Laporan Praktikum Genetika Tumbuhan – Persilangan Dihibrid

9 min read

Praktikum Persilangan Dihibrid

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Persilangan dihibrid merupakan persilangan antaradua individu dengan dua sifat beda. Persilangan ini seringkali dihubungkan dengan Hukum Mendel II mengenai kombinasi antara dua gen yang terjadi secara bebas. Menurut Mendel, apabila terdapat dua individu yang memiliki dua sifat beda dan melakukan perkawinan, maka akan menghasilkan anakan dengan perbandingan 9 : 3: 3 : 1. Perbandingan ini akan muncul dari sepasang indukan yang memiliki sepasang alel yang heterozigot.

Mendel menggambarkan sifat-sifat yang ada pada suatu individu dengan menggunakan lambang berupa huruf abjad. Huruf kapital menandakan sifat dominan, sedangkan huruf kecil menandakan sifat resesif. Walaupun tidak dapat menjelaskan secara detail mengenai pengkodean maupun karakteristik dari masing-masing gen, namun gagasan Mendel tersebut sangat bermanfaat dalam mendalami sifat suatu individu. Suatu individu dapat dirunut indukannya berdasarkan sifat yang tampak dengan menggunakan persamaan abjad-abjad tersebut.  

Berdasarkan persilangan tersebut, kita dapat mengembangkan varietas unggul pada produk-produk pertanian. Sebab, dengan persilangan dihibrida, akan memperkecil produk yang tidak diinginkan. Sebaliknya, justru akan didapatkan produk yang memiliki kabaikan dari kedua indukannya. Hal ini sangat menguntungkan bagi para pelaku yang bergerak dalam bidang budidaya tanaman.

B. Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk membuktikan Hukum Mendel II pada persilangan dihibrid

Bab II. Tinjaun Pustaka

“Bila suatu tanaman hibrida yang memiliki beberapa karakter disilangkan, maka turunan tersebut akan menghasilkan seri kombinasi karakter yang berpasangan. Pada turunan berikutnya, masing-masing pasangan karakter tersebut ternyata bermunculan secara bebas dari pasangan karakter induknya,” (Dalil Mendel II). Dalil tersebut menjelaskan bahwa bila ada faktor keturunan yang berbeda, maka faktor keturunan yang berbeda tersebut tidaklah saling mempengaruhi. Masing-masing faktor keturunan itu mempunyai peluang matematika yang tidak saling menentukan dalam pemunculan pewarisan sifatnya pada tanaman. Istilah dihibrida menjelaskan adanya pewarisan faktor keturunan yang mempunyai perbandingan jumlah individu 9:3:3:1 atau dengan variasi perbandingan angka itu (Welsh, 1991).

Hukum Mendel II disebut juga hukum asortasi. Mendel menggunakan kacang ercis untuk dihibrid, yang pada bijinya terdapat dua sifat beda, yaitu soal bentuk dan warna biji. Persilangan dihibrid yaitu persilangan dengan dua sifat beda sangat berhubungan dengan hukum Mendel II yang berbunyi “independent assortment of genes”. Atau pengelompokan gen secara bebas. Hukum ini berlaku ketika pembentukan gamet, dimana gen sealel secara bebas pergi ke masing-masing kutub ketika meiosis.  B untuk biji bulat, b untuk biji kisut, K untuk warna kuning dan k untuk warna hijau. Jika tanaman ercis biji bulat kuning homozygote (BBKK) disilangkan dengan biji kisut hijau (bbkk), maka semua tanaman F1 berbiji bulat kuning. Apabila tanaman F1 ini dibiarkan menyerbuk kembali, maka tanaman ini akan membentuk empat macam gamet baik jantan ataupun betina masing-masing dengan kombinasi BK, Bk,Bk, bk. Akibatnya turunan F2 dihasilkan 16 kombinasi.yang terdiri dari empat macam fenotip, yaitu 9/16 bulat kuning, 3/16 bulat hijau, 3/16 kisut kuning dan 1/16 kisut hijau. Dua diantara fenotip itu serupa dengan induknya semula dan dua lainnya merupakan fariasi baru  (Gooddenough,1984).

