Makalah Sejarah Masukya Agama Hindu dan Budha di Indonesia

26 min read

Makalah Sejarah Masukya Agama Hindu dan Budha di Indonesia

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

India adalah negara yang kaya dengan budayanya yang memiliki pengaruh yang kuat, termasuk agama-agama yang terlahir di sana juga sangat kaya. Itu terbukti dari eksistensi dua agama besar yang pengaruhnya meluas ke penjuru dunia dan tetap ada hingga sekarang, yaitu agama Hindu dan Buddha. Kedua agama ini memiliki pengaruh yang menyeluruh ke berbagai penjuru, termasuk di Indonesia kedua agama ini hadir mewarnai keyakinan oleh penduduk setempat

Kebudayaan yang berkembang di Indonesia pada tahap awal diyakini berasal dari India. Pengaruh itu diduga mulai masuk pada awal abad masehi. Apabila kita membandingkan peninggalan sejarah yang ada di Indonesia akan ditemukan kemiripan itu. Sebelum kenal dengan kebudayaan India, bangunan yang kita miliki masih sangat sederhana. Saat itu belum dikenal arsitektur bangunan seperti candi atau keraton. Tata kota di pusat kerajaan juga dipengaruhi kebudayaan hindu. Demikian pula dalam hal kebudayaan yang lain seperti peribadatan dan kesusastraan. Kita harus menjaga kelestarian dan budaya-budaya yang ditinggalkan agama Hindu-Budha.

Agama Hindu dan Buddha tidak begitu saja muncul dan berkembang baik dalam keyakinan masyarakat Indonesia, melainkan melalui proses panjang sehingga kedua agama ini menjadi agama resmi di Indonesia dan banyak masyarakat yang memeluknya. Dalam makalah ini, akan dipaparkan beberapa teori dan, penyebaran, perkembangan, serja sejarah mengenai dua agama asal India tersebut.

B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana sejarah kedatangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia ?
  2. Bagaimana persebaran dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia?
  3. Apa saja bukti-bukti sejarah dari keberadaan agama Hindu dan Buddha di Indonesia  ?

C. Tujuan Penulisan

  1. Untuk mengetahui sejaraha kedatangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia.
  2. Untuk mengetahui persebaran dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia.
  3. Untuk mengetahui bukti-bukti sejarah dari eksistensi agama Hindu dan Buddha di Indonesia.

Bab II. Pembahasan

A. Teori Kedatangan Hindu dan Buddha di Indonesia

Banyak teori-teori yang menyatakan kapan dan bagaimana agama Hindu dan Buddha bisa samapai ke tanah Nusantara. Hipotesis yang dibuat oleh para peneliti menggunakan bukti-bukti peninggalan sejarah sebagai landasan dari teori-teori tersebut. Maka dari itu semua teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang dibuat oleh para peneliti semua benar karena berlandaskan artefak-artefak, benda-benda peninggalan dan catatan sejarah.

Meskipun teori-teori ini adalah kedatangan Hindu dan Buddha, kebanyakan lebih menjelaskan kepada hindu dibandingkan dengan Buddha. Di bawah ini akan dijelaskan empat (4) teori-teori kedatangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia:[1]

I. Teori Brahmana

Teori ini di kemukakan oleh J.C. Van Leur. Van Leur berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahmana. Karena hanya oleh kaum Brahmana saja yang boleh mempelajari isi kitab Weda, maka hanya Brahmanalah yang dapat mengerti ajaran Weda. Kedatangan Kaum Brahmana tersebut diduga karena undangan Penguasa di Indonesia atau sengaja datang untuk menyebarkan agama Hindu  ke Indonesia.

Agama Hindu pada dasarnya bukan agama untuk umum dalam arti bahwa pendalaman agama tersebut hanyalah mungkin oleh golongan Brahmana, merekalah yang dibenarkan mendalami kitab suci. Dalam kenyataannya tentu terdapat berebagai tingkat keketatan pelaksanaan prinsip tersebut. Hal ini tergantung dari aliran atau sekte yang bersangkutan.

II. Teori Ksatria

Hipotesis ini menyatakan bahwa Indonesia pernah dikolonisasi oleh bangsa India yaitu golongan Ksatria.

Terdapat tiga pendapat mengenai teori Ksatria ini[2], yang pertama menurut Prof.Dr.Ir.J.L.Moens berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria atau golongan prajurit, karena adanya kekacauan politik/peperangan di India abad 4 – 5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia.

Yang dikemukakan oleh F.D.K. Bosch, menyatakan bahwa adanya raja-raja dari India yang datang menaklukan daerah-daerah tertentu di Indonesia yang telah mengakibatkan peng-Hindu-an penduduk setempat.

Teori ketiga adalah teori dari C.C. Berg, Ia menjelaskan bahwa golongan ksatria turut menyebarkan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Para ksatria India ini ada yang terlibat konflik dalam masalah perebutan kekuasaan di Indonesia. Bantuan yang diberikan oleh para ksatria ini sedikit banyak membantu kemenangan bagi salah satu kelompok atau suku di Indonesia yang bertikai.

Sebagai hadiah atas kemenangan itu, ada di antara mereka yang dinikahkan dengan salah satu putri dari kepala suku atau kelompok yang dibantunya. Dari perkawinannya itu, para ksatria dengan mudah menyebarkan tradisi Hindu-Budha kepada keluarga yang dinikahinya tadi. Selanjutnya berkembanglah tradisi Hindu-Budha dalam kerajaan di Indonesia.

III. Teori Vaisya/ Waisya

Dikemukakan oleh N.J. Krom, ia mengatakan bahwa pengaruh Hindu masuk ke Indonesai melalui golongan pedagang (kasta Waisya) yang menetap di Indonesia dan kemudian memegang peranan penting dalam proses penyebaran kebudayaan India termasuk agama Hindu.

Para waisya menurut Krom, merupakan golongan terbesar di Indonesia karena mereka berstatus sebagai pedagang maka mereka menetap di Indonesia dan memiliki hubungan dengan penguasa-penguasa di Indonesia. Krom mengisyaratkan kemungkinan adanya perkawinan antara pedagang-pedagang dengan wanita Indonesia.

Pada teori ini, Krom memperhatikan bahwa aspek budaya asli Indonesia masih sangat kental dan penting, hal itu tidak akan terjadi jika keadaannya seperti dijelaskan dalam teori Ksatria yang mengekspansi Indonesia.

