Daftar isi
Asas-Asas Filsafat Pendidikan
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Asas-asas filsafat pendidikan telah dimulai sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalam berbagai kepustakaan tentang asas- asas pendidikan, pemikiran – pemikiran tentang pendidikan telah dimulai dari zaman Yunani Kuno sampai kini. Meskipun paparan ini terbatas hanya beberapa pada aliran penting, namun diharapkan tidak akan mengurangi maksud dan tujuannya sebagai pembekalan wawasan historis terhadap setiap calon tenaga pendidikan.
Pendidikan merupakan usaha yang sengaja dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga negara/ masyarakat, dengan memilih isi (materi), strategi, kegiatan dan teknik penilaian yang sesuai. Dengan kata lain, pendidikan dipandang mempunyai peranan yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak.
Namun dalam sejarah pendidikan yang mana di dasari filsafat dapat dijumpai berbagai asas/pandangan mengenai bagaimana perkembangan manusia itu berlangsung. Adapun asas-asas filsafat yang berkaitan dengan pendidikan atau yang termaktub dalam filsafat pendidikan ialah asas Empirisme, Nativisme dan Konvergensi.
Dengan sedikit ilmu yang di miliki oleh penulis, maka penulis ingin mengajak segenap civitas akademik untuk berdiskusi serta membahas permasalahan yang terkait dengan asas- asas filsafat pendidikan yang terangkum dalam sebuah makalah sederhana yang penulis memberikan judul dengan “Asas- asas Filsafat Pendidikan”
Sebelum penulis mengakhiri latar belakang yang penulis sampaikan kiraanya kita mengingat kembali suatu goresan tinta pepatah yang berbunyi “ tiada gading yang tak retak” suatu goresan nan penuh makna ini bukan berarti tiada subtansi atau makna yang terkandung didalamnya. Bahwasanya penulis menyadari,semua yang ada di dunia ini tiada yang sempurna kecuali Allah SWT. Penulis mungucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para civitas akademik yang berkenan membaca dan mengoreksi makalah sederhana ini, apabila banyak kekurangan dan kesalahan yang berarti, penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya dan mohon nasihat agar makalah yang selanjutnya lebih baik dan lebih bermanfaat. Amien.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi pokok permasalahan diatas adalah sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan asas?
- Apa pengertian filsafat pendidikan?
- Apa saja asas-asas filsafat pendidikan?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PANULISAN
1. Tujuan
Tujuan kami menulis makalah yang berjudul Asas- asas filsafat pendidikan ini ialah
a. Mengetahui arti/ makna asas-asas filsafat pendidikan.
b. Mengetahui macam-macam asas-asas filsafat pendidikan.
c. Mengetahui pengertian masing-masing asas-asas filsafat pendidikan.
2. Manfaat
Melihat tujuan-tujuan dari penulisan makalah sederhana ini kita bisa mengambil beberapa manfaat yang subtansional diantaranya :
a. Mengetahui kajian historis tentang asas-asas filasafat pendidikan.
b. Menambah wawasan terutama civitas akademik dan calon pendidik tentang asas-asas filasafat pendidikan.
D. Metodologi penulisan
Penulis mempergunakan metode observasi dan kepustakaan.
Cara-cara yang digunakan pada penelitian ini adalah : Studi Pustaka
Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan denga penulisan makalah ini.
Bab II. Pembahasan
A. Pengertian Asas
Pengertian asas dalam Kamus Besar Indonesia mempunyai banyak pengertian diantaranya ialah 1. Dasar (sesuatu yg menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat); 2. Dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi): sebelum memasuki suatu organisasi, kita harus tahu — dan tujuannya; 3. Hukum dasar: tindakannya itu melanggar – kemanusiaan. Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita.[1]
B. Pengertian Filsafat Pendidikan
a. Filsafat
Kata filsafat atau falsafah, berasal dari bahasa Yunani. Kalimat ini berasal dari kata philosophia yang berarti cinta pengetahuan. Terdiri kata philos yang berarti cinta, senang, suka dan kata sophiaberarti pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan (Ali,1986 : 7). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah cinta kepada pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Jadi orang yang berfisafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.[2]
Secara sederhana filsafat dapat diartikan sebagai berpikir menurut tata tertib dengan bebas dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar suatu persoalan, yakni berpikir yang mempunyai ciri-ciri khusus, seperti analitis, pemahaman, deskritif, evaluatif, interpretatif, dan spekulatif. Sejalan dengan pengertian ini, Musa Asy’ari menulis, filsafat adalah berpikir bebas, radikal dan berada pada dataran makna. Sedangkan menurut M. Amin Abdullah, filsafat mempunyai beberapa devinisi,diantaranya :
1. Sebagai aliran atau hasil pemikiran yang berujud sistem pemikiran yang konsisten dan dalam taraf tertentu sebagai sistem tertutup (closed system),
2. Sebagai metode berpikir, yang dapat dicirikan: a. Mencari ide dasar yang bersifat fundamental (fundamental ideas), b. Membentuk cara berpikir kritis (critical thought), dan c. Menjunjung tinggi kebebasan serta keterbukaan intelektual (intelectual freedom).[3]
b. Pendidikan
Untuk dapat membahas tentang apa itu pendidikan? Maka kita akan memulainya dari pembahasan istilah pedagogi yang ditarik dari kata paid artinya anak. Dan agogos artinya, membimbing atau memimpin. Dengan demikian, pedagogi secara harafiah adalah berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin (mengajar) anak. Selanjutnya, kata pedagogi juga kita kenal dalam bentuk paedagogi dan paedagogik. Paedagogi artinya pendidikan, sedangkan paedagogik adalah ilmu pendidikan. Keduanya berpengertian sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan merenungkan tentang gejala-gejala dalam perbuatan mendidik. Istilah paedagogiek adalah berasal dari kata Yunani yaitu paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak, dan paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak ke dan dari sekolah sampai ke rumahnya. Dengan demikian, nyatalah bahwa proses pendidikan pada anak-anak di Yunani kuno sebagian besar diserahkan kepada paedagogos itu.