Pada persilangan yang melibatkan dua pasang gen yaitu A-a dengan B-b, terbentuk 4 macam gamet pada akhir fase meiosis. Gamet-gamet tersebut yaitu gamet AB, Ab, aB, dan ab. Gamet AB dan ab disebut memiliki kombinasi asli, atau umum disebut dengan kombinasi parental. Sedangkan kedua gamet yang lainnya yaitu gamet Ab dan aB disebut memiliki kombinasi baru, atau biasa disebut dengan rekombinan (Yatim, 2003).

Hasil persilangan dihibrid merupakan hasil persilangan monohibrid I × hasil persilangan monohibrid II. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan menghitung hasil persilangan yang didapat. Apabila diperhatikan dominansinya, maka terdapat 12 bagian dari total 16 bagian yang memiliki sifat dominan, sedangkan sisanya yang berjumlah 4 bagian memiliki sifat resesif. Hal tersebut menunjukkan perbandingan yang mendekati 3 : 1 (Suryo, 2010).

Pembuktian Hukum Mendel II sering dilakukan menggunakan lalat Drosophilla melanogaster. Drosophila memiliki ciri morfologi yang berbeda antara jantan dengan betinanya. Drodophila jantan memiliki ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan yang betina. Drosophila jantan memiliki 3 ruas bagian abdomennya dan bersisir kelamin.Sedangkan pada betinanya ukurannya relatif lebih besar dengan 6 ruas pada bagian abdomen dan tidak memiliki sisir kelamin (Soemartono, 1979).

Bab II. Metode Praktikum

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi : lalat Drosophila melanogaster yang berjenis normal, white, dan ebony; media lalat; plastik bening; chloroform; kapas dan lembar pengamatan. Sedangkan alat yang digunakan antara lain : botol bening, lup, cawan petri dan alat tulis.

B. Prosedur Kerja

  1. Lalat Drosophila yang masih hidup dipingsankan dengan cara dibius menggunakan chloroform. Tahap pembiusan yaitu mula-mula kapas dibasahi sedikit dengan chloroform, kemudian kapas tersebut diletakkan di dalam wadah berisikan lalat selama beberapa menit.
  2. Lalat yang sudah dibius, kemudian dikeluarkan dan diamati morfologinya menggunakan lup.
  3. enampang lalat yang terlihat kemudian digambar pada selembar kertas dan diidentifikasi ciri-cirinya.

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

A. Hasil

Tabel 1. Morfologi Lalat Drosophila Normal

Tabel 2. Morfologi Lalat Drosophila White

Tabel 3. Morfologi Lalat Drosophila Eboni

Uji X 2  

KarakteristikJumlah
B_T_B_ttbbT_Bbtt
O94373510176
E99333311176
(│O – E│) 225164146
0,250,490,120,090,95

Kesimpulan :

X 2  tabel = 7,28 > X 2  hitung = 0,95, maka percobaan sesuai dengan teori

Persilangan :

P1        :           Normal            ><        Eboni

                        BBTT                          bbtt

            BB : badan kecil         bb: badan besar

            TT : tubuh kelabu        tt :  tubuh hitam

F1        :                          BbTt

                        (Badan kecil, tubuh kelabu )

P2        :           BbTt    ><        BbTt

F2        : Tabel Punet

BTBtbTbt
BTBBTTBBTtBbTTBbTt
BtBBTtBBttBbTtBbtt
bTBbTTBbTtbbTTbbTt
BtBbTtBbttbbTtBbtt

Fenotip F2       : kecil-kelabu : kecil-hitam : besar-kelabu : besar-hitam

B_T_    :B_tt     :bbT_   :bbtt  

Genotip F2                  : 

Perbandingannya        :          9         :          3       :         3      :           1

B. Pembahasan 

Persilangan dihibrid merupakan persilangan antara dua individu yang memiliki dua sifat beda. Persilangan ini kerap dikaitkan dengan Hukum Mendel II mengenai kombinasi gen secara bebas. Seperti yang telah dilaporkan oleh Suryo (2010), munculnya Hukum Mendel II juga pada mulanya diawali dengan percobaan Mendel yang menyilangkan tanaman ercis berbiji bulat-berwarna kuning (BBKK) dengan tanaman ercis berbiji keriput-berwarna hijau (bbkk). Hasil akhirnya, tanaman tersebut memiliki keturunan dengan 4 variasi yang berbeda dengan perbandingan 9:3:3:1.

