dialami oleh Nabi Nuh terus berlanjut dalam beber­apa zaman di mana kita tidak dapat mengetahui batasnya. Kemudian datanglah perintah Ilahi agar langit menghentikan hujannya dan agar bumi tetap tenang dan menelan air itu, dan agar kayu-kayu perahu berlabuh di al-Judi, yaitu nama suatu tempat di zaman dahulu. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah gunung yang terletak di Irak. Dengan datangnya perintah Ilahi, bumi kembali menjadi tenang dan air menjadi surut. Topan telah menyucikan bumi dan membasuhnya. Allah SWT berfirman:

“Dan difirmankan: ‘Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,’ dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukitjudi. Dan dikatakan: ‘Binasalah orang-orang yang lalim. ” (QS. Hud: 44)

Dan air pun disurutkan, yakni air berkurang dan kembali ke celah-celah bumi. Segala urusan telah diputuskan dan orang-orang kafir telah hancur sepenuhnya. Dikatakan bahwa Allah SWT me-mandulkan rahim-rahim wanita selama empat puluh tahun sebelum datangnya topan, karena itu tidak ada yang terbunuh seorang anak bayi atau anak kecil.

Firman-Nya: Dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit judi, yakni ia berlabuh di atasnya. Di sebutkan bahwa hari itu bertepatan dengan hari Asyura’ (hari kesepuluh dari bulan Muharam). Lalu Nabi Nuh berpuasa dan memerintahkan orang-orang yang bersamanya untuk berpuasa juga.

Dikatakan: ‘Binasalah orang-orang yang lalim, ‘yakni kehancuran bagi mereka. Topan menyucikan bumi dari mereka dan membersihkannya. Lenyaplah peristiwa yang mengerikan dengan lenyapnya topan. Dan berpindahlah pergulatan dari ombak ke jiwa Nabi Nuh. Ia mengingat anaknya yang tenggelam. Nabi Nuh tidak mengetahui saat itu bahwa anaknya menjadi kafir. Ia menganggap bahwa anak­nya sebagai seorang mukmin yang memilih untuk menyelamatkan diri dengan cara berlindung kepada gunung. Namun ombak telah mengakhiri percakapan keduanya sebelum mereka menyelesaikannya. Nabi Nuh tidak mengetahui seberapa jauh bagian keimanan yang ada pada anaknya. Lalu bergeraklah naluri kasih sayang dalam hati sang ayah. Allah SWT berfirman:

“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya. ” (QS. Hud: 45)

Nuh ingin berkata kepada Allah SWT bahwa anaknya termasuk dari keluarganya yang beriman dan Dia menjanjikan untuk menye­lamatkan keluarganya yang beriman. Allah SWT berkata dan menjelaskan kepada Nuh keadaan sebenarnya yang ada pada anaknya:

“Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Aku memperingatkan kepa-damu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.'” (QS. Hud: 46)

Al-Qurthubi berkata—menukil dari guru-gurunya dari kalangan ulama—ini adalah pendapat yang kami dukung: “Anaknya berada di sisinya (yakni bersama Nabi Nuh dan dalam dugaannya ia seorang mukmin). Nabi Nuh tidak berkata kepada Tuhannya: “Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku,” kecuali karena ia memang menampakkan hal yang demikian kepadanya. Sebab, mustahil ia meminta kehancuran orang-orang kafir kemudian ia meminta agar sebagian mereka diselamatkan.”

Anaknya menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan. Lalu Allah SWT memberitahukan kepada Nuh ilmu gaib yang khusus dimiliki-Nya. Yakni Allah SWT memberitahunya keadaan sebenarnya dari anaknya. Allah SWT ketika menasihatinya agar jangan sampai ia menjadi orang-orang yang tidak mengerti. Dia ingin menghilangkan darinya anggapan bahwa anaknya beriman kemudian mati bersama orang-orang kafir.

Di sana terdapat pelajaran penting yang terkandung dalam ayat-ayat yang mulia itu, yang menceritakan kisah Nabi Nuh bersama anaknya. Allah SWT ingin berkata kepada Nabi-Nya yang mulia bahwa anaknya bukan termasuk keluarganya karena ia tidak beriman kepada Allah SWT. Hubungan darah bukanlah hubungan hakiki di antara manusia. Anak seorang nabi adalah anaknya yang meyakini akidah, yaitu mengikuti Allah SWT dan nabi, dan bukan anaknya yang menentangnya, meskipun berasal dari sulbinya. Jika demikian seorang mukmin harus menghindar dari kekufuran. Dan di sini juga harus di teguhkan hubungan sesama akidah di antara orang-orang mukmin. Adalah tidak benar jika hubungan sesama mereka dibangun berdasarkan darah, ras, warna kulit, atau tempat tinggal.

Nabi Nuh memohon ampun kepada Tuhannya dan bertaubat kepada-Nya. Kemudian Allah SWT merahmatinya dan memerintahkannya untuk turun dari perahu dalam keadaan dipenuhi dengan keberkahan dari Allah SWT dan penjagaan-Nya:

“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikatnya). Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh mbelas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi. ” (QS. Hud: 47) “Difirmankan: ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu.'” (QS. Hud: 48)

Nabi Nuh turun dari perahunya dan ia melepaskan burung-burung dan binatang-binatang buas sehingga mereka menyebar ke bumi. Setelah itu, orangorang mukmin juga tumn. Nabi Nuh meletakkan dahinya ke atas tanah dan bersujud. Saat itu bumi masih basah karena pengaruh topan. Nabi Nuh bangkit setelah salatnya dan menggali pondasi untuk membangun tempat ibadah yang agung bagi Allah SWT. Orang-orang yang selamat menyalakan api dan duduk-duduk di sekelilinginya. Menyalakan api sebelumnya di larang di dalam perahu karena dikhawatirkan api akan menyentuh kayu-kayunya dan membakarnya. Tak seorang pun di antara mereka yang memakan makanan yang hangat selama masa topan.

Berlalulah hari puasa sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Al-Qur’an tidak lagi menceritakan kisah Nabi Nuh setelah topan sehingga kita tidak mengetahui bagaimana peristiwa yang dialami Nabi Nuh bersama kaumnya. Yang kita ketahui atau yang perlu kita tegaskan bahwa Nabi Nuh mewasiatkan kepada putra-putranya saat ia meninggal agar mereka hanya menyembah Allah SWT.

1. Kata Pengantar

Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa’ala aalihi washahbihi waman walah. La haula wala quwwata illa billah. Kami namakan terjemahan ini dengan judul “Badi’ul ‘Alam fi Qishshati Nuh ‘Alaihissalam” (Alam Baru, Kisah Kehidupan Nabi Nuh As.). Yang mana kami nukil dari kitab Bada-i’ az-Zuhur fi Waqa-i’ ad-Duhur karya seorang ulama besar madzhab Syafi’i, al-Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abubakar as-Suyuthiy, atau yang biasa kita kenal dengan Imam Suyuthi.

Sejarah dalam agama Islam merupakan perkara yang penting. Dimana hal tersebut bisa dibuktikan melalu al-Quran sebagai kitab suci agama Islam. Isi kandungan dalam al-Quran sebagian besarnya adalah memuat sejarah, baik sejarah para nabi dan rasul terdahulu serta kaumnya maupun sejarah para orang shaleh. Meskipun begitu bukan berarti al-Quran adalah kitab sejarah.

Bukan hanya menceritakan sejarah para nabi dan rasul, Allah Swt. juga mengamanati kepada generasi selanjutnya untuk memperhatikan pelestarian dan penjagaan peninggalan-peninggalan dari sejarah itu.

Dalam surat al-Isra’ ayat pertama, kenapa Allah Swt. tatkala mengisra’kan hamba terkasihNya -Sayyidina Muhammad Saw.- harus melewati Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsha? Hal itu tiada lain karena di balik dua tempat itu terkandung sejarah dan peninggalan sejarah mayoritas para nabi dan rasul terdahulu. Allah hendak melestarikan dan menjaga kedua tempat suci tersebut, yang selanjutnya adalah tugas kita bersama.

Umat-umat agama lain dengan bangga menyebutkan peninggalan-peninggalan nenek moyang mereka sebagai bukti keakuratan sejarah mereka. Kita sebagai umat Islam seharusnya lebih bangga melakukannya. Karena pastinya kita telah meyakini bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai Allah Swt. Namun, ketika kita berbangga diri dengan agama Islam kemudian ada orang yang menanyakan bukti-bukti peninggalan sejarah agama kita, apa yang hendak kita jawab jikalau terhadap peninggalan-peninggalan sejarah itu saja tidak tahu? Atau bahkan ketika peninggalan-peninggalan sejarah agama kita telah dihancurkan, bisa-bisa generasi yang akan datang akan menganggap al-Quran hanya sebagai “buku dongeng” belaka. Lalu salah siapakah kalau nantinya benar-benar terjadi pada generasi penerus kita?

Alhasil, semoga dengan disusunnya kitab-kitab sirah/sejarah oleh para ulama kita terdahulu, dapat menjadikan pelecut bagi kita. Pelecut semangat yang semakin menghausi diri kita untuk lebih giat lagi menggali sejarah-sejarah yang masih bertumpuk di rak-rak perpustakaan, dalam lembaran-lembaran kitab para ulama terdahulu. Ketika kita menyebut sejarah kaum shalihin saja Allah hujankan rahmat, apatah lagi jika menyebut-nyebut sejarah para nabi dan rasul.