IV. Teori Arus Balik

Teori arus blik ini tidak hanya berlaku untuk proses masuknya agamaHindu ke Indonesia saja melainkan untuk agama Buddha juga. Teori ini mendukung teori Brahman Van Leur, oleh F.D.K Bosch. Teori ini menekankan pada peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran Hindu-Buddha di Indonesia. Menurut Bosch, penyebara budaya India di Indonesia dilakukan oleh para cendikian atau orang-orang terdidik.Golongan ini dalam penyebaran budaya melakukan ‘penyuburan’ yang terjadi dalam dua tahap, yaitu:

Pertama, proses ini dilakukan oleh para pendeta buddha atau Biksu. Mereka menyebar ke seluruh Asia termasuk Indonesia melalui jalur dagang. Dari proses penyebaran ini  terbentuklah masyarakat Sangha oleh para biksu. Para biksu dari Indonesia datang ke India untuk belajar agama Buddha dan sekembalinya mereka membawa kitab-kitab suci, bahasa sansekerta, kemampuan tulis-menulis dan kesan-kesan dari India.

Kedua, proses penyuburan dilakukan oleh para Brahmana, terutama dari aliran Saiva-Siddhanta. Menurut aliran ini, seseorang untuk mendapatkan kedudukan golongan Brahmana harus mempelajari kitab-kitab agama Hindu bertahun-tahun sebelum dinobatkan oleh Brahmanaguru sebagai Brahmana. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh Siva dan dapat menerima kehadiran Siva dalam tubuhnya pada ritual upacara-upacara tertentu.

Dari teori-teori diatas yang telah teruraikan, masih ada banyak lagi, namun kesemua teori yang ada termasuk teori-teori di atas yang telah dipaparkan, tidak ada yang secara pasti menjelaskan kedatangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, hanya prediksi-prediksi para peneliti yang berlandaskan bukti-bukti tertentu.

B.    Peta Penyebaran Hindu dan Buddha di Indonesia Periode Awal

Setelah membahas teori-teori datangnya agama Hindu dan Buddha di tanah Nusantara, pembahasan berikutnya adalah peta yang menunjukkan persebaran agama Hindu dan Buddha di Indonesia. Pengaruh terbesar Hindu-Buddha terdapat di pulau Jawa.[4]

Antara hindu dan Buddha memang hampir beriringan kedatangannya di Indonesia, namun kebanyakan bukti yang ditemukan lebih banyak dari peninggalan-peninggalan yang bercorak Hindu, seperti halnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur pada abad ke-4[5]. Sedangkan bukti dari agama Buddha bahwasanya agama Buddha terbukti ada di Indonesia dari abad ke-5[6], yang berarti agama Buddha telah ada secara bersamaan dengan Hindu. Di bawah akan dipaparkan bukti-bukti bahwa agama Hindu dan Buddha telah tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

1.         Agama Buddha di pulau Jawa

Dari catatan kuno menyebutkan kedatangan agama Buddha di Indonesia datang dari seorang rahib Buddha Cina yang datang ke Jawa pada tahun 414 M bernama Fa-Hien. Dari ceritanya, pulau Jawa telah menerima agama Buddha yang beraliran Hinayana.[7]

Diperkirakan agama Buddha telah ada sebelum abad ke-5 yang terbukti dari penemuan patung-patung Buddha di Jember, Jawa Timur[8].

Pada akhir abad ke-7, I-Tsing menceritakan dalam bukunya bahwa pada tahun 664/665 seorang musafir Cina Hwui-ning pergi ke pulau Jawa selama delapan tahun. Disana dia menerjemahkan naskah mengenai masuknya Buddha ke nirwana serta pembakaran tubuhnya.

Di Jawa Tengah berdiri dinasti Sailendra yang memeluk agama Buddha Mahayana. Bukti prasasti yang menakjubkan dengan didirikannya Candi Borobudur kira-kira tahun 800.[9]

Di Jawa timur agaknya percampuran antara Hindu dan Buddha terlihat jelas, karena memang agama ini hidup berdampingan di masnya. Pada zaman Empu Sindok hingga Erlangga (929-1042) terdapat bukti sejarah yang menunjukkan percampuran tersebut berupa kepustakaan keagamaan. Buku-buku yang disusun seperti misalnya: Bhuwanakosa, Bhuwanasangksepa, Wrhaspatitattwa,dsb. Dari agama Buddha Mahayana buku-buku seperti itu adalah: Shanghyang, Kamahayana, Mantranaya dan Sanghyang Kamahayanikan.[10]

Selain itu juga ada candi Tikus di Mojokerto yang pembuatannya sekitar abad ke-13 M.

2.         Agama Buddha di luar pulau Jawa

Artefak-artefak yang terhimpun dalam buah karya seni Hindu tua dari abad ke-3 M memperlihatkan adanya beberapa patung Buddha bergaya Amarawati yang ditemukan di Sempaga (Sulawesi), Seguntang dekat Palembang (Sumatera).[11]

Selain itu di Sriwijaya (Palembang) terdapat perguruan tinggi Buddha yang tidak kalah dengan yang ada di Nalanda, pada masa itu Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha. Oleh sebab itu ketika para musafir Cina sebelum pergi ke India untuk mendalami agama Buddha, terlebih dahulu mereka mempersiapkan diri di Sriwijaya. Ini terbukti oleh I-Tsing yang menyalin dan menerjemahkan naskah-naskah suci Sriwijaya pada abad ke-7.[12]

3.   Agama Hindu di berbagai daerah di Indonesia

Diperkirakan bahwa Kalimantan adalah awal dari kedatangan agama Hindu. Hal itu diperkuat dari adanya sebuah prasasti berupa tujuh buah batu yang disebut Yupa berbentuk menhir atau tiang batu yang menggunakan bahasa Sansekerta  dan huruf Pallawa dan di perkirakan ditulis pada tahun 400 M. Dalam prasasti tersebut bertuliskan informasi mengenai kerajaan Kutai.

Di Jawa Barat muncul Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman. Pada masa itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa.