Hasil percobaan Mendel tersebut membuktikan bahwasannya gen-gen dari sepasang alel akan berpisah secara bebas ketika berlangsung pembelahan reduksi (meiosis) pada waktu pembentukan gamet-gamet. Sehingga akan menghasilkan gamet-gamet sebagai berikut : BK, Bk, bK, bk. Keempat gamet tersebutlah yang kemudian berkombinasi secara bebas membentuk keempat varian pada anakannya.

Maka dari itu, persilangan dihibrid umumnya mengikuti aturan Hukum Mendel II yakni harus memiliki perbandingan 9:3:3:1. Apabila anakan yang dihasilkan dari persilangan dihibrid tidak memiliki atau jauh dari perbandingan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pada persilangan tersebut terjadi penyimpangan. Penyimpangan pada Hukum Mendel II umumnya disebabkan karena adanya ketidaksempurnaan pada gen induk.

Contoh persilangan dihibrid dapat dilihat pada tanaman jagung yang telah disilangkan. Tanaman jagung memiliki komposisi genetik yang sangat dinamis dengan cara penyerbukan yang menyilang. Fiksasi gen – gen unggul pada genotipe homozigot justru akan berakibat depresi dan menghasilkan tanaman kerdil yang berdaya hasil renda. Tanaman yang vigor, tumbuh cepat, subur, dan hasilnya tinggi justru didapat dari tanaman dengan komposisi genetik heterozigot.Varietas jagung hibrida telah banyak dikomersilkan di Indonesia, contohnya varietas yang dilepas PT BISI yaitu varietas C-1 yang merupakan hibrida dari populasi bersari bebas dengan silang tunggal dari Cargill. Contoh lain yaitu varietas IPB – 4 yang merupakan hasil persilangan tanaman jagung yang memiliki waktu hidup tidak terlalu lama tetapi toleran terhadap serangan hama utama (Takdir et al, 2012).

Persilangan dari varietas IPB – 4 yaitu demikian :

P1        :           AAbb              ><        aaBB

                  AA : waktu hidup sebentar                 aa : waktu hidup lama

                  bb   : tidak toleran terhadap hama      BB : toleran terhadap hama

F1        :           AaBb

                  (Waktu hidup sebentar, toleran terhadap hama)

F2        :  Tabel Punnet

ABAbaBab
ABAABBAABbAaBBAaBb
AbAABbAAbbAaBbAabb
aBAaBBAaBbaaBBaaBb
abAaBbAabbaaBbaabb

Perbandingan  : 9: 3: 3:1

Genotip           : A_B_ : A_bb : aaB_ : aabb

Fenotip            : waktu hidup sebentar, toleran : waktu hidup sebentar, tidak toleran : waktu hidup lama, toleran : waktu hidup lama, tidak toleran

Persilangan dihibrid ini kemudian dikembangkan dalam bidang pertanian, khususnya pada aspek pemuliaan tanaman. Adanya persilangan tersebut dapat menguntungkan bagi para petani maupun pemulia untuk mendapatkan produk tanaman yang baik. Seperti halnya, apabila ditemukan tanaman yang berasal dari dua varietas berbeda, sedangkan pada masing-masing varietas memiliki kelebihan dan kekuranagn, maka petani dan pemulia dapat menyilangkan keduanya melalui persilangan dihibrid. Dengan begitu akan dihasilkan anakan yang memiliki kelebihan dari kedua induknya. Selain itu, apabila anakan yang dihasilkan sesuai dengan perbandinagn pada Hukum Mendel II, maka akan memperkecil hasil tanaman yang memiliki sifat yang tidak diinginkan (resesif). Hal tersebut secara tidak langsung meningkatkan produksi pada tanaman budidaya.

Drosophila melanogaster memiliki ciri-ciri umum antara lain mata yang berwarna merah, tepi sayap yang teratur disertai dengan pola sayap yang seragam, bristle yang agak panjang dan halus, serta warna tubuh cokelat kekuning-kuningan (Stine, 1993).  Bristle adalah modifikasi dari rambut Drosophila melanogaster yang pendek dan dilengkapi oleh sensor dan perangkap mangsa. Selain itu, dikenal pula istilah halter pada Drosophila melanogaster.  Halter merupakan sayap belakang yang menyusut menjadi struktur seperti kenop dan berfungsi sebagai alat keseimbangan (Borror, 1998).

Mutasi pada Drosophila melanogaster dapat terjadi pada warna mata, bentuk sayap dan warna tubuh.