Sebagai insan pemilik gudang dosa, al-faqir memohon dengan sangat agar semua tulisanku jangan di-Aamiin-kan sepenuhnya karena tentu yang salah lebih banyak dari yang benar. Koreksi dan kritikan yang membangun sangat kami idam-idamkan. Jazakumullah ahsanal jaza’.

2. Nama Asli Nabi Nuh As.

Dia adalah Nuh bin Lamak bin Matusyalkha bin Idris As. Imam al-Kisai berkata: “Nama sebenarnya Nabi Nuh adalah Abdul Ghaffar atau Yasykur.”

Dinamakan Nuh, menurut suatu pendapat, adalah karena ia melihat anjing yang mempunyai 4 mata. Lalu Nabi Nuh mengatakan: “Anjing ini sangat buruk-menjijikkan.”

Ternyata anjing itu berkata pada Nabi Nuh: “Wahai Abdul Ghaffar, engkau menghina ukiran ataukah Yang Mengukir? Jika hinaan itu kau utarakan pada ukiran, maka jelas (memang demikian adanya). Namun jika itu ditujukan padaku maka aku enggan memilih menjadi anjing. Dan jika hinaan tadi tertuju pada Sang Pengukir maka hinaan itu tidaklah layak, karena Ia Maha Berkehendak atas apa yang dikehendakiNya.”

Oleh karena kata-kata tadi maka Abdul Ghaffar pun terus menangis, menangisi kesalahan dan dosanya. Karena seringnya menangis maka dinamakanlah dia dengan sebutan “Nuh” (menangis). Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh Imam as-Saddi.

3. Awal Mula Diutusnya Nuh As. Sebagai Rasul Allah

Wahb bin Munabbih berkata: “Ketika Nabi Nuh As. berusia 480 tahun datanglah Malaikat Jibril As. padanya. Nabi Nuh As. bertanya: “Siapakah engkau wahai lelaki tampan?”

Jibril As. menjawab: “Saya adalah utusan Tuhan semesta alam, datang padamu membawa risalah. Sungguh Allah telah mengutusmu untuk umatmu.”

Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam QS. Nuh ayat 1:

إِنَّآ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ أَنْ أَنذِرْ قَوْمَكَ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan perintah): “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya adzab yang pedih.”

Lalu Jibril As. memakaikan baju mujahidin dan melilitkan sorban kemenangan serta memberinya ikat pinggang “Saiful ‘Azmi” seraya berkata padanya: “Berilah peringatan pada musuh Allah yang bernama Darmasyil bin Fumail bin Jij bin Qabil bin Adam.”

Konon, Darmasyil adalah raja yang lalim. Dia adalah manusia pertama yang memeras arak dan meminumnya, manusia pertama yang bermain judi dan manusia pertama yang membuat baju dengan dihiasi emas. Dia dan kaumnya adalah penyembah 5 berhala; Wad, Siwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr, sebagaimana disebutkan juga nama-nama itu dalam al-Quran.

Berhala-berhala utama ini dikelilingi oleh 1700 berhala lainnya. Berhala itu juga dibuatkan rumah yang dibuat dari marmer berwarna-warni. Setiap satu rumah panjangnya mencapai 1000 dzira’, begitupula lebarnya.

Pada berhala-berhala itu juga terdapat kursi-kursi yang terbuat dari emas. Di dalamnya terdapat berbagai macam perhiasan yang megah. Dan juga ada seorang pelayan yang bertugas melayaninya siang dan malam.

Selain itu, juga diadakan hari raya untuk mereka yang diperingati setiap tahunnya. Keluarlah Nabi Nuh pada hari raya tersebut. Sedangkan mereka menyalakan api di sekitar para berhalanya, mempersembahkan kurban lalu mereka bersujud memuliakan berhala-berhala itu. Dibawakan pula berbagai alat musik, gong ditabuh dan menari-menari berpesta ria sambil meminum arak. Pesta sex pun dilakukan secara terang-terangan. Mereka memperlakukan wanita seperti hewan.

4. Permulaan Dakwah Nabi Nuh As. dan Gelar “Ulul ‘Azmi” yang Pertam

Tatkala Nabi Nuh As. mendatangi kaumnya, ia berdiri di atas jurang seraya menengadahkan kepalanya ke atas seraya berdoa dengan doa wasilah berikut ini:

الهى أسألك أن تنصرني عليهم بنور محمد صلى الله عليه وسلم

“Ya Allah, kumohon pertolongan padaMu dengan berkat Nur Muhammad Saw.”

Melihat jumlah kaum Nabi Nuh As. yang begitu banyaknya, berserulah beliau dengan sekuat tenaga dan berkata: “Wahai kaumku, kedatanganku ini adalah atas perintah dari Tuhan semesta alam. Saya mengajak kalian untuk menyembah hanya kepadaNya dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala-berhala itu.”

Seruan Nabi Nuh ini begitu membahana dan menggelegar sehingga terdengarlah dari segala penjuru, dari ujung barat sampai ujung timur. Karena seruannya itu pula berjatuhanlah berhala-berhala itu dari kursinya. Terkagetlah semua pelayan kerajaan. Bahkan sang raja Darmasyil hingga dibuat pingsan oleh seruan itu. Setelah sang raja siuman, ia bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya: “Suara apakah itu?”

Dijawab oleh salah satu dari mereka: “Itu adalah suara seorang lelaki yang bernama Nuh. Dia adalah orang gila yang akalnya sudah tidak normal lagi.”

Akhirnya sang raja memerintahkan para prajuritnya agar membawa Nabi Nuh ke hadapannya. Ketika Nabi Nuh As. sudah berada di hadapannya, sang raja pun bertanya: “Siapa kamu?”

Dijawab: “Saya adalah Nuh, utusan Tuhan semesta alam. Saya datang ke sini membawa risalah agar kalian semua beriman kepada Allah dan meninggalkan semua berhala itu.”

Lalu sang raja berkata: “Jika kamu gila, maka saya akan mengobatimu. Jika kamu fakir, maka saya akan mencukupkan harta untukmu. Dan jika kamu adalah orang yang terlilit hutang, maka saya akan melunasi semua hutangmu.”

Nabi Nuh As. menjawab: “Saya tidak gila, tidak juga fakir, tidak pula terlilit hutang. Saya adalah utusan Tuhan semesta alam.”

Nabi Nuh As. adalah rasul (utusan) Allah yang pertama masuk ke dalam golongan “Ulul ‘Azmi”. Allah mengutusnya kepada kaum Qabil, kaum yang sangat keterlaluan dalam menyembah berhala dan dengan sengaja memperlihatkan kesyirikannya kepada Allah. Karena itulah Nabi Nuh As. mengajak mereka untuk beriman dan mengEsakan Allah semata serta mengajak mereka untuk berikrar dengan kalimat:

لا اله الا الله وأن نوحا رسول الله

“Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Nuh adalah utusan Allah.”

Ketika sang raja mendengar ucapan itu, menjadi murkalah ia dan berkata: “Seandainya hari ini bukanlah hari raya pasti akan saya bunuh kamu secara mengenaskan.”

5. Istri-Anak Nabi Nuh As. dan Kerasnya Dakwah yang Dihadapinya

Diriwayatkan bahwa, saat itu hanya ada satu orang yang beriman kepada Nabi Nuh As. Dia adalah seorang wanita bernama Amrah. Lalu Nabi Nuh As. menikahinya dan dikarunia 6 orang anak, 3 putra dan 3 putri: Sam Ham, Yafus, Haswah, Sarah dan Bahyurah.

Setelah itu adapula seorang wanita yang beriman , yaitu Wal’ab binti ‘Ajuwel. Ia juga dinikahi oleh Nabi Nuh As. dan dikarunia 2 putra: Balus dan Kan’an. Namun kemudian wanita itu kembali lagi kepada agamanya yang semula setelah ia memeluk Islam.

Kemudian ada lagi beberapa orang yang beriman kepada Nabi Nuh As., sekitar berjumlah 70 orang pria dan wanita.

Setelah itu aktifitas keseharian Nabi Nuh As. adalah terus keluar untuk berdakwah dengan berseru: “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. Dan tiada pula sekutu bagiNya.”

Akhirnya keluarlah kaum Nabi Nuh dari rumah mereka masing-masing. Mereka menyambut seruan dakwah Nabi Nuh dengan lemparan batu dan sandal sehingga membuat Nabi Nuh As. pingsan. Mereka pun mengasingkan Nabi Nuh, menyeret dan melemparkannya ke dalam kotoran.

Setelah Nabi Nuh As. siuman, diusaplah wajahnya yang berlumur darah. Segeralah ia beranjak untuk melakukan shalat 2 rakaat dan berdoa:

اللهم اغفر لقومي فانهم لا يعلمون

“Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka belum mengetahuinya.”

Nabi Nuh melakukan dakwahnya hingga sekitar 300 tahun lamanya.