Dari berita Fa-Hien yang seorang Buddhis pada tahun 414 terpaksa mendarat di Jawa. Ia memberitakan bahwa di Jawa terdapat banyak ajaran bidat dan orang Brahmana, mungkin yang dimaksud adalah “ajaran bidat orang Brahmana”. Jika demikian kelompok tersebut adalah orang-orang Hindu.[15]

Di Jawa Tengah, yaitu dinasti Sanjaya dari Mataram yang memeluk agama Siwa.[16]

Sedangkan di Jawa Timur agama Hindu dan Buddha hidup rukun, itu tercermin pada zaman Majapahit. Sekiranya ada tiga aliran yang berdampingan dan damai yaitu: Siwa, Wisnu dan Buddha Mahayana.[17]

Di sebelah ujung timur pulau Jawa, tepatnya di pulau Bali bagian selatan sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan hindu mungkin pada tahap pertama zaman mataram kuno (antara 600-1000 masehi ), pusat kerajaan itu terdapat di pejeng dan bedulu dengan raja keturunan warnadewa, ada kemungkinan kerajaan ini timbul langsung pengaruh dari pedagang hindu namun ada juga kemungkinan kerajaan ini di sebabkan karena pengaruh dari mataram.[18]

Bagan peta jalur penyebaran Hindu Buddha di Indonesia melalui jalur laut dan darat:[19]

C.   Perkembangan Hindu dan Buddha di Indonesia

Tidak jelas pasti siapa yang menyebarkan kedua agama ini, namun diperkirakan untuk agama Hindu para Brahmanalah yang menyebarkannya karena mereka yang mampu untuk mengkaji kitab Weda yang berisikan auran-aturan Hindu. Aliran agama Hindu yang paling besar pengaruhnya adalah aliran Siwa dan tantra pada abad ke-6.[20]

Dari penemuan prasasti Kutai dari zaman raja Mulawarman di abad ke-5 menunjukan terdapat adanya ritual korban sesaji yang kemungkinan itu ditujukan kepada Siwa dan mungkin kepada Wisnu. Sedangkan di Jawa Barat, prasasti dari raja Punawarman menunjukan bahwa agama yang berpengaruh adalah Hindu aliran Wisnu. Sedang di Jawa Tengah dari zaman raja-raja Sanjaya memperlihatkan pengaruh agama Hindu aliran Siwa pada tahun 723.

Tahun 928, di Jawa Timur tepatnya pada zaman dinasti raja Sendok, agama hindu yang dominan adalah aliran Wisnu. Sedangkan pada zaman Singasari dan Majapahit, aliran Tantra mencapai pada puncak perkembangannya. Menurut Prasasti Surowaso (1375), raja Adityawarman dinobatkan menjadi Bhairawa di Ksetra dengan duduk di tumpukan mayat sambir tertawa dan meminum darah.[21]

Selain itu, aliran Tantra menyatu dengan agama Buddha dengan sebutan Siwa-Buddha. Percampuran ini begitu terlihat pada zaman kerajaan Singasari (1222-1292). Di Bali, pengaruh Majapahit sangat kuat sehingga Hindu jawa begitu berpengaruh disana yang pada berikutnya bercampur dengan agama asli Bali yang disebut Tirta dan kemudian menjadi Hindu Dharma.

Sedangkan dalam agama Buddha, seiring dengan berkembangnya Buddha di Sriwijaya, aliran Mahayana di Jawa Tengah tepatnya oleh raja wangsa Syailendra penguasa kerajaan Mataram kuno berkembang baik dan berdampingan dengan agama Hindu. [22]

Bukti hadirnya aliran Mahayana di Jawa Tengah juga dapat dilihat dari adanya prasasti candi Borobudur yang dapat dilihat dari bentuk relief dindingnya yang berasal dari naskah-naskah Mahayana.

Kemudian, aliran Mahayana juga mendominasi dalam agama Buddha di jawa Timur. Begitu pula dengan agama Hindu juga berkembang disana dan hidup berdampingan dengan damai. Hal itu terbukti dari raja Eirlangga yang meresmikan tempat pemujaan untuk nenek moyangnya, raja Sendok, tiga macam pendeta sekaligur dalm upacaranya: seorang Brahmana biasa, pendeta Siwa dan pendeta Buddha. Agaknya pula, pada waktu ini dua agama tersebut bercampur.[23]

D.           Masa Kerajaan Hindu Budha di Indonesia

Agama Hindu dan Budha berasal dari India. Kedua agama tersebut masuk dan dianut oleh penduduk di berbgai wilayah nusantara pada waktu yang hampir bersamaan, sekitar abad ke empat, bersamaan dengan mulai berkembangnya hubungan dagang antara Indonesia dengan India dan Cina. Sebelum pengaruh Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, diperkirakan penduduk Indonesia menganut kepercayaan dinamisme dan animisme.[24]

Agama Budha disebarluaskan ke Indonesia oleh para bhiksu, sedangkan mengenai pembawa agama Hindu ke Indonesia terdapat 4 teori sebagai berikut :

1.        Teori ksatria (masuknya agama Hindu disebarkan oleh para ksatria)

2.        Teori waisya (masuknya agama Hindu disebarkan oleh para pedagang yang berkasta waisya)

3.        Teori brahmana (masuknya agama Hindu disebarkan oleh para brahmana)

4.        Teori campuran (masuknya agama Hindu disebarkan oleh ksatria, brahmana, maupun waisya)

Bukti tertua adanya pengaruh India di Indonesia adalah ditemukannya Arca Budha dari perunggu di Sempaga, Sulawesi Selatan. Antara abad ke 4 hingga abad ke 16 di berbagai wilayah nusantara berdiri berbagai kerajaan yang bercorak agama Hindu dan Budha.

Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha merupakan salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Setiap kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak dan turun-temurun.

Masuknya agama Hindu dan Budha di Indonesia telah membawa dampak yang signifikan dibidang politik, yaitu lahirnya kerajaan-kerajaan bercorak hindu dan Budha di  juga berkurangnya peran kepala suku dalam mengatur kehidupan politik. [25]

Kerajaan-kerajaan itu antara lain :

a.           Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai dilihat dari sudut samping

https://www.google.com/search?q=kerajaan+kutai&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiZuMTJsNTWAhWEJpQKHVb6AIcQ_AUICigB&biw=1366&bih=657#imgrc=-Ed-k_y3tRbOdM:

Kerajaan Kutai dengan nama asli Kutai Martadipura merupakan kerajaan hindu tertua di Indonesia, dengan aliran agama hindu-siwa. Letaknya di Muara Kaman tepatnya pada hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Keberadaan kerajaan ini ditandai dengan adanya 7 buah prasasti, yang dinamai prasasti yupa dengan huruf palawa dan bahasa sansekerta. Pendirinya adalah Raja Kudungga. Setelah Raja Kudungga wafat, kerajaan diambil alih oleh putranya, Raja Aswawarman. Dan setelah Raja Aswawarman wafat, kerajaan diambil alih oleh putra Raja Aswawarman, yaitu Raja Mulawarman.[26]