  1. Mutasi pada sayap dapat dibedakan menjadi :
    • Mutan curly (cy). Mutasi terjadi akibat inversi. Sayap pada mutan curly melengkung ke atas dalam keadaan homozigot letal.
    • Mutan miniature (m). Mutasi yang terjadi akibat kerusakan pada kromosom pertama, lokus 36,1. panjang sayap hanya sepanjang tubuh.
    • Mutan vestigial (vg). Sayap dan halter tereduksi yang terjadi akibat kerusakan pada gen vestigial yang terletak pada kromosom kedua, lokus 67,0.
    • Mutan dumpy (dp). Sayap 2/3 panjang tubuh akibat kerusakan pada kromosom kedua, lokus 13,1.
  2. Mutasi pada warna mata dapat dibedakan menjadi :
    • Mutan sepia (se). warna mata cokelat sampai hitam akiat kerusakan gen pada kromosom ketiga, lokus 26,0 (Russell, 1994).
    • Mutan cinnabar (cn). Warna mata merah, ocelli putih akibat kerusakan gen pada lokus kedua, lokus 57,5 (Russell, 1994).
    • Mutan white apricot (wa). Warna mata merah muda akibat kerusakan pada gen pink yang terletak pada kromosom ketiga (Klug & Cummings, 1994).
    • Mutan Star (S). kerusakan gen yang terjadi pada kromosom kedua, lokus 1,3 menyebabkan mata kasar dan kecil dalam keadaan homozigot letal (Russell, 1994).
    • Mutan white (w). Mata berwarna putih yang terjadi akibat adanya kerusakan pada gen white yang terletak pada kromosom pertama, lokus 1,5.
  3. Mutasi pada warna tubuh dapat dibedakan menjadi :
    • Mutan yellow (y). Seluruh tubuhnya berwarna kuning akibat  kerusakan pada gen yellow yang terletak pada kromosom pertama.
    • Mutan ebony (e). Seluruh tubuh berwarna cokelat karena kerusakan pada kromosom ketiga, lokus 64,0.
    • Mutan black (b). Seluruh tubuhnya berwarna hitam akibat terjadinya kerusakan pada gen black yang terletak pada kromosom kedua, lokus 48,0.

Drosophila melanogaster normal (wild type) dinyatakan dengan simbol + atau dengan notasi huruf. Huruf kapital digunakan untuk sifat dominan dan huruf kecil untuk sifat resesif terhadap mutan-mutannya. Mutan-mutan diberi notasi sesuai dengan sifat mutasinya, yaitu dengan memberikan satu atau dua huruf pertama yang mendeskripsikan sifat mutasi tersebut. Sebagai contoh, vg untuk mutan vestigial dan w untuk mutan white (Jones & Rickrads, 1991). Lalat mutan yang memiliki perbedaan lebih dari satu dibandingkan dengan lalat normal, maka notasi harus dituliskan seluruhnya secara berurutan.

Contoh: w+w+dp+y+y+

   ww dp dp y+y+ 

Praktikum ini bertujuan untuk membuktikan perbandingan pada Hukum Mendel II mengenai persilangan dihibrid. Bahan yang digunakan yakni lalat Drosophila. Hewan ini dipilih karena karakternya yang unik yaitu memiliki banyak mutan. Selain itu, siklus hidup lalat ini tergolong sebentar. Persilangan dilakukan antara dua jenis lalat yang berbeda. Maka dari itu, mula-mula praktikan harus mengamati morfologi pada masing-masing lalat baik yang normal maupun yang mutan. Ada tiga jenis lalat yang diamati, yakni normal, white dan ebony. Lalat normal jantan memiliki karakteristik warna mata merah, terdapat segmen garis hitam yang pekat yang lebar pada bagian abdomen posteriornya, serta ujung abdomennya tidak berbentuk lancip. Sedangkan yang betinanya bermata merah, ujung abdomennya berbentuk lancip dan tidak ada penghitaman pada abdomen posteriornya. Morfologi pada lalat white jantan memiliki karakteristik mata berwarna putih, ujung abdomennya berbentuk tumpul dan ada garis hitam tebal pada bagian tersebut. sedangkan pada lalat white betina memiliki karakteristik mata berwarna putih, ujung abdomen berbentuk lancip dan tidak ada penghitaman pada bagian tersebut. Kemudian pada lalat ebony jantan memiliki karakteristik mata berwarna merah, tubuh berwarna hcoklat kehitaman dan tubuhnya lebih kecil dari yang betina. Sedangkan pada lalat ebony betina terdapat karakteristik mata berwarna merah, tubuh berwarna coklat kehitaman dan ukurannya lebih besar daripada lalat jantan.