6. Dakwah Nabi Nuh As. dari Masa ke Masa

Setelah kematian Raja Darmasyil, ia pun digantikan oleh anaknya yang bernama Tubin. Sifatnya lebih kejam dari ayahnya. Namun Nabi Nuh As. tak patah arang untuk terus mengajak sang raja dan kaumnya beriman kepada Allah sebagaimana dulu dilakukan juga pada ayah Raja Tubin. Dakwahnya ini berjalan hingga 400 tahun lamanya. Sampai masuk kurun berikutnya, kurun ke-5, tetap saja kaumnya masih dalam keadaan semula.

Setiap mendengar seruan Nabi Nuh mereka sengaja menutupkan telinganya dengan tangan. Sebagaimana difirmankan Allah Swt. dalam al-Quran, mereka mengumpulkan batu-batu di atas loteng. Disaat Nabi Nuh lewat maka mereka akan melemparinya dengan batu tersebut sampai Nabi Nuh jatuh pingsan. Dan mereka sangka Nabi Nuh telah mati. Saat pingsannya itu, burung-burung pun mengibaskan sayapnya sampai siuman. Keadaan dakwah yang seperti ini terus berlangsung hingga melewati kurun ke-6.

Memasuki kurun yang ke-7, Raja Tubin pun telah mati dan digantikan lagi oleh putranya yang bernama Togrodus. Ia adalah raja yang lebih lalim lagi dari ayahnya. Keadaan dakwah Nabi Nuh pun tak jauh berbeda dengan sebelumnya, selalu saja disambut dengan lemparan batu.

Kemudian Allah Swt. mewahyukan pada Nabi Nuh: “Sekarang tiada lagi satupun dari sulbi laki-laki dan dalam rahim wanita yang mau beriman mengikuti dakwahmu.”

Karena itulah kemudian Allah Swt. berkehendak untuk menenggelamkan mereka. Maka berdakwahlah Nabi Nuh As. pada kaumnya dengan membawa kabar bahwa Allah tidak akan menyisakan sedikitpun dari mereka sebagaimana tercantum dalam QS. Nuh ayat 26-27:

وَقَالَ نُوحٌ رَّبِّ لا تَذَرْ عَلَى الأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا إِنَّكَ إِن تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلا يَلِدُوا إِلاَّ فَاجِرًا كَفَّارًا

“Nabi Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun diantara orang-orang kafir itu tinggal di atas muka bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.”

Maka terbukalah pintu langit atas doa Nabi Nuh As. dan bergemuruhlah para malaikat.

7. Detik-detik Menjelang Banjir Bandang Pada Masa Nabi Nuh As.

Setelah para malaikat bergerak maka Allah Swt. mewahyukan pada Nabi Nuh As. agar membuat perahu. Bertanyalah Nabi Nuh: “Ya Tuhan, apakah perahu itu?”

Allah Swt. berfirman: “Perahu adalah rumah kayu yang bisa berjalan di permukaan bumi.”

Lalu Allah Swt. memerintahkan Nabi Nuh agar menanam pohon jati di tanah Kufah, pendapat lain mengatakan pohon abnus. Dan kemudian Nabi Nuh pun menanamnya dan membiarkannya tumbuh sampai 40 tahun sampai siap untuk ditebang.

Langit dicegah dari hujan dan bumi pun dicegah untuk menumbuhkan pepohonan. Seingga langit pun tidak lagi meneteskan air hujan dan bumi tak menumbuhkan rerumputan. Para wanita, hewan jinak maupun buas, pun tidak lagi beranak. Bahkan burung-burung pun tak bisa bertelur. Itu terjadi sebagai bukti nyata atas kaum Nabi Nuh sebelum adzab menimpa mereka.

Kemudian Allah Swt. memerintahkan Nabi Nuh untuk menuju Kufah dan memindahkan kayu-kayu jati. Bingunglah Nabi Nuh As., bagaimana cara memindahkan kayu-kayu itu. Maka Allah Swt. pun mewahyukan bahwa sesungguhnya ‘Auj bin ‘Anuq lah yang mampu menggendongnya.

8. Sosok Pembawa Kayu-kayu Perahu Nabi Nuh As.

Imam al-Kisai mengatakan bahwa sesungguhnya ‘Anuq, ibunya ‘Auj, adalah keturunan Nabi Adam yang buruk rupa dan bentuk tubuhnya. Dia adalah tukang sihir yang handal. Dia melahirkan ‘Auj dan mati setelah 100 tahun dari kelahiran anaknya itu.

Ketika ‘Auj sudah dewasa ia berubah wujud menjadi raksasa yang tinggi dan lebar badannya mencapai 600 dzira’. Ukuran 1 dzira’ zaman dahulu adalah setara dengan 1,5 dzira’ sekarang.

Sehingga diceritakan bahwa, tatkala badai banjir tofan tiba takkan bisa sampai pada lututnya, disaat duduk di atas gunung ia bisa memasukkan tangannya ke laut dan bisa mengambil ikan dari dalamnya serta bisa memanggang ikan itu di bawah teriknya matahari. Saat ia marah maka seluruh penduduk desa dikencingi olehnya hingga mereka pun tenggelam di dalamnya.

‘Auj juga seringkali membuat keonaran pada penduduk desa. Maka mereka pun menawari padanya: “Kami akan membuatkanmu baju dan kami tidak akan mengambil harganya kecuali setelah 1 tahun.” (‘Auj memiliki hutang pada penduduk desa itu dan berjanji akan melunasinya).

Akhirnya semua penduduk desa pun bahu-membahu membuatkan baju dari kapas dan memakaikannya pada ‘Auj yang kemudian membuat ‘Auj pergi menjauh dari penduduk desa tersebut. Disaat ‘Auj ingin melewati perkampungan itu ia teringat akan janjinya. Maka ia cepat-cepat lari karena takut ditagih hutangnya.

Dikatakan bahwa ‘Auj hidup selama 4500 tahun, sehingga ia bisa menjumpai zaman Nabi Musa As. Tatkala Nabi Musa As. masuk ke tanah Tih beserta rombongan Bani Israel, ‘Auj pun ingin menghancurkan mereka. Ia datang pada tentara Nabi Musa untuk mengetahui ukuran kekuatan mereka. Disaat ia mendapatkan keleluasaan, maka ia mencabut gunung dan menggendong gunung tersebut di atas kepalanya.

Kemudian ia mendatangi Nabi Musa As. untuk memukul mundur tentaranya. Akan tetapi usaha ‘Auj gagal karena Allah mengutus burung hudhud. Burung hudhud itu memiliki paruh dari besi. Lalu burung hudhud itu meluncur menuju batu (gunung) yang dibawa ‘Auj dan memaruhnya sampai berlubang. Akhirnya batu tersebut pun jatuh ke leher ‘Auj dan membelenggunya sehingga ia tak lagi mampu bergerak.

Disaat Nabi Musa As. melihat kejadian itu maka beliau mendekat dan memukul ‘Auj dengan tongkatnya yang tingginya 10 dzira’. Lantas Nabi Musa As. melompat ke udara setinggi 10 dzira’. Sedangkan tinggi Nabi Musa As. sendiri adalah 10 dzira’. Maka pukulannya Nabi Musa As. pun tidak sampai mengenai lutut ‘Auj. Namun sebab pukulan Nabi Musa As. itu ‘Auj pun terjatuh dan mati tergeletak di lapangan seperti gunung besar.

Diceritakan pula bahwa di Gunung Tatri ada sebuah sungai yang bernama Tha-i. Di sana ada jembatan yang besar. Dikatakan bahwa jembatan itu berasal dari tulang iga ‘Auj bin ‘Anuq, dan hal ini termasuk dalam keajaiban dunia.

9. Peristiwa Pengangkatan Kayu-kayu Perahu Nabi Nuh As. dari Kufah ke Baghdad

Al-Kisai melanjutkan penjelasannya: “Disaat Allah Swt. Mewahyukan Nabi Nuh As. bahwa yang akan (mampu) menggendong kayu-kayu jati dari Kufah ke Desa Hairah di Baghdad adalah ‘Auj. Maka Nabi Nuh As. pun mendatangi ‘Auj dan memintanya untuk menggendong kayu-kayu tersebut.

‘Auj kemudian menjawab: “Aku takkan mau menggendongnya untukmu sehingga kamu mengenyangkan perutku dulu dengan roti.”

Saat itu Nabi Nuh As. hanya membawa 3 potong roti yang terbuat dari gandum dan memberikannya pada ‘Auj 1 iris seraya berkata: “Makanlah roti ini.”

‘Auj kemudian tertawa dan berkata: “Seumpama gunung ini jadi roti, itu pun takkan mampu mengenyangkan perutku. Lalu bagaimana mungkin aku bisa kenyang hanya dengan irisan roti ini?”

Kemudian Nabi Nuh As. memotong irisan roti tersebut dan mengucapkan:“Bismillahirrahmanirrahim. Makanlah.”

Maka ‘Auj memakannya, lalu diberinya lagi seiris roti oleh Nabi Nuh As. Akan tetapi ‘Auj menolaknya karena sudah merasa kenyang hanya dengan memakan setengah irisan roti tadi dan tidak merasa mampu untuk memakannya lagi.

Akhirnya ‘Auj menggendong semua kayu itu dari Kufah sampai Hairah di Baghdad dengan sekali muatan.

10. Proses Pembuatan Perahu Nabi Nuh As. dan Penyempurnanya adalah Nama 4 Khalifah Islam

Ketika kayu-kayu itu sudah berada di hadapan Nabi Nuh, lantas Nabi Nuh As. pun kebingungan seraya berkata: “Wahai Tuhan, bagaimanakah cara untuk membuat perahu?”