Pada sebuah prasasti Yupa abad ke-4, dikisahkan bahwa Raja Mulawarman telah menyumbangkan 1000 ekor sapi kepada para brahmana. Kisah ini menceritakan betapa dermawannya seorang Raja Mulawarman, dari sini dapat dianalisis bahwa masyarakat Kutai makmur dan bermata pencaharian sebagai petani dan beternak.[27]

b.   Kerajaan Tarumanegara

Gambaran kisah pada masa Kerajaan Tarumanegara

https://www.google.com/search?q=kerajaan+tarumanegara&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwi0yumnsNTWAhUJNJQKHRRJCzIQ_AUICigB&biw=1366&bih=657#imgrc=wtMQnGs9Hx-nbM:

Sumber mengenai kerajaan Tarumanegara berasal dari tujuh buah prasasti yang berbahasa sansekerta dan huruf pallawa. Prasasti tersebut adalah prasasti Ciaruteun, Kebun Kopi, Jambu, Tugu, Pasar Awi, Muara Cianten, dan Lebak. Seorang musafir Cina bernama Fa-Hsien pernah datang di Jawa pada tahun 414 M. Ia telah menyebut keberadaan kerajaan To-lo-mo atau Taruma di Pulau Jawa. Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang pada abad V M. Raja terbesar yang berkuasa adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman meliputi hampir seluruh Jawa Barat dengan pusat kekuasaan di daerah Bogor. Raja pernah memerintahkan pembangunan irigasi dengan cara menggali sebuah saluran panjang 6.112 tumbak (± 11 km). Saluran itu berfungsi untuk mencegah bahaya banjir. Saluran ini selanjutnya disebut sebagai sungai Gomati.[28]

c.    Kerajaan Sriwijaya

Dari depan tampak bangunan peninggalan Kerajaan Sriwijaya

https://www.google.com/search?q=hindu+budha+di+indonesia&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwi09f-tr9TWAhXBpJQKHWR8DtIQ_AUICigB&biw=1366&bih=657#imgrc=PqwF0R0r3M37mM:

Kerajaan sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah berjaya di Indonesia. Kerajaan ini mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim dengan menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional. Keberadaan kerajaan ini diketahui melalui enam buah prasasti yang menggunakan bahasa melayu kuno dan huruf pallawa, serta telah menggunakan angka tahun saka. Prasasti tersebut adalah Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, Kota Kapur dan Karang Berahi. Nama Sriwijaya juga terdapat dalam berita Cina dan disebut Shih-lo-fo-shih atau Fo-shih. Sementara itu di berita Arab, Sriwijaya disebut dengan Zabag atau Zabay atau dengan sebutan Sribuza. Seorang pendeta Cina yang bernama I-Tsing sering dataang ke Sriwijaya sejak tahun 672 M. Ia menceritakan bahwa di Sriwijaya terdapat 1.000 orang pendeta yang menguasai agama seperti di India. Berita dari Dinasti Sung juga menceritakan tentang pengiriman utusan dari Sriwijaya tahun 971-992 M.[29]

Raja pertama Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Raja yang terkenal dari kerajaan Sriwijaya adalah Balaputradewa. Ia memerintah sekitar abad IX M. Sriwijaya merupakan pusat pendidikan dan penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara. [30]

Menurut berita I-Tsing, pada abad VIII M di Sriwijaya terdapat 1.000 orang pendeta yang belajar agama Buddha di bawah bimbingan Sakyakirti. Menurut prasasti Nalanda, para pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Buddha dan ilmu lainnya di India. Kebudayaan Kerajaan Sriwijaya sangat maju dan bisa dilihat dari peninggalan suci sepeti stupa, candi, atau patung/arca Buddha seperti ditemukan di Jambi, Muara Takus, dan Gunung Tua (Padang Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang).[31]

d.   Mataram Kuno

Candi Prambanan salah satu peninggalan sejarah pada

masa Kerajaan Mataram Kuno

https://www.google.com/search?q=hindu+budha+di+indonesia&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwi09f-tr9TWAhXBpJQKHWR8DtIQ_AUICigB&biw=1366&bih=657#imgrc=mz-fLDlB2OjkuM:

Kerajaan Mataram Kuno, berdiri pada tahun 775-850, oleh wangsa syailendra. Menurut Teori Van Bammalen, letak kerajaan ini berpindah-pindah, hal ini disebabkan oleh 2 alasan, yaitu karena adanya bencana alam letusan Gunung Merapi, dan karena adanya peperangan dalam perebutan kekuasaan. Awalnya, pada abad ke-8 kerajaan ini terletak di daerah Jawa Tengah, kemudian setelah Gunung Merapi meletus pada abad ke-10, kerajaan ini dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Agama di kerajaan ini pun terbagi menjadi 2, yaitu hindu pada Dinasti Sanjaya dan budha pada Dinasti Syailendra. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya, Raja Sanjaya.[32]

Setelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran adalah Rakai Warak, kemudian Rakai Warak digantikan oleh  Rakai Garung (Samaratungga). [33]

Akhirnya, Rakai Pikatan sebagai Dinasti Sanjaya berhasil menguasai kerajaan sedangkan Pramodawardhani bersama anaknya, Balaputradewa melarikan diri ke Palembang, Sumatra Selatan untuk kemudian mereka menjalankan sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jadi pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih ini di antaranya adalah:

a.  Ratu, Datu, Sri Maharaj

b.  Rakryan Mahamantri I Hino

c.  Mahamantri Halu & Mahamantri I Sirikan

d.  Mahamantri Wko & Mahamantri Bawang

e.   Rakryan Kanuruhan[34]

Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang, kemudian dilanjutkan oleh Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu sebagai Raja Mataram Kuno yang sangat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan. Di masa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya.[35]

Rakryan I Halu, dan Rakryan I Sirikan. Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung. Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Mpu Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, melakukan kudeta karena merasa bahwa ia adalah keturunan asli Dinasti Sanjaya, kemudian Mpu Daksa digantikan oleh menantunya, Sri Maharaja Tulodhong.[36]

e.       Kerajaan Singhasari

      Ornamen Kerajaan Singasari bagian depan

https://www.google.com/search?q=kerajaan+singasari&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjwyvS6tNTWAhVLnZQKHX55D8YQ_AUICigB&biw=1366&bih=657#imgrc=uwDgbZaoIP7sOM:

           Keberadaan Kerajaan Singhasari didasarkan pada kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan raja-raja yang memerintah di Singasari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan keajaiban Ken Arok. Ken Arok semula sebagai akuwu (bupati) di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya karena tertarik kepada Ken Dedes isteri Tunggul Ametung. Pada tahun 1222 M Ken Arok menyerang kediri sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter.[37]

  Ken Arok menyatakan dirinya sebagai Raja Singasari dengan gelar Sri Rangga Rajasa Bhattara Sang Amurwabhumi. Raja Singasari yang terkenal adalah Kertanegara Karena di bawah pemerintahannya Singasari mencapai puncak kebesarannya. Kertanegara bergelar Sri Maharajaderaja Sri Kertanegara mempunyai gagaasan politik untuk memperluas wilayah kekuasannya, menyingkirkan lawan-lawan politiknya, menumpas pemberontakan, menyatukan agama Syiwa dan Buddha menjadi agama Tantrayana (Syiwa Buddha dipimpin oleh Dharma Dyaksa), melakukan politik perkawinan, dan mengirim ekspedisi Pamalayu tahun 1275.[38]

f.       Kerajaan Majapahit

Tampak dari kejauhan semua halam Kerajaan Majapahit

https://www.google.com/search?q=majapahit&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiL04jWtNTWAhVMFJQKHbs4AZ4Q_AUICigB&biw=1366&bih=624#imgrc=el78yaQ-haGmCM:

         Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu terakhir dan terbesar di Indonesia. Letaknya di Pulau Jawa. Pendirinya adalah Raden Wijaya yang sempat melarikan diri ke Madura bersama istrinya saat terjadi Peristiwa Mahapralaya. Kerajaan Majapahit, awalnya hanyalah sebuah desa kecil bernama Desa Tarik yang merupakan pemberian Raja Jayakatwang dari Kediri. Raden Wijaya telah dimaafkan dan dipercaya tidak bersalah atas kesalahan generasi atasnya.[39]

         Pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan 20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur dengan tujuan untuk menyerang Raja Kertanegara yang telah merebut Kerajaan Melayu dan menyatakan tidak mau tunduk pada Kaisar Kubilai Khan. Mereka tidak tau bahwa Raja Kertanegara beserta Kerajaan Singhasari itu telah meninggal dan hancur dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kediri. Mengetahui rencana penyerangan dari Cina ini, Raden Wijaya mengambil kesempatan untuk merebut kembali Kerajaan Singhasari. Ia menggabungkan diri dengan pasukan cina dan menyerang Raja Jayakatwang di Kediri.[40]

         Kerajaan Kediri tidak mampu menghadapi serangan, sehingga Raja Jayakatwang berhasil dikalahkan. Kemenangan itu membuat pasukan Cina bergembira dan berpesta pora. Mereka tidak menyangka ketika sedang berpesta pora, pasukan Majapahit balik menyerang mereka. Akhirnya pasukan armada Cina kalah, dan mereka segera kembali ke tanah airnya. Sejak saat itu Kerajaan Majaphit mulai berkuasa. Pada tahun 1295, berturut-turut pecah pembrontakan yang dipimpin oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro serta Nambi. Pembrontakan-pembrontakan itu bisa dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan mendapat penghormatan di dua tempat, yaitu Candi Simping (Sumberjati) dan Candi Artahpura. Setelah Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang bernama Jayanegara menggantikannya sebagai Raja Majapahit.[41]

         Pada awal pemerintahannya Jayanegara harus menghadapi sisa pemberontakan yang meletus dimasa ayahnya masih hidup. Selain pembrontakan Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan pengawal (Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke Desa Bedager. Raja Jayanegara wafat tahun 1328 karena dibunuh oleh salah seorang anggota dharmaoutra yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra ia kemudian digantikan oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani. [42]

         Suaminya bernama Cakradhara yang berkuasa di Singasari dengan gelar Kertawerdhana. Dari kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa pemberontakan di masa pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang paling berbahaya adalah pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah itu Gajah Mada bersumpah di hadapan Raja dan para pembesar kerajaan bahwa ia tidak akan amukti palapa (memakan buah palapa), sebelum ia dapat menundukan seluruh Nusantara di bawah naungan Majapahit.[43]

  Pada tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri setelah berkuasa 22 tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai wilayah yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada Majapahit, namun ada satu kerajaan kecil yang belum berhasil dikuasai kerajaan Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda Galuh. Raja Hayam Wuruk bersama Patih Gajah Mada berusaha untuk menaklukan kerajaan tersebut.[44]

E.            Peninggalan Sejarah Bercorak Hindu dan Budha di Indonesia

a.    Peninggalan Kerajaan Kutai

                  Prasasti Yupa

https://www.google.com/search?q=kutai&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiH-d3ttNTWAhUMGpQKHYemA-UQ_AUICygC&biw=1366&bih=657#imgrc=-4ny0mVAEUh8UM:

           Sumber sejarah dari Kerajaan Kutai sendiri dapat diketahui setelah ditemukannya sebuah prasasti di suatu daerah Kutai, kebanyakan orang menyebut kerajaan Kutai berdasarkan dengan daerah kutai.

           Nama prasasti tersebut adalah yupa, berjumlah 7 dan merupakan sumber sejarah yang sangat penting karena memuat sejarah kerajaan Kutai khususnya nama-nama raja dan silsilahnya.

           Prasasti tersebut tertulis dengan menggunakan bahasa sanskerta dan beraksara pallawa.

b.      Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

beberapa peninggalan dari kerajaan Tarumanegara ialah:

1.   Prasasti Ciaruteun (Ciampea, Bogor)

2.   Prasasti Pasir Kaleangkak

3.   Prasasti Pasir awi

4.   Prasasti kebon Kopi

5.   Prasasti Cidangiang lebak

6.   Prasasti tugu

7.   Prasasti Muara Ciantern[45]

c.       Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Kawasan perdagangan Kerajaan Sri Wijaya juga luas dan berhasil menjalin perdagangan dengan beberapa kerajaan seperti dengan Benggala dan Colamandala, kerajaan dari India.

Beberapa barang yang di ekspor adalah Gading, kulit, dan jenis binatang sedangkan untuk impornya adalah kain sutra, permadani, porselin.

Berikut beberapa nama raja yang pernah memerintah kerajaan Sriwijaya

1.   Dapunta Hyang (Pendiri kerajaan)

2.   Balaputradewa

3.   Sanggrama Wijayatunggawarman

Raja yang terkenal dari kerajaan Sriwijaya adalah Raja Balaputra yang mengantarkan pada masa kejayaannya.