Paedagogos yang berasal dari kata paedos dan agoge yang memiliki makna (saya membimbing atau memimpin anak) tersebut, mulanya berkonotosi sebagai pelayan bujang (pekerja rendahan), namun dewasa ini bergeser menjadi makna yang dipakai untuk suatu pekerjaan “mulia” yang dikenal dengan sebutan paegoog (pendidik atau ahli didik). Yang tugasnya adalah mendidik, membimbing, dan membantu anak (orang belum dewasa) dalam pertumbuhannya agar dapat “berdiri sendiri” menuju ke arah kedewasaan. Jadi, dari uraian singkat di atas maka dapatlah kita simpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar (sengaja) orang dewasa untuk perkembangan jasmani dan rohani peserta didiknya menuju ke arah kedewasaan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa makna pendidikan dewasa inipun tidak hanya sebagai usaha sadar (sengaja) orang dewasa (guru) untuk mengembangkan (anak) tetapi pendidikan lebih sebagai wahana ‘interaksi’ antara guru dengan murid (warga belajar) menuju proses pemanusiaan manusia. Dengan perkataan lain bahwa anak tidak hanya dilihat sebagai ‘objek’ pendidikan, tetapi juga sebagai ‘subjek’ pendidikan yang dapat ‘mengembangkan dirinya sesuai dengan kompetensi dan potensi-potensi serta kebutuhan dasarnya dalam rangka aktualisasi diri sebagai individu yang mandiri. Dengan demikian, makna dasar pendidikan sebagai jembatan usaha pendewasaan anak dapat terealisasi dalam hasil nyata dan ‘menggembirakan’ manakala anak benar-benar diletakkan sebagai objek yang sekaligus dapat bertindak sebagai subjek pendidikan itu sendiri.[4]
Pendidikan kiranya dapat dilihat sebagai bagian dari suatu rangkaian belajar. John A. Laska membuat sebuah penggolongan yang cukup menarik antara belajar dan pendidikan. Ia merumuskan pendidikan sebagai upaya sengaja yang dilakukan pelajar atau (yang disertai) orang lainnya untuk mengontrol (atau memandu, mengarahkan, mempengaruhi dan mengelola) situasi belajar agar dapat meraih hasil belajar yang diinginkan.[5]
Setelah kita mengetahui arti filsafat dan pendidikan dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa filsafat pendidikan ialah merupakan filsafat umum yang diterapkan pada keilmuwan pendidikan sebagai sebuah wilayah spesifik dari usaha serius manusia.[6]
Menurut al-Ainan bahwa filsafat pendidikan ialah kegiatan berfikir yang sistematis yang diambil dari dart sistem filsafat sebagai cara mengatur pendidikan dan menyusunnya, menerangkan nilai-nilai dan tujuan-tujuannya yang telah ditetapkan untuk dilalui, dalam rangka membina perbuatan pendidikan.[7] Filsafat dan pendidikan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena filsafat (1) menetapkan dan kaya dengan ide-ide, sedangkan pendidikan berusaha melaksanakan prinsip dan ide-ide itu menjadi kenyataan , menjadi tindakan dan kepribadian,dan (2) tujuan pendidikan adalah tujuan filsafat, kebijaksanaan dan jalan yang ditempuh filsafat adalah juga jalan yang dilalui pendidikan , bertanya dan menyelidiki yang dapat membimbing ke arah kebijaksanaan.[8]
C. Asas-Asas Filsafat Pendidikan
Setelah kita mengetahui pengertian asas dan filsafat pendidikan, maka kita bisa simpulkan bahwa asas-asas filsafat pendidikan ialah suatu dasar atau pokok yang menjadi acuan kajian filsafat pendidikan.