Kemudian Allah Swt. memerintahkan Malaikat Jibril As. agar mengajari Nabi Nuh As. membuat perahu. Lalu Nabi Nuh menjadikan kayu-kayu tersebut sebuah papan dan menggabungkannya satu sama lain serta memakunya dengan paku besi. Seterusnya Nabi Nuh As. menjadikan bagian depan (kepala) perahu seperti kepala burung merak, ekornya seperti ekor ayam jago, paruhnya seperti paruh burung gagak, sayapnya seperti sayap elang dan wajahnya seperti wajah burung merpati dan kemudian menjadikannya 3 tingkat, pendapat lain mengatakan 7 tingkat.

Ibnu Abbas Ra. berkata: “Perahu Nabi Nuh As. panjangnya 1000 dzira’, lebarnya 600 dzira’ dan tingginya 300 dzira’.”

Konon Nabi Nuh As. membuat perahu itu selama 40 tahun. Sampai semua kaumnya pun menghina dan meremehkan nabi mereka sendiri dengan berkata: “Wahai Nuh, kamu telah meninggalkan kenabian dan menjadi tukang kayu.”

Imam al-Kisai kemudian berkata bahwa pada suatu malam, kaum Nabi Nuh keluar dan berusaha menyalakan api untuk membakar kayu perahu tersebut. Akan tetapi apinya tidak bisa menyala. Lantas mereka berkata: “Ini adalah sihirnya Nuh.”

Disaat pembuatan perahu sudah hampir jadi, maka Nabi Nuh As. melapisinya dengan aspal. Kemudian Allah Swt. mewahyukan kepadanya agar memberi 4 paku di samping kanan dan kiri perahu dan memberinya ukiran di setiap satu pakunya. Lalu Nabi Nuh As. berkata: “Ya Tuhan, apa faidahnya hal itu?”

Allah berfirman: “Ini adalah nama-nama sahabat Nabi Muhammad Saw. Mereka adalah hamba Allah yang bernama Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Ra. Perahu ini takkan bisa sempurna sehingga engkau melakukan hal tersebut.”

Maka Nabi Nuh As. pun melakukan apa yang diperintahkan Allah Swt. dan jadilah perahu tersebut dengan sempurna.

11. Persiapan Pemberangkatan Perahu Nabi Nuh As.

Setelah perahu Nabi Nuh As. jadi sempurna, dengan izin Allah Swt. ia mampu berbicara dengan keras: “Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah,Tuhan Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir. Aku adalah perahu, barangsiapa yang menaikiku maka ia akan selamat dan siapa yang enggan padaku maka akan hancur.”

Lalu Nabi Nuh As. berseru kepada kaumnya: “Sudah percayakah kalian sekarang?”

Mereka menjawab dengan angkuh: “Ini adalah sihirmu wahai Nuh!”

Kemudian Allah Swt. mewahyukan kepada Nabi Nuh: “MurkaKu sudah memuncak bagi orang yang mendurhakaiKu.”

Lalu Allah Swt. memerintahkan Nabi Nuh membawa bekal makanan pokok yang cukup untuk 6 bulan dan membuatkan wadah sebagai tempat air tawar. Kemudian Allah Swt. menurunkan bola mata dari surga yang mempunyai cahaya seperti cahaya matahari untuk Nabi Nuh As. Dengan itu Nabi Nuh As. bisa mengetahui pergantian siang dan malam serta lewatnya waktu-waktu.

Nabi Nuh As. kemudian meminta izin kepada Allah Swt. untuk melakukah ibadah haji terlebih dahulu dan Allah Swt. pun mengizinkannya. Maka berangkatlah Nabi Nuh untuk menunaikannya.

Tatkala Nabi Nuh As. menuju Makkah, kaumnya ingin menghancurkan perahu tersebut. Lalu Allah Swt. memerintahkan para malaikat agar mengangkat perahu itu di antara langit dan bumi. Para malaikat pun mengangkatnya dan kaum Nabi Nuh melihat kejadian itu.

Sesampainya Nabi Nuh As. di Makkah beliau langsung thawaf di Baitullah sebanyak 7 kali putaran serta berdoa untuk kaumnya dan Allah Swt. mengkabulkan doanya tadi.

Sewaktu Nabi Nuh As. pulang dari Makkah maka Allah Swt. menurunkan perahu tersebut di atas permukaan bumi (tempat semula). Kemudian Allah mewahyukan kepadanya agar naik ke atas gunung dan berteriak dengan sekeras-kerasnya: “Wahai para hewan liar, burung-burung, para hama-kutu dan semua yang bernyawa, kemarilah dan naiklah kalian semua dalam perahu karena adzab sudah dekat.”

Teriakan Nabi Nuh As. tadi terdengar sampai arah barat dan timur. Sehingga para hewan liar, burung-burung, hewan ternak dan kutu, semuanya berdatangan menghadap Nabi Nuh dengan berduyun-duyun. Kemudian Nabi Nuh As. berkata: “Sungguh aku telah diperintah agar membawa kalian bersamaku secara sepasang-sepasang.”

Lalu Allah Swt. memberi perintah kepada Nabi Nuh untuk membawa semua kayu serta membawa jasad NabiAdam As. dan Siti Hawa. Ditaruhlah jasad keduanya di dalam peti. Nabi Nuh juga membawa hajar aswad dan tongkat Nabi Adam yang dibawa turun dari surga dan menaruhnya dalam peti bersama Tabut, Shuhuf (lampiran-lampiran kitab suci) dan as-Simthu.

Adapun pengikut Nabi Nuh yang bersedia masuk dalam perahu berjumlah 40 orang laki-laki dan 40 orang perempuan dan mereka ditempatkan pada lantai pertama. Sedangkan di lantai kedua penghuninya adalah para hewan liar dan hewan-hewan ternak.

Diceritakan bahwa hewan yang paling akhir memasuki perahu adalah keledai, dikarenakan ekornya diikat oleh Iblis sehingga menjadikannya sulit untuk masuk. Nabi Nuh menyangka bahwa keledai enggan untuk ikut masuk perahu seraya berkata padanya: “Masuklah wahai terkutuk (yang dilaknat)!”

Kemudian keledai itu pun masuk bersama Iblis. Disaat Nabi Nuh As. melihatnya, beliau pun berkata: “Siapa yang mengizinkanmu masuk ke sini?”

Lalu Iblis menjawab: “Kamu sendiri yang mengijinkanku masuk. Bukankah engkau berkata  “Masuklah wahai terkutuk?” Dan tiada satupun yang terkutuk di dunia ini selain aku.”

12. Undang-undang Bagi Para Penumpang Perahu Nabi Nuh As.

Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Nuh As. berada di dalam perahu itu beliau membuat undang-undang melarang semua penumpang untuk berhubungan intim karena dikhawatirkan akan berkembang biak dan tempatnya akan menjadi sempit. Maka semua penumpang mematuhi undang-undang tersebut terkecuali anjing. Anjing justru melakukan hubungan intim dengan betinanya. Kucing yang melihatnya pun melaporkan hal itu kepada Nabi Nuh As.

Akan tetapi anjing mengingkari perbuatannya itu dan bahkan mengulangi perbuatan terlarangnya itu sampai 2 atau 3 kali. Kemudian kucing pun melaporkannya kembali kepada Nabi Nuh As. Lantas Nabi Nuh As. memanggil kedua anjing itu dengan aib.

Mulai saat itulah terjadi permusuhan antara  kucing dan anjing. Aib itu kemudian menimpa pada mereka setiap hendak melakukan hubungan intim. Kucing berujar: “Setiap aku berhubungan intim, aku berkeinginan agar tidak melihat anjing dan anjing pun tidak melihatku.”

Diceritakan bahwa ketika kotoran-kotoran hewan sudah banyak berceceran di dalam perahu, maka para penumpang mengadu kepada Nabi Nuh As. Lalu Allah Swt. mewahyukan kepada Nabi Nuh As.: “Peraslah ekor gajah.”

Ketika Nabi Nuh As. memeras ekor gajah tersebut keluarlah babi jantan dan betina. Kemudian babi-babi itu memakan semua kotoran-kotoran yang tercecer.

Setelah itu Allah Swt. menciptakan tikus jantan dan betina dari bersinnya babi. Tikus-tikus itu beranak-pinak dan terus menggerogoti kiri-kanannya perahu. Melihat kejadian itu, para penumpang pun mengadu kembali. Akhirnya para kucing liar (musang) memangsa dan memakan tikus-tikus itu dengan cepat sampai musna. Sejak itulah awal mula terjadinya permusuhan antara tikus dan kucing liar.

13. Ramalan Akan Datangnya Banjir Bandang Nabi Nuh As.

Diceritakan dari Ibnu Washif Syah bahwa tidak ada raja Mesir yang lebih kaya dari Raja Suraid. Sesuatu yang menimpanya, yaitu 300 tahun sebelum terjadi bencana tofan, dia bermimpi seolah-olah langit pindah ke bumi sehingga seperti lubang penggalian dan bintang-bintang berjatuhan. Sedangkan matahari dan rembulan dekat sekali dengan bumi. Ia juga melihat burung-burung putih menyambar manusia dan bertemu di antara dua gunung dan seolah-olah dunia menjadi hitam kelam dan gelap gulita. Semua manusia berkumpul di suatu gunung untuk menyelamatkan diri. Setelah bermimpi tersebut, dia terbangun dan merasa sangat ketakutan.