Beberapa benda peninggalan dari kerajaan Sriwijaya yaitu:

1.   Prasasti Kedukan Bukit

2.   Prasasti Talang Tuo

3.   Prasasti karang Berahi

4.   Prasasti Telaga Batu

5.   Prasasti Ligor

Kesemua prasasti tersebut menggunakan bahasa Melayu Kuno dan aksara Palawa.[46]

d.      Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

Adapun  benda peninggalan kerajaan mataram kuno diantaranya ialah:

1.   Candi Sewu

2.   Candi Borobudur

3.   Candi Arjuna

4.   Candi Bima[47]

e.       Peninggalan Kerajaan Singasari

  Beberapa peninggalan kerajaan Singasari

1.   Candi Singasari

2.   Candi jago

3.   Candi Sumberawan

4.   Arca Dwarapala

5.   Prasasti Singasari

6.   Candi Jawi

7.   Prasasti Wurare

8.   Candi Kidal[48]

f.    Peninggalan Kerajaan Majapahit

  Kerajaan Majapahit pernah menaklukan beberapa wilayah yang terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur. Kerajaan Majapahit sendiri menganut agama Hindu dan Budha .       

Beberapa peninggalan dari kerajaan Majapahit diantaranya

1.   Candi Sukuh

2.   Candi Cetho

3.   Candi Pari       

4.   Candi Jabung

5.   Gapura Wringin Lawang

6.   Gapura Bajang Batu

7.   Gapura Brahu

8.   Candi Tikus

9.   Candi Surawarna

10. Kolam Segaran

11. Situs Lantai Segi enam

12. Reco Lanang

13. Api Abadi Bekucuk

14. Prasasti Gunung Butak

15. Prasasti Gajah Mada[49]

F.            Persamaan dan Perbedaan Hindu Budha di Indonesia dan di India

           Perbedaan antara Hindu Indonesia dengan Hindu India sangat kentara. Baik dari makanan yang dimakan, Pakaian sembahyang, Hari Suci yang dirayakan maupun hal-hal lain yang bisa dilihat dengan kasat mata.

Contohnya :

1.   Kebanyakan dari negeri anak benoa dimana Veda diwahyukan, mayoritas vegetarian, sedangkan di Indonesia mayoritas non vegetarian.

2.   Di Indonesia sembahyang tiga kali yang disebut dengan Tri Sandhya, Sedangkan orang India sembahyang hanya dua kali pagi dan sore. [50]

Agama Hindu, dalam setiap ajarannya selalu mengajarkan kedamaian, dekat dengan alam, mempersembahkan aneka hasil alam kepada Hyang Maha Kuasa, menghormati semua unsur di alam, mulai dari tetumbuhan dengan adanya tumpek wariga, hewan ada tumpek kandang, alat-alat atau senjata/perkakas, tumpek landep, buku/pustaka ada hari saraswati, semua energi atau mahluk-mahluk bawahan yang tampak maupun tidak tampak yang dikenal dengan butha yadnya. Menjaga keharmonisan dengan Tuhan dengan upacara Deva yadnya, dengan menjalin harmonisasi dengan sesama manusia ada upacara Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, melalui sila karma, pesantian, menyama braya. Ketiga hubungan harmonis ini di Bali dikenal dengan Tri Hita Karana, tiga keharmonisan yang membawa pada suasana kebahagiaan.[51]

Keihlasan dalam segala aktivitas dan keharmonisan adalah inti dari semua aktivitas spiritual Hindu, Keharmonisan inipun terjalin dengan budaya lokal yang melahirkan senergi yang mampu menghadirkan kedamaian di setiap hati sanubari penganutnya. Agama Hindu Dharma total lebur dengan budaya local yang menghasilkan bentuk pemujaan yang berbeda-beda.

Agama Hindu, sesungguhnya memiliki tiga batang tubuh (tri kerangka dasar) yang terdiri dari:

1. Tatwa : Filsafat

2. Etika: Susila

3. Ritual: Upacara[52]

           Tattwa/filsafat dan Etika atau Susila, mempunyai kesamaan di seluruh penganut agama Hindu dimanapun mereka berada. Sumber utama dari Tattwa adalah Kitab Suci Veda. Kemudian dijelaskan dalam Upanisad, Dharmasastra, Itihasa/Wiracarita seperti Mahabharata dan Ramayana, Bhagavad Gita, Yoga Wasista, Wrehaspati Tattwa, Sarasammuccaya, Srimad Bhagavatam, dan lain-lain. [53]

           Di Bali ada lagi lontar-lontar yang ditulis oleh para Mpu yang telah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi seperti: lontar sundari gama, lontar buana kosa, lontar sangkul putih, dan lain-lain.

           Salah satu contoh kesamaan ajaran yang bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia maupun di India adalah Lima Keyakinan yang dikenal dengan nama Panca Sradda yaitu:

1. Percaya dengan adanya Tuhan,

2. Percaya dengan adanya Atman,

3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala,

4. Percaya dengan adanya Reinkarnasi/Punarbawa/Samsara,

5. Percaya dengan adanya Moksa. [54]

           Panca Sradda merupakan inti kepercayaan agama Hindu, dapat kita jumpai dengan berbagai bahasa sesuai dengan wilayah dimana penganutnya berada.

           Dalam Etika yang merupakan perwujudan nyata dari aplikasi tattwa yang telah dipelajari, pun tampak kesamaan, semua orang Hindu akan berusaha untuk tidak menyakiti atau menyiksa mahluk lain (Ahimsa). Semua orang hindu berusaha memperlakukan manusia yang lain seperti saudaranya, “Vasudaiva Kutum Bakam” Semua mahluk dilahirkan bersaudara. “Tat Twam Asi” artinya; kamu adalah aku, aku adalah kami, bila aku menyakitimu, sama dengan aku menyakiti diriku sendiri. Selalu berkata jujur (Arjawa), Setia pada kata hati/nurani (Satya Hredaya), Setia pada janji (Satya Samaya), Setia pada perkataan (Satya Wacana), setia/ berani bertanggung jawab pada perbuatannya (Satya Laksana’), setia pada kawan (Satya Mitra). Menjaga pikiran, perbuatan dan perkataannya selaras, selalu terkondisi pada kebaikan (Tri Kaya Parisudha; Manacika =pikiran suci, Wacika=perkataan suci dan Kayika=perbuatan yang suci).[55]