Selain mengamati morfologi lalat, pada praktikum kali ini dilakukan simulasi persilangan antara lalat normal (BBTT) dengan lalat eboni (bbtt). Lalat normal memiliki karakteristik fenotip berbadan kecil-tubuh kelabu. Sedangkan lalat eboni memiliki karakteristik fenotip berbadan besar-tubuh hitam. Pada keturunan F1 nya semua anakan menampakkan karakteristik fenotip badan kecil-tubuh kelabu. Kemudian hasil F1 tersebut disilangkan sesamanya sehingga menghasilkan data sebagai berikut : B_T_ = 94; B_tt = 37; bbT_ = 35; bbtt = 10. Dari hasil perhitungan menggunakan uji Chi-Squre didapatkan hasil X hitung sebesar = 0,95. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan X tabelnya = 7,28. Hal ini menandakan data yang ada telah sesuai dengan perbandingan pada Hukum Mendel dua yaitu 9:3:3:1.

Bab V. Penutup

A. Kesimpulan

  1. Persilangan dihibrid merupakan persilangan antara dua individu dengan dua sifat beda.
  2. Persilangan dihibrid dapat digunakan untuk menguji Hukum Mendel II tentang kombinasi gen secara bebas. Hasil dari persilangan dihibrid sesuai dengan perbandingan Hukum Mendel yaitu 9:3:3:1.

B. Saran

Sebaiknya dalam melakukan praktikum ini, praktikan dapat mengamati morfologi lalat secara lebih teliti sehingga didapatkan perbedaan antara lalat normal dengan lalat yang mutan.

DAFTAR PUSTAKA

Borror, D. J., Charles A. Tripelhorn, dan Norman F. Johnson. 1998. Pengenalan Pelajaran Serangga. 8th Ed. Terj dari an Introduction to Study of Insect oleh Soetiyono Partosoedjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Goodenough. 1984. Genetika Edisi ketiga Jilid Satu. Jakarta : Erlangga.

Jones, R. N. & Rickards, G. K. 1991. Practical Genetics. England: Open University Press.

Klug, W.S. & M.R. Cummings. 1994. Concepts of Genetics. 4th ed. Engelwood Cliffs: Prentice Hall Inc.

Russell, P. J. 1994. Fundamental of Genetics. USA: Harper Collins College Publisher.

Soemartono. 1979. Pedoman Praktikum Biologi Umum 3. Jakarta : Djambatan.

Stine, G. James. 1993. Laboratory Exercise in Genetic. New York : Mac Milan Publishing co.,Inc.

Suryo, H. 2010. Genetika. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Takdir, Andi, et al. 2012. Pembentukan Varietas Jagung Hibrida (online). Balitsereal.litbang.pertanian.go.id diakses 15 Oktober 2015.

Welsh, J. R. 1991. Dasar-Dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Jakarta : Erlangga.

Yatim, Wildan. 2003. Genetika. Bandung : Tarsito.

Desain Penelitian Eksperimen

Penelitian kuantitatif merupakan salah satu penelitian pendidikan. Penelitian pendidikan sangatlah sulit ditentukan jawabannya karena kondisi di lapangan yang sering berubah, yang berakibat pada derajat...
Ahmad Dahlan
7 min read

Laporan Praktikum Kimia Dasar I Reaksi-Reaksi Kimia

Reaksi-Reaksi Kimia A. Tujuan Percobaan Memperajari sifat-sifat kimia suatu zat melalui reaksi-reaksi kimia. B. Dasar Teori Reaksi kimia merupakan reaksi senyawa dalam larutan (air). Perubahan...
Ananda Dwi Putri
16 min read

Apa perbedaan Bilangan Nyata Dengan Imajiner?

Bilangan nyata adalah bilangan yang sesuai dengan namanya. Kebalikan dengan bilangan khayal, bilangan nyata mewakili nilai sebenarnya tidak berputa-pura atau berkhayal. Bilangan nyata yang merupakan...
Ahmad Dahlan
34 sec read

Leave a Reply