Esok harinya Raja Suraid mengundang para dukun yang berjumlah 100 dukun laki-laki. Para dukun itu tidak mampu memutuskan suatu masalah terkecuali dengan melihat perbintangan terlebih dahulu.

Akhirnya Raja Suraid pun menceritakan mimpinya itu dan para dukun berkata:“Mimpimu adalah golongan langit. Yang mana dengan mimpi ini semua alam dan penduduk bumi bisa hancur lebur.”

Lalu Raja berkata: “Ambillah kesimpulan dari bintang di atas sana.”

Tatkala para dukun melihat ke atas lalu mereka berkata: “Saya melihat bulan pada zodiak cancer dan itu telah mendekati ikan, maka kehancuran yang timbul adalah perkara tofan dan musibah ini adalah golongan air langit.”

Akhirnya Raja bertanya: “Apakah musibah ini juga menimpa negara ini?”

Mereka pun menjawab: “Iya , musibah itu akan menimpa negara kita dan negara akan hancur dalam masa yang panjang.”

Raja bertanya lagi: “Lihatlah , apakah negara kita akan kembali ramai seperti semula?”

“Negara ini akan kembali lebih bagus dari yang ada saat ini,” jawab para dukun.

Maka Raja Suraid memerintahkan untuk membangun kota dengan pondasi setinggi kotanya lalu berkata: “Kita menjadikan tempat ini sebagai kuburan kita. Lalu pindahkan banyak barang-barang, baik harta benda, perhiasan, alat-alat perang, patung-patung indah dan wadah-wadah yang bagus yang terdiri dari barang tambang. Lalu tulis rajah-rajah serta ilmu-ilmu perbintangan yang isinya menceritakan suatu kejadian masa depan sampai tuntas. Serta ceritakan raja-raja yang menguasai negara, Islam maupun kafir.”

Para dukun itu juga memberi kabar bahwa bencana tofan ini tidak lama menimpa bumi, hanya selama 40 hari. Lalu dibangunlah kota itu dengan pengaturan udaranya dan memindahkan apa-apa yang sudah direncakan. Raja Suraid berkata: “Jika kita selamat dari bencara tofan ini, maka kita akan kembali dan menemukan harta-harta yang kita miliki. Namun jika kita binasa maka bangunan ini adalah sebagai kuburan jasad kita yang dapat menjaga dari kehancuran.”

Semua orang, baik para menteri, hakim dan seluruh pejabat negara juga membuat sebuah bangunan untuk melindungi jasad mereka dari bencana tofan.

Al-Mas’udi dalam kitab Muruj adz-Dzahab mengatakan: “Sesungguhnya di setiap 1 bangunan ada 7 rumah, sebagaimana 7 bintang yang berjalan. Dan di dalam rumah tersebut ada patung-patung yang terbuat dari emas yang disepuh dengan perhiasan indah. Di telinga-telinga patung itu ada mutiara sebesar telur ayam. Dan di setiap bangunan juga terdapat peti yang terbuat dari marmer hijau yang digunakan untuk menyimpan mayat pemiliknya masing-masing lengkap disertai lampiran nama, biografi dan masa jabatannya. Di dalamnya juga ditulis “Dalam bangunan ini ada jalan tembus menuju Kota Fayyum dengan menempuh perjalanan 2 hari”.

14. Misteri Bangunan Kuno dalam Sumur

Syaikh Syihab al-Hijazi pernah menceritakan: “Kami, sebanyak 11 rombongan, keluar dari Masjid Jami’ al-Azhar dengan membawa keledai dan tali-tali panjang yang diletakkan di atasnya. Sesampai kami di sebuah kota besar, tempat tujuan, kami berdiri di atas sumur. Di situ ada seseorang pemberani dengan segera membuka bajunya.

Lalu kami ikat perutnya dengan tali yang kami bawa tadi. Ia pun masuk ke dalam sumur dengan tali yang terikat. Setelah turun ke bawah, ternyata tali sudah habis sedangkan dasar sumur belum terjangkau. Sehingga sorban-sorban yang kami pakai digunakan pula untuk menyambung tali-tali tadi.

Namun, di tengah-tengah sumur sambungan sorban dan tali itu tiba-tiba terputus sehingga terjatuhlah sang pemberani ke dasar sumur. Kami tak lagi mendapati kabar mengenai orang yang di dalam sumur itu. Sampai akhirnya kami  beserta rombongan memutuskan untuk pulang dan meninggalkannya dengan penuh ketakutan dan penyesalan. Lalu kami memasuki kota dengan menyamar sehingga tidak ada yang mengenal tentang kami.

Di hari kemudian, seminggu setelah kehilangannya, kami pergi menuju masjid jami’. Kami tersentak kaget, karena tiba-tiba kami bertemu dengan orang yang terjebak dalam sumur itu. Orang itu masuk menemui kami dengan kondisi yang sangat lemah. Sesampainya di depan pintu masjid, ia mendekati kami dan langsung terjatuh pingsan.

Disaat ia tersadar dari pingsannya, kami memintanya untuk menceritakan kejadian yang telah menimpanya beberapa hari lalu dalam sumur. Laki-laki itu pun memulai ceritanya: “Setelah aku benar-benar terjatuh ke dasar sumur, aku melihat ada sesosok makhluk halus yang menaikiku. Ia memberiku barang lunak.

Kemudian kubakar barang itu dengan kayu bakar, pada lilin. Kemudian aku berjalan dengan lilin itu. Kutemukan di dalamnya sesuatu yang banyak, kotoran kelelawar dan lainnya. Aku juga melihat jasad-jasad yang memiliki postur tubuh sangat besar dan tinggi. Semua jasad itu berdiri tegak menggunakan tongkat. Kudekati salah satu jasad itu, kusentuh dan kugerak-gerakkan. Seketika hancurlah jasad itu. Lalu kuambil tongkat itu dari tangannya dan kubawa untuk berjalan.

Tiba-tiba aku tersentak kaget. Kulihat ada pintu dan juga sebuah teras. Aku terus berjalan menuju teras depan itu, rasa takut dan gemetar semakin menggelayutiku. Di teras itu kutemukan banyak tulang-belulang yang telah hancur serta tengkorak-tengkorak kepala yang besarnya sebesar semangka.

Lantas kuteruskan berjalan penuh ketakutan, tiba-tiba kulihat sosok makhluk berjalan di depanku. Tubuhku semakin gemetar tak karuan. Aku bergumam dalam hati: “Makhluk apakah itu?” Kutoleh perlahan, ternyata seekor “Lenggarangan.”

Akhirnya aku berjalan mengikuti langkah hewan itu hingga keluar dari lubang. Dan kulihat ada seberkas sinar dunia. Rasa menggebu-gebu ingin segera keluar dari gelapnya ruangan semakin tak terbendung lagi. Tapi apalah dayaku tak mampu melakukannya.

Kemudian kugali lubang itu dengan tongkat yang ada di tanganku. Menjadi longgarlah lubang itu sedikit demi sedikit dan akhirnya aku bisa keluar dari tempat yang mengerikan itu.

Tatkala kusadari bahwa aku telah berada di permukaan bumi, maka terjatuhlah aku sehingga membuatku tak sadarkan diri. Aku tak tahu , ada di belahan bumi manakah aku. Tiba-tiba aku melihat sosok manusia di hadapanku dan ia berkata: “Berdirilah wahai pemuda, karena rombonganmu telah pergi dan meninggalkanmu.”

Kutanyakan: “Di manakah aku?”

Dijawab: “Kamu sekarang berada di padang pasir kota Fayyum.”

Akhirnya aku berdiri dan ikut dengan rombongan laki-laki tadi. Ternyata ketika aku keluar dari lubang tadi, aku menemukan emas yang sangat bagus yang menempel di tongkat yang kubawa. Dan setelah aku siuman, ternyata tongkat itu telah raib dari genggamanku. Begitupun dengan lubang yang aku lihat tadi, tiba-tiba turut lenyap dan raib dari hadapanku. Aku menjadi bingung, tiba-tiba aku mendengar ada suara berseru: “Janganlah kau berharap tongkat itu bisa kembali lagi padamu.”

Lalu kuikutilah rombongan tersebut sehingga aku bisa masuk kembali ke kota ini.”

Abu Raihan al-Beiruti dalam kitabnya al-Atsar al-Baqiyah min Qurun al-Khaliyahmengatakan: “Sesungguhnya bangunan besar sebelah timur itu di dalamnya terdapat sebuah berhala yang terbuat dari marjan putih dan hitam, mempunyai dua mata yang terbuka dan bersinar mencorong. Berhala itu duduk di atas kursi yang terbuat dari emas dan tangannya membawa tongkat. Ketika ada salah satu orang yang mendekat maka berhala itu akan mengeluarkan suara yang sangat keras. Sehingga keluarlah orang yang mendekat tadi dan menjauh dari tempat itu. Tapi meskipun telah menjauh, suara berhala itu akan terus mengejar dan mengikuti orang itu sampai orang itu mati.