           Perbedaan mulai tampak pada kerangka dasar yang ketiga yaitu yang disebut dengan Upacara atau Ritual dan Hari Raya. Di sini tradisi dari masing-masing wilayah mewarnai setiap upacara yang ada. Histori di setiap daerahpun berbeda, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam perjalanan juga tidak sama, sehingga melahirkan perayaan Hari Raya yang berbeda guna memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah kehidupan manusia yang pernah terjadi, yang nantinya bisa selalu diingat dan dijadikan suri teladan dalam mengarungi kehidupan di maya pada ini. [56]

           Tidak hanya Hindu India dan Indonesia saja yang memiliki perbedaan, antara Hindu Bali dengan di Jawa saja ada banyak perbedaan, seperti yang dituturkan oleh Ida Pandita Nabe Sri Bhagavan Dwija dalam karyanya: “Hindu dalam Wacana Bali Sentris”

Pengantar Agama Hindu untuk perguruan tinggi, Cudamani, 1990 ada tujuh Maha Rsi yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa yang menerima wahyu Weda di India sekitar 2500 tahun sebelum Masehi. [57]

           Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara.[58]

Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu :

1.           DANGHYANG MARKANDEYA

           Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.

           Setelah menetap di Taro, Tegal lalang – Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. [59]

2.   MPU SANGKULPUTIH

  Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.

  Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. [60]

3.   MPU KUTURAN

  Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

4.   MPU MANIK ANGKERAN

  Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.

5.   MPU JIWAYA

  Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

6.   DANGHYANG DWIJENDRA

  Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.

Agama Hindu bersinergi melalui:

(1) Sistem bahasa, yakni Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno.

(2) Sistem pengetahuan.

(3) Sistem sosial seperti Desa Pakraman dan Subak.

(4) Sistem peralatan hidup dan teknologi.

(5) Sistem mata pencaharian masyarakat.

(6) Sistem religi, Agama Hindu menghargai kepercayaan lokal, dan

(7) Sistem kesenian seperti Seni Wali (sakral), Seni Bebali (dapat berfungsi sebagai seni sakral dapat pula untuk kegiatan profan), dan Seni Balih-Balihan (hanya untuk hiburan) .[61]

                                Pelaksanaan aktivitas spiritual sifatnya sangatlah pribadi dan bergantung pada individu masing-masing. Walaupun yang dipelajari sama tapi pengertian dan pemahaman setiap orang itu sangatlah unik, satu sama lain tidak sama, karena manusia memiliki pengalaman yang berbeda, pengetahuan yang berbeda, dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan tempat yang berbeda, latar belakang pendidikan yang berbeda, memiliki bakat dan minat yang berbeda pula, pendek kata memiliki guna dan karma yang tidak sama.[62]

                                Kemerdekaan setiap individu yang merupakan anugrah Hyang Widhi dalam Hindu sangatlah dijaga baik dalam berfikir, berkata dan berbuat. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari perasaan dan pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir dan perasaan manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan ini. [63]

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Sebelum pengaruh Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, diperkirakan penduduk Indonesia menganut kepercayaan dinamisme dan animisme. Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha merupakan salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Setiap kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak dan turun-temurun

Agama Budha disebarluaskan ke Indonesia oleh para bhiksu, sedangkan mengenai pembawa agama Hindu ke Indonesia terdapat 4 teori.Bukti tertua adanya pengaruh India di Indonesia adalah ditemukannya Arca Budha dari perunggu di Sempaga, Sulawesi Selatan. Antara abad ke 4 hingga abad ke 16 di berbagai wilayah nusantara berdiri berbagai kerajaan yang bercorak agama Hindu dan Budha.

Masuknya agama Hindu dan Budha di Indonesia telah membawa dampak yang signifikan dibidang politik, yaitu lahirnya kerajaan-kerajaan bercorak hindu dan Budha di  juga berkurangnya peran kepala suku dalam mengatur kehidupan politikPendapat mengenai proses masuk dan berkembangnya kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia, yaitu hipotesis Waisya, Hipotesis Ksatria, Hipotesis Brahmana dan teori Arus Balik. Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha membawa pengaruh besar di berbagai bidang. Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha merupakan salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Setiap kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak dan turun-temurun. Kerajaan-kerajaan itu antara lain : Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno, Kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit.

DAFTAR PUSTAKA

Nasrudin Muh, Warsito S.W, Nursa’ban Muh, Mari Belajar IPS VII, Jakarta :   Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2008

Iwan Setiawan dkk, Wawasan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen      Pendidikan Nasional Indonesia, 2008

Rickflefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyaarta : Gajah Mada      university Press, 1998

Armia, “Makalah Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia”, http://armia11ips104.blogspot.com/2012/10/makalah-kerajaan-       hindu-budha-di.html, 18-09-2013.

Asvi Warman Adam, Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan timbulnya Negara-negara islam di Nusantara, LKIS Yogyakarta,  20 – 21

http://artikel-kependidikan.blogspot.com

Oka diputhera, Agama Budha Bangkit, Cetakan pertama 2006

Nana Supriatna, SEJARAH Untuk Kelas IX SMA, Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008,

http://hbdikelompok1.blogspot.co.id/2015/06/reviisi-makalah-kelompok-1-topik-1.html.

Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: Gunung Mulia, 2003,

https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kutai.

Hudaya Kandahjaya, Kunci Induk untuk Membaca Simbolisme Borobdur, Jakarta: Karania, 1995,

Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG, 2008,

http://diahadyamanareta.blogspot.co.id/2015/05/peta-sejarah-persebaran-hindu-budha-di.html.

http://thoriqs.blogspot.co.id/2011/03/sejarah-masuknya-agama-hindu-ke-bali.html.

http://diahadyamanareta.blogspot.co.id/2015/05/peta-sejarah-persebaran-hindu-budha-di.html

H. A. Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988,


[1] Nana Supriatna, SEJARAH Untuk Kelas IX SMA, Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008, hlm.4.

[2] Diakses pada tanggal 11 Sep. 2017 http://hbdikelompok1.blogspot.co.id/2015/06/reviisi-makalah-kelompok-1-topik-1.html.

[3] Nana Supriatna, SEJARAH Untuk Kelas IX SMA, Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008, hlm.5.

[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: Gunung Mulia, 2003, hlm.107.

[5] Diakses pada tanggal 11 Sep. 2017 https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kutai.

[6] Edward Conze, Sejarah Singkat Agama Buddha, cetakan 1, Jakarta: Karania, 2010, hlm.109.

[7] Hudaya Kandahjaya, Kunci Induk untuk Membaca Simbolisme Borobdur, Jakarta: Karania, 1995, hlm.11.