Sedangkan bangunan yang berada di sebelah barat itu juga terdapat sebuah berhala yang terbuat dari batu shawwan. Berhala itu juga duduk di atas kursi yang terbuat dari emas. Di kepalanya ada semacam ular yang melingkari lehernya. Ketika ada salah seorang yang mendekat maka ular itu akan melompat dan melilit pada leher orang tersebut sampai orangnya mati. Dan kemudian ular itu akan kembali pada tempatnya semula.

Kemudian pada bangunan kecil yang dihias dengan batu shawwan, di sana juga terdapat berhala yang terbuat dari bukhti. Siapapun yang melihat berhala itu maka berhala itu akan menyedot orang tersebut sehingga tidak bisa terlepas dan matilah orang itu di sana.”

15. Bangunan Kuno Raja Suraid

Imam al-Mas’udi kembali menceritakan: “Ketika Raja Suraid telah selesai membangun kota tersebut maka ia menguasakannya kepada segolongan arwah-arwah. Kemudian disembelihlah hewan-hewan kurban untuknya dengan tujuan menolak siapapun yang ingin merusak atau berbuat jahat dengan bangunan itu.

Setelah itu kota bagian timur dipasrahkan Raja Suraid kepada anak kecil tampan, putih kulitnya, telanjang dan bergigi besar dan tajam.

Sedangkan kota bagian barat dipasrahkan kepada seorang wanita yang telanjang yang memperlihatkan kemaluannya. Wanita itu tertawa terbahak-bahak di hadapan manusia sehingga manusia tergoda untuk mendekati wanita tersebut. Setelah didekati maka wanita tersebut menjatuhkan tubuhnya sehingga manusia tersebut kehilangan akalnya/gila.

Adapun kota kecil yang berwarna-warni dijaga seseorang yang tangannya selalu memegang dupa dan memakai pakaian pendeta serta selalu membakar dupa di kiri-kanan bangunan itu. Dan segerombolan orang dari tanah Jibrah menjelaskan: “Sesungguhnya penduduk Jibrah seringkali melihat penjaga tersebut yang selalu berjalan mengelilingi kota itu disaat terik matahari dan diwaktu terbenamnya matahari. Ketika mereka mendekatinya maka penjaga itu menghilang dan ketika mereka menjauh maka ia menampakkan dirinya lagi dari kejauhan.”

Muhammad bin Abdul Karim menjelaskan bahwa di salah satu bangunan timur dan barat itu terdapat kuburan Akhi Daimun dan Hurmus. Keduanya adalah perwira dari Bangsa Yunani. Kuburannya Akhi Daimun dibangun lebih dahulu daripada kuburannya Hurmus. Para penduduk Shab-iah dari berbagai pelosoknya ramai-ramai berziarah ke sana dengan membawa harta yang banyak untuk menunaikan nadzar mereka. Di belakang bangunan itu jika dilihat dari wilayah barat maka akan ditemukan 400 kota yang ramai tanpa desa.”

Kembali Imam Abul Hasan al-Mas’udi menjelaskan dalam kitabnya Muruj adz-Dzahab: “Setelah selesai membangun bangunan itu maka Raja Suraid menghiasinya dengan sutra berwarna-warni dari atas sampai bawah. Dan ia menjadikan tempat ini sebagai hari raya yang dihadiri oleh para pembesar dari kotanya. Di samping bangunan itu tertulis: “Ini adalah bangunan Suraid bin Syahluq.”

Ia membangunnya selama 60 tahun. Siapapun yang ingin menghancurkan bangunan itu, maka dibutuhkan waktu 600 tahun. Padahal umumnya merusak itu lebih mudah daripada membangun. Dan cerita ini adalah yang benar.”

Dikatakan bahwa tatkala Khalifah al-Ma’mun membuka pintu pada bangunan yang besar itu maka ditemukan sebongkah batu marjan berbentuk papan yang di dalamnya terdapat tulisan dari goresan pena kuno “Ini adalah bangunan Suraid…”

16.  Ketika Banjir Bandang Datang Menyapa

Kemudian Allah Swt. mewahyukan: “Hai Nuh, jika tempat pembakaran dari rumah anakmu yang bernama Sam itu memancarkan air maka naiklah ke atas perahu.”

Sam adalah anak tertuanya Nabi Nuh As. Saat itu Sam berusia 300 tahun dan menikahi wanita bernama Rahmah. Akhirnya Nabi Nuh As. datang ke rumah Sam: “Wahai Rahmah, sungguh awal terjadi datangnya banjir tofan itu dari tempat pembakaran ini, tempat yang kau gunakan untuk memasak roti. Jika kamu melihat pembakaran ini memancarkan air maka segeralah kamu lari dan memberitahuku.”

Dikatakan bahwa sesungguhnya tempat pembakaran itu adalah dari hajar aswad. Tepat di hari Jum’at tanggal 10 Rajab, Siti Rahmah sedang memasak roti di tempat itu. Disaat memasak roti yang terakhir tiba-tiba terpancarlah air. Sebagaimana firman Allah Swt. QS. Hud ayat 40:

حَتَّى إِذَا جَآءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِن كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلاَّ مَن سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ ءَامَنَ وَمَآ ءَامَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيلٌ

“Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman. Dan tidaklah beriman bersama dengan Nuh kecuali sedikit.”

Disaat Siti Rahmah melihat kejadian itu, ia pun langsung menjerit: “Allahu Akbar! Telah datang adzab dari Allah dan dan sungguh benar apa yang disampaikan Nabi Allah Nuh.”

Kemudian Siti Rahmah bergegas lari dan memberitahukan Nabi Nuh As. tentang pancaran air di tempat pembakaran (dapur) itu. Lalu Nabi Nuh As. hanya berucap: “La Haula Wala Quwwata Illa Billahil ‘Aliyyil ‘Adzim.”

Sebelumnya Nabi Nuh As. telah mempersiapkan bekal yang dibutuhkan saat nanti dalam perahu, sampai pakan ternak dan burung pun telah dipersiapkan. Maka tatkala Siti Rahmah mengabarkan kepadanya atas kejadian pancaran air itu, bergegaslah Nabi Nuh As. mendatangi rumah Sam dan dilihatnya air sudah memenuhi ruangan depan rumah dan telah melewati pintu bagai sungai yang besar. Akhirnya dengan segera Nabi Nuh As. menuju perahu dan berseru: “Wahai kaumku, selamatkan diri kalian, selamatkan diri kalian! Ayo cepat naik ke atas perahu.”

Selama dakwahnya, Nabi Nuh As. hanya berhasil memiliki pengikut 40 laki-laki dan 40 perempuan (merekalah yang turut serta dalam perahu). Kemudian Nabi Nuh As. berkata kepada putranya yang lain yang bernama Kan’an:

يَا بُنَيَّ ارْكَب مَّعَنَا وَلاَ تَكُن مَّعَ الْكَافِرِينَ قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاء قَالَ لاَ عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِلاَّ مَن رَّحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ

“Hai anakku, naiklah (ke perahu) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang bisa melindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hud ayat 42-43).

Sungguh Allah telah memberitahukan bahwa Kan’an bukan termasuk orang yang shaleh. Wahb bin Munabbih mengatakan bahwa Kan’an bin Nuh tenggelam sebelum ia sampai ke gunung.

Ibnu Abbas Ra. berkata: “Saat pembakaran itu memancarkan air maka pintu-pintu langit terbuka dengan guyuran hujan tanpa mendung, dunia menjadi gelap gulita, Malaikat Ghadha mengepakkan sayapnya di permukaan matahari, dan langit pun berkata: “Andaisaja Allah tidak memberikan batas niscaya akan tembus hingga lapis bumi ke tujuh.” Saat kejadian itu jika ada seorang lelaki yang berjalan maka bekas injakannya akan memancarkan air. Wanita yang sedang berdiri di rumahnya pun akan melihat pancaran air bergelombang di bawah kakinya. Dan meratalah air memancar di seluruh permukaan bumi.”

Disaat air memancar di Kota Amsus, tempat kerajaan Suraid, terdengarlah jeritan alam. Maka sang raja beserta para pembesarnya naik ke atas gunung yang tinggi untuk melihat keadaan manusia. Ia pun bertanya-tanya dari manakah sumber air ini datang namun tak ditemukan jawabannya, terkecuali air memancar deras dari bekas telapak kudanya. Lalu ia kembali ke pemukimannya, lagi-lagi yang ia jumpai hanya air berombak yang besar seperti gunung. Dan tiada lagi sesuatu yang tersisa di atas permukaan bumi.

Wahb bin Munabbih mengatakan bahwa tempat awal terjadinya bencana banjir tofan adalah dari Kota Kufah, sebab di situlah keberadaan tempat pembakaran (dapurnya Siti Rahmah) yang memancarkan air.

Adapun Nabi Nuh As. beserta kaumnya telah menaiki perahu. Sedangkan tatkala ‘Auj bin ‘Anuq (manusia raksasa yang membawa kayu-kayu jati perahu Nabi Nuh As.) melihat bencana ini maka segeralah ia menuju perahu dan meletakkan tangannya di perahu. Lalu Nabi Nuh As. berkata kepadanya: “Apa yang kau inginkan wahai musuh Allah?”

‘Auj menjawab: “Saya takkan menyakitimu wahai Nabi Allah. Izinkanlah kuberjalan bersama perahu ini ke mana pun berlayar. Maka tanganku turut berpegangan di perahu ini dan saya merasa nyaman dari kepanikan. Aku pun mendengar tasbihnya para malaikat.”

Kemudian Allah Swt. mewahyukan pada Nabi Nuh As.: “Janganlah engkau takut pada ‘Auj. Biarlah ia ikut berjalan bersama perahu ke mana akan berlayar.”

Kemudian Nabi Nuh As. mengunci pintu-pintu perahu dan berkata:

وَقَالَ ارْكَبُواْ فِيهَا بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut Nama Allah diwaktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Hud ayat 41).

Maka perahu itu pun berlayar bersama mereka melewati ombak-ombak yang besar bagai gunung. Allah Swt. berfirman:

إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ

“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung), Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera.” (QS. al-Haqqah ayat 11).

17. Banjir Bandang Nabi Nuh As. Meratai ke Seluruh Penjuru Bumi

Diceritakan bahwa sesungguhnya Allah Swt. tatkala mengutus tofan maka Allah Swt. mengangkat Baitul Makmur, yang dibuat dari mutiara merah, yang telah diturunkanNya ke bumi pada zaman Nabi Adam As. Ketika air telah naik maka Allah Swt. mengangkatnya ke langit. Baitul Makmur disebut juga dengan “al-‘Atiq” karena sangat antic, bisa selamat dari adzab tofan.

Tatkala perahu berlayar sampai ke Kakbah, ia pun memutarinya sampai 7 kali. Sehingga sampailah perahu itu di Baitul Maqdis untuk mengunjunginya. Tidaklah perahu itu berjalan ke suatu tempat terkecuali ia akan menjelaskan kepada Nabi Nuh As.: “Wahai Nuh, ini adalah tempat ini… dan ini adalah tempat ini…”

Maka berkelilinglah perahu itu bersama Nabi Nuh As. dari ujung timur sampai ujung barat. Di sekeliling perahu itu dipenuhi dengan para malaikat berjumlah seribu guna ikut menjaganya dari adzab yang akan diturunkan.

Perahu itu berlayar di atas permukaan air bagaikan berjalannya purnama di cakrawala. Setiap detiknya air selalu naik di atas puncak gunung setinggi 40 dzira’. Air meratai bumi dan gunung-gunung. Tiada satu pun makhluk bernyawa di bumi ini yang tersisa kecuali para penghuni perahu itu dan ‘Auj bin ‘Anuq si manusia raksasa.

Dan tidak ada pula kota dan desa terkecuali semuanya hancur. Tidak ada pula bekas-bekas bangunan yang tersisa kecuali bangunannya Raja Suraid dan al-Barabi, karena keduanya merupakan bangunan yang sangat kokoh.

18. Gambaran Dahsyatnya Kepayahan Manusia Saat Menghadapi Banjir Bandang

Terdapat cerita langka dari ats-Tsa’labi bahwa tatkala terjadinya banjir tofan ada seorang wanita yang sedang menggendong anak kecil. Dan semasa itu tidak ada anak kecil kecuali anak kecil itu. Ketika air telah naik, ia menggendong anak itu di pundaknya. Kemudian ia berenang, berlari dan naik ke atas gunung demi menyelamatkan anaknya dari banjir tofan.

Ketika air semakin naik, ia menaruh anaknya di pundaknya. Dan ketika air sudah sampai di mulut, maka ia pun mengangkat tinggi-tinggi anaknya di atas kepalanya. Dan ketika air telah menenggelamkannya, maka ditaruhlah anaknya itu di bawah kakinya. Ia berpijak pada anaknya itu agar ia bisa bernafas dan selamat dari banjir. Setelah itu tenggelamlah keduanya.

Kemudian Allah Swt. mewahyukan kepada Nabi Nuh As.: “Anda Kukasihi salah satu kaummu (yang durhaka) niscaya akan Kuselamatkan wanita itu beserta anaknya.”

Dan kejadian ini hanyalah sebagai contoh (gambaran betapa dahsyatnya keadaan saat itu). Dikatakan bahwa kebanyakan manusia saat itu menaruh anaknya di bawah telapak kaki mereka agar bisa dijadikan sebagai pijakan.

19. Lamanya Banjir Bandang Pada Masa Nabi Nuh As.

Imam al-Kisai berkata: “Mengenai berapa lama masa banjir (di zaman Nabi Nuh As.) di bumi ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan bahwa banjir itu menggenang di atas bumi selama 6 bulan. Sebagian lagi berpendapat 150 hari (5 bulan).”

20. Pendaratan Perahu Nabi Nuh As.

Setelah itu Allah Swt. memerintahkan kepada bumi dan langit, sebagaimana firmanNya dalam QS. Hud ayat 44:

وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءكِ وَيَا سَمَاء أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاء وَقُضِيَ الأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْداً لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah.” Dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi. Dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang dzalim.”

Bukit Judi adalah bukit yang letaknya berdekatan dengan tanah Mushal. Perahu itu berlabuh di bukit itu. Imam ats-Tsa’labi berkata: “Perahu itu berlabuh pada hari Asyura, yaitu tanggal 10 Muharram.

Kemudian berpuasalah Nabi Nuh As. di hari itu sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt. Dan Nabi Nuh As. juga memerintahkan semua penumpang untuk ikut berpuasa sebagai tanda syukur atas kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan Allah Swt. kepada mereka. Diceritakan bahwa hewan-hewan, burung-burung, binatang ternak, hewan liar, semuanya juga turut melakukan puasa

Kemudian Nabi Nuh As. mengeluarkan semua bekal yang dibawanya. Lalu beliau mengelompokkannya menjadi 7 golongan; pala, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, gandum, jagung dan padi. Semuanya dicampur dan dimasak jadi satu. Maka jadilah campuran Palawija (Bubur Sura), menjadi kesukaaan Nabi Nuh As.

21. Celak “Itsmid” Saat Nabi Nuh As. Keluar dari Perahu

Kemudian Nabi Nuh As. membukakan pintu-pintu perahu. Dilihatnya sinar matahari dan awan, serta tampaklah busur-busur yang berwarna-warni (pelangi). Pelangi itu tidak pernah nampak sebelumnya kecuali pada hari itu, yaitu tanggal 10 Muharram (Hari Asyura). Dan pelangi itu sebagai tanda bahwa air semakin surut.

Ketika Nabi Nuh As. melihat matahari dan pelangi, dengan segera ia bertakbir: “Allahu Akbar!”

Kemudian semua penumpang yang ada di dalam perahu itu ikut mengumandangkan takbir. Ketika itu para penumpang tidak bisa melihat matahari dengan mata telanjang, diadukanlah hal itu kepada Nabi Nuh tentang apa yang telah menimpa mereka. Mereka berkata: “Mata-mata kami tidak bisa menghadapi sinar matahari.”

Akhirnya Nabi Nuh As. memerintahkan mereka untuk bercelak dengan batu “ itsmid” agar mereka mampu dan kuat melihat sinar matahari. Rasulullah Saw. pernah bersabda:“Barangsiapa yang bercelak pada hari Asyura maka orang itu tidak akan buta pada tahun itu.”

Setelah Nabi Nuh As. membuka semua pintu perahu maka terpancarlah sinar matahari ke dalam perahu. Sehingga burung-burung pun bisa mengepakkan sayapnya. Dan semua hewan serta pepohonan bisa menggerak-gerakkan tubuhnya. Sedangkan ‘Auj bin ‘Anuq tatakala mengetahui bahwa perahu itu telah berlabuh, dengan segera ia pergi meninggalkan perahu itu dan berenang ke dalam air sesuka hatinya.

22. Kehidupan Baru Usai Banjir Bandang

Imam al-Kisai berkata: “Setelah banjir melanda selama 150 hari dan menjadi surut, gunung yang terlihat pertamakali adalah Gunung Abi Qubais di Kakbah. Sehingga terlihatlah tempat Kakbah yang memiliki tanah berwarna merah. Dan tak ada satupun desa yang terselamatkan terkecuai Desa Naharwandi. Desa ini ditemukan di bawah air, keadaannya masih utuh seperti semula tidak ada yang hancur sama sekali. Begitu juga Desa al-Barabi di Sha-id. Konon desa ini yang membangun adalah Hurmus I. Di dalam bangunan itu Hurmus telah menyimpan berbagai ilmu, seperti ilmu perbintangan dan ilmu-ilmu kesaktian. Bangunan ini ditemukan dalam keadaan utuh .”

Kemudian Nabi Nuh As. ingin memastikan apakah air sudah surut atau belum di permukaan bumi, maka diutuslah seekor burung elang. Elang pun pergi mencari kabar apa yang dititahkan Nabi Nuh kepadanya.

Di tengah perjalanannya itu elang melihat bangkai. Setelah itu ia malah memakan bangkai tersebut sehingga terlupalah akan tugas yang sedang diembannya. Nabi Nuh As. menunggunya hingga 7 hari. Lalu Nabi Nuh As. pun memanggil elang itu. Namun didapatinya elang berjalan dengan pongah-ceronboh dan tak bisa diam menetap pada satu tempat. Akhirnya Nabi Nuh As. berkata kepada burung-burung yang lain: “Siapakah diantara kalian yang bisa memberikan kabar kepadaku tentang keadaan air di muka bumi dan tidak melakukan seperti apa yang dilakukan elang?”