[8] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: Gunung Mulia, 2003, hlm.108.

[9] Ibid, hlm.114.

[10] Ibid, hlm.123-124.

[11] Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG, 2008, hlm.21.

[12] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: Gunung Mulia, 2003, hlm.110.

[13] Nana Supriatna, SEJARAH Untuk Kelas IX SMA, Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008, hlm.10.

[14] Diakses pada tanggal 12 Sep. 2017 http://diahadyamanareta.blogspot.co.id/2015/05/peta-sejarah-persebaran-hindu-budha-di.html.

[15] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: Gunung Mulia, 2003, hlm.109.

[16] Ibid, hlm.113.

[17] Ibid, hlm.130.

[18] Diakses pada tanggal 12 Sep. 2017 http://thoriqs.blogspot.co.id/2011/03/sejarah-masuknya-agama-hindu-ke-bali.html.

[19]Diakses pada tanggal 13 Sep. 2017 http://diahadyamanareta.blogspot.co.id/2015/05/peta-sejarah-persebaran-hindu-budha-di.html

[20]H. A. Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988, hlm.95.

[21] Ibid.96.

[22] Ibid.145.

[23] H. A. Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988, hlm.145.

[24] Nasrudin Muh, Warsito S.W, Nursa’ban Muh, Mari Belajar IPS VII, Jakarta :   Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Hlm.33

[25] http://artikel-kependidikan.blogspot.com

[26] Iwan Setiawan dkk, Wawasan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen       Pendidikan Nasional Indonesia, 2008. hlm.71

[27] Ibid hlm.73

[28] Iwan Setiawan dkk, Wawasan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen       Pendidikan Nasional Indonesia, 2008 hlm. 92

[29]https://www.google.com/search?q=masa+kerajaan+hindu+dan+budha+di+indonesia&ie=utf-8&oe=utf-8

[30] http://artikel-kependidikan.blogspot.com

[31]ab.1.2.0i22i30k1l4.3588.45312.0.49562.32.25.4.0.0.0.1164.4364.1j4j2j1j1j1j1j1.12.0….0…1.1.64.psy-ab..16.16.4415…0j0i131k1j33i160k1.VlNPbbL4AZQ

[32] Oka diputhera, Agama Budha Bangkit, Cetakan pertama 2006, hlm. 79

[33]https://www.google.co.id/search?dcr=0&source=hp&q=makalah+masa+kerajaan+hindu+budha+di+indonesia&oq=makalah+masa+ker&gs_l=psy-

[34]ab.1.2.0i22i30k1l4.3588.45312.0.49562.32.25.4.0.0.0.1164.4364.1j4j2j1j1j1j1j1.12.0….0…1.1.64.psy-ab..16.16.4415…0j0i131k1j33i160k1.VlNPbbL4AZQ

[35] Iwan Setiawan dkk, Wawasan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, 2008 hlm. 120

[36] Rickflefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyaarta : Gajah Mada      university Press, 1998. hlm.22

[37].ibid hal 25

[38] Nasrudin Muh, Warsito S.W, Nursa’ban Muh, Mari Belajar IPS VII, Jakarta :   Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

[39] Iwan Setiawan dkk, Wawasan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. hlm 134

[40] Ibid hlm.137

[41] http://armia11ips104.blogspot.com/2012/10/makalah-kerajaan-hindu-budha-di.html, 18-09-2013.

[42] Armia, “Makalah Kerajaan Hindu-Budha di indonesia “

[43] H. A. Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS.

[44]   Asvi Warman Adam, Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan timbulnya Negara-negara islam di Nusantara, LKIS Yogyakarta,  20 – 21

[45] Asvi Warman Adam, Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan timbulnya Negara-negara islam di Nusantara, LKIS Yogyakarta,

[46] Asvi Warman Adam, Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan timbulnya Negara-negara islam di Nusantara, LKIS Yogyakarta,  20 – 21

[47] Oka diputhera, Agama Budha Bangkit, Cetakan pertama 2006, hlm. 9

[48] Rickflefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyaarta : Gajah Mada   university Press, hlm.77

[49] Asvi Warman Adam, Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan timbulnya Negara-negara islam di Nusantara, LKIS Yogyakarta.hlm.  144

[50] www.parisada.org

[51] Nasrudin Muh, Warsito S.W, Nursa’ban Muh, Mari Belajar IPS VII, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2008

[52] Iwan Setiawan dkk, Wawasan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen   Pendidikan Nasional Indonesia, 2008

[53] www.babadbali.com

[54] Musthofa, Sh., Suryandari., Tutik Mulyati., (2009). Sejarah Untuk SMA/MA KELAS XI Program Bahasa, Jakarta: Depdiknas

[55] www.stitidharma.org

[56] H. A. Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988,

[57] Musthofa, Sh., Suryandari., Tutik Mulyati., (2009). Sejarah Untuk SMA/MA KELAS XI Program Bahasa, Jakarta: Depdiknas

[58]  www.iloveblue.com

[59] Pengawi dan ahli Weda I Gusti Bagus Sugriwa

[60] H. A. Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988,

[61] Musthofa, Sh., Suryandari., Tutik Mulyati., (2009). Sejarah Untuk SMA/MA KELAS XI Program Bahasa, Jakarta: Depdiknas

[62] Musthofa, Sh., Suryandari., Tutik Mulyati., (2009). Sejarah Untuk SMA/MA KELAS XI Program Bahasa, Jakarta: Depdiknas

[63]  www.hindu-indonesia.com

Laporan Hasil Praktikum – Kerja Otot Gastrocnemius

Kerja Otot Gastrocnemius Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Otot dirangsang dengan rangsangan maksimal secara beruntun (multiple) dan frekuensi ditinggikan berpotensi menimbulkan beberapa gambaran...
Ananda Dwi Putri
8 min read

Laporan Praktikum Fluida Statis dan Hukum Archiemedes

Fluida Statis dan Hukum Archiemedes Bab. Pendahuluan A. Latar Belakang Fluida adalah zat yang dapat mengalir. Kata Fluida mencakup zat car, air dan gas...
Ahmad Dahlan
7 min read

Laporan Agroklimatologi – Pengukuran Kelembaban

Pengukuran Kelembaban Bab I. Pendahuluan A. Latar Belakang Dalam atmosfer (lautan udara) senantiasa terdapat uap air. Kadar uap air dalam udara disebut kelembaban (lengas udara)....
Ananda Dwi Putri
9 min read

Leave a Reply