Burung merpati akhirnya yang angkat bicara: “Wahai Nabi Allah, saya lah yang akan membawakan kabar itu untukmu.”

Setelah itu terbanglah merpati itu dan ia kembali dengan membawa daun hijau di paruhnya. Ketika melihat daun itu Nabi Nuh As. berkata: “Sesungguhnya daun ini adalah sebagian dari daun-daunnya pohon zaitun.”

Dengan melihat daun itu tahulah Nabi Nuh As. bahwa banjir belum surut sempurna. Setelah itu Nabi Nuh As, menunggu beberapa hari lagi. Kemudian beliau menyuruh burung merpati itu lagi. Dengan segera ia langsung terbang dan setelah kembali kakinya penuh dengan lumpur yang berwarna merah. Karena tanah yang pertama terlihat di bumi adalah Kakbah, yang tanahnya memang merah, burung merpati itu tadi hinggap di sana dan mengoles-oleskan tanah merah itu pada kedua kakinya.

Maka Nabi Nuh As. mendoakan burung merpati itu: “Ya Allah, jadikanlah penuh keberkahan burung merpati-merpati ini untuk para burung lainnya dan perbanyaklah keturunan-keturunannya serta disukai oleh banyak orang.”

Perahu itu berada di atas Gunung Judi selama 40 hari sampai bumi menjadi kering dan tumbuhlah rumput-rumput di sekitar perahu itu. Lalu Allah mewahyukan pada Nabi Nuh:

يانُوحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِّنَّا وَبَركَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَمٍ مِّمَّن مَّعَكَ

“Wahai Nuh , turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu.” (QS. Hud ayat 48).

Kemudian Allah Swt. memerintahkan Nabi Nuh As. untuk melepas dan membebaskan semua yang ada di dalam perahu itu seperti sediakala. Lalu Allah Swt. memperlihatkan siang, malam, menerbitkan matahari, bulan dan bintang seperti semula. Dan kemudian diturunkanlah hujan rahmat, menggantikan air banjir tofan yang kotor menjadi air yang segar. Bergembiralah hati Nabi Nuh As. dengan kebahagiaan yang mengharapkan ridha Allah Swt.

23. Perubahan Keadaan Bumi Pasca Banjir Bandang

Sewaktu Nabi Nuh As. keluar dari perahu, dilihatnya bumi ini menjadi serba putih. Nabi Nuh merasa heran, maka datanglah Malaikat Jibril As. dan bertanya: “Wahai Nuh, apakah engkau tahu apa sebenarnya putih-putih yang kamu lihat ini?”

Nabi Nuh As. malah balik bertanya: “Apakah ini?”

Malaikat Jibril As. menjawab: “Sesungguhnya warna putih-putih itu adalah tulang-belulang dari kaummu.”

Setelah mengetahui hal itu lalu Nabi Nuh As. mendengar suara-suara yang bergemerincingan. Malaikat Jibril As. pun bertanya lagi: “Apakah kamu tahu suara apakah itu?”

“Suara apakah itu?” Nabi Nuh balik bertanya.

Dijawab: “ Sesungguhnya ini adalah suara rantai-rantai yang digunakan untuk menyeret kaummu ke neraka.”

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Nuh ayat 25:

مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْصَارًا

“Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka. Maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.”

Dan diceritakan pula bahwa ketika Nabi Nuh As. keluar dari perahu, ia bersama 80 manusia. Setelah itu Nabi Nuh As. membangun sebuah desa dan meramaikannya. Desa itu diberi nama “Tsamanin”. Dan desa ini adalah desa pertama kali yang dibangun di permukaan bumi setelah terjadinya banjir bandang (tofan).

Setelah 80 orang itu menempati desa tersebut, maka Allah Swt. menurunkan kerusakan dan binasalah 80 orang itu secara bersamaan. Tidaklah ada yang tersisa kecuali Nabi Nuh As. dan 3 anak beliau; Sam, Ham dan Yafus, serta 3 orang menantu beliau. Jumlahnya menjadi 7 orang. Sebagaimana Allah Swt. Berfirman dalam QS. ash-Shaffat ayat 77:

وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِينَ

“Dan Kami jadikan anak-cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.”

Sehingga semua yang ada di alam ini berawal dari Nabi Nuh As. Dan Nabi Nuh adalah Bapaknya manusia kedua setelah Nabi Adam As.

Wahb bin Munabbih mengatakan: “Awal terjadinya banjir tofan adalah di bulan Rajab sampai akhir bulan Dzul Hijjah (6 bulan).”

Imam Abu Ma’syar berkata: “Jarak antara banjir tofannya Nabi Nuh As. dengan taubatnya Nabi Adam As. adalah 2.240 tahun. Sedangkan jarak antara banjir tofannya Nabi Nuh As. dengan hijrahnya Nabi Saw. adalah 3.774 tahun.”

24. Nabi Nuh As. Mengawali Hidup Baru dengan Menanam Pepohonan

Imam ats-Tsa’labi menjelaskan bahwa ketika Nabi Nuh As. telah menetap, maka Allah Swt. mewahyukan kepadanya agar menanam pepohonan. Nabi Nuh As. pun menjalankan perintah tersebut. Dan pohon pertama kali yang ditanam adalah pohon jati. Kemudian Nabi Nuh As. hendak menanam pohon anggur, namun beliau tidak menemukan pohon itu. Maka Nabi Nuh bertanya kepada putranya, Sam: “Wahai putraku, apakah kamu mengambil pohon anggur?”

Sam menjawab: “Saya tidak tahu, Ayah.”

Akhirnya turunlah Malaikat Jibril As. memberitahukan: “Wahai Nuh, sesungguhnya pohon anggur itu telah dicuri iblis.”

Lalu Nabi Nuh As. berkata kepada iblis: “Kembalikanlah kepadaku pohon anggur yang telah kau curi itu.”

Iblis menjawab: “Aku tidak akan mengembalikan pohon anggur itu sehingga kau mau membaginya denganku.”

Nabi Nuh As. berkata: “Baiklah, kamu nanti akan mendapat 1/3 bagian.”

Mendengar keputusan Nabi Nuh tersebut, iblis pun menolak. Kemudian Nabi Nuh As. menaikkan tawaran menjadi 2/3, maka setujulah iblis.

Syaikh Kamaluddin ad-Damiri dalam kitabnya Hayat al-Hayawan mengatakan: “Ketika iblis pertama kali menanam pohon anggur, ia menyembelih burung merak dan menyiramkan darahnya pada pohon anggur itu sampai terseraplah darah itu ke dalamnya. Setelah daunnya tumbuh maka iblis menyembelih monyet dan menyiramkan darahnya ke pohon anggur itu. Dan ketika berbuah muda maka iblis menyembelih harimau dan menyiramkan darahnya ke pohon anggur itu. Ketika buahnya sudah besar-besar maka iblis menyembelih babi dan menyiramkan darahnya ke pohon anggur itu. Maka dari itu siapapun yang meminum khamr maka tidak akan terlepas dari 4 sifat hewan itu.

Keadaan orang yang meminum anggur adalah, pertama minum ia akan bergerak-gerak tubuhnya seperti burung merak. Setelah minum maka ia akan berjalan sempoyongan, menari-nari sendiri seperti monyet. Setelah parah maka ia akan berteriak-teriak seperti harimau. Dan ketika benar-benar sudah parah maka ia akan merasa ngantuk dan ingin tidur layaknya seekor babi. Dan 4 sifat inilah yang tidak pernah lepas dari orang yang minum minuman keras.

Imam al-Kisai mengatakan bahwa yang pertama kali memeras anggur menjadi arak adalah iblis. Dan yang pertama kali membuat gendang, seruling dan alat-alat musik lainnya juga iblis.

25.  Penutup

Akhirnya sampai juga di penghujung tulisan, yang sebenarnya mencapai permulaannya saja belum. Ibarat lautan, tulisan ini hanyalah setetes darinya. Baca dan koreksilah.

Silakan halal diapakan saja oleh kalian, selama hal itu dianggap “manfaat”. Pada akhirnya “Gusti Allah Mboten Sare.” Wallahu A’lam.

Desain Penelitian Eksperimen

Penelitian kuantitatif merupakan salah satu penelitian pendidikan. Penelitian pendidikan sangatlah sulit ditentukan jawabannya karena kondisi di lapangan yang sering berubah, yang berakibat pada derajat...
Ahmad Dahlan
7 min read

Laporan Praktikum Kimia Dasar I Reaksi-Reaksi Kimia

Reaksi-Reaksi Kimia A. Tujuan Percobaan Memperajari sifat-sifat kimia suatu zat melalui reaksi-reaksi kimia. B. Dasar Teori Reaksi kimia merupakan reaksi senyawa dalam larutan (air). Perubahan...
Ananda Dwi Putri
16 min read

Apa perbedaan Bilangan Nyata Dengan Imajiner?

Bilangan nyata adalah bilangan yang sesuai dengan namanya. Kebalikan dengan bilangan khayal, bilangan nyata mewakili nilai sebenarnya tidak berputa-pura atau berkhayal. Bilangan nyata yang merupakan...
Ahmad Dahlan
34 sec read

Leave a Reply