Adapun asas-asas filsafat pendidikan ialah asas empirisme, asas nativisme dan asas konvergensi. Hal tersebut diuraikan sebagai berikut:
a. Asas Empirisme
Secara harfiah , arti empirisme dari kata Yunani emperia yang berarti pengalaman.Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari – hari perintisnya adalah John Locke ( 1632-1704), dia mengagumi metode Descrates, tetapi ia tidak menyetujui isi ajarannya. Menurut Locke, rasio mula-mula harus dianggap” as a white paper” dan seluruh isinya dari pengalaman. Ada dua pengalaman : lahiriyah ( sensation ) dan batiniyah ( reflexion). Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal ( simple ideas ). Jiwa manusiawi bersifat pasif sama sekali dalam menerima ide-ide tersebut.[9]
Jika hal empirisme di bawa ke ranah pendidikan maka empirisme mempunyai pengertian yang lebih spesifik. Bahwasanya hasil pendidikan dan perkembangan itu bergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak didik selama hidupnya. Pengalaman itu diperolehnya di luar dirinya berdasarkan perangsang yang tersedia baginya. John Locke berpendapat bahwa anak yag di dunia ini sebagai kertas kosong atau sebagai meja berlapis lilin (Tabula Rasa) yang belum ada tulisan di atasnya.[10]
Hal ini berarti, baik dan buruknya anak tergantung pada baik dan buruknya pendidikan yang diterimanya. Menurut J.J. Rausseau (1712-1778) bahwa manusia pada dasarnya baik sejak ia dilahirkan. Jadi kalau ada manusia yang jahat bukan karena benihnya, tetapi dikembangkan setelah ia lahir, yakni setelah ia hidup di masyarakat dan setelah terpengaruh oleh lingkungan serta kebudayaan. Menurut Mensius ( 372-289 SM), yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya baik, sehingga cinta pada dasarnya lebih pengertian yang dangkal. Menurut H. Sun Tzu (289-230 SM) bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat, akan tetapi untunglah manusia juga cerdas dan dengan kecerdasannya ia dapat mengolah kebaikan yang ada pada dirinya. Ia menjadi manusia yang baik karena ia bergaul dengan masyarakat. Jadi manusia itu menjadi baik bukan karena benihnya, tetapi karena hidup dan bergaul dengan masyarakat.[11]
b. Asas Nativisme
Asas nativisme bertolak denan teori empirisme yang dianut oleh Schopenhauer (seorang filosuf bangsa Jerman, 1788-1860) yang berpendapat bahwa bayi lahir dengan pembawaan yang baik dan pembawaan yang buruk. Dalam hubungannya dengan pendidikan dan perkembangan manusia, ia berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan itu ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperolehnya sejak lahir. Asas Nativisme berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan berhubungan dengan perkembangan anak didik. Aliran pendidikan yang menganut paham nativisme ini disebut aliran pesimisme.[12]
Dengan kata lain, Nativisme merupakan aliran pesismisme (murung) dalam pendidikan. Berhasil tidaknya perkembangan anak tegantung pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki oleh anak didik.[13]
Lingkungan tidak berarti apa-apa dalam perkembangan manusia, apa yang dikerjakan, apa yang diucapkan, dan apa yang dipikirkan merupakan kecakapan yang dibawa sejak lahir, tetapi nativisme tidak menjelaskan bagaimana seorang lahir dengan membawa potensi, apakah potensi itu mempunyai hubungan sangat erat dengan kondisi orang tua atau tidak, selama ini tidak pernah ada penjelasan. Apabila orang tuanya mempunyai IQ tinggi atau mempunyai IQ rendah akan dapat berpengaruh kepada anaknya. Dalam beberapa penelitian menyimpulkan bahwa anak sangat dipengaruhi oleh keadaan orang tua, baik keadaan fisik, psikis, maupun sosial-ekonominya.[14]
c. Asas Konvergensi
Aliran konvergensi dipelopori oleh William Stern (seorang ahli pendidikan bangsa Jerman, 1871-1939), ia berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun buruk. Proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama – sama mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu.
Apabila pengaruh lingkungan sama besar dan kuatnya dengan pembawaan siswa, maka hasil pendidikan didapat siswa itu pun akan seimbang dan baik, dalam arti tidak satu faktor pun yang dikorbankan secara sia-sia. Seterusnya, apabila pengaruh lingkungan lebih besar dan lebih kuat dari pembawaan, hasil pendidikan siswa hanya akan sesuai dengan kehendak lingkungan, dan pembawaan (watak dan bakat) siswa tersebut akan terkorbankan. Sebaliknya, jika pembawaan siswa lebih besar dan kuat pengaruhnya daripada lingkungan, hasil pendidikan tersebut hanya sesuai dengan bakat dan kemampuannya tanpa bisa berkembang lebih jauh, karena ketidakmampuan lingkungan. Oleh karena itu, terlalu kecilnya pengaruh lingkungan pendidikan, misalnya mutu guru dan fasilitas yang rendah akan merugikan para siswa yang membawapotensi dan bakat yang baik.[15]
Oleh karena itu William Stern disebut teori Konvergensi artinya memuat ke suatu titik. Jadi menurut teori konvergensi ini adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan mungkin diberikan.
2. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan ligkungan itu sendiri.
3. Pendidikan diartikan sebagai penolong atau pertolongan yang diberikan kepada lingkungan anak didik untu mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawaan yang buruk.[16]
Sebagai contoh, benarkah jika kita mengatakan ‘si Mizan adalah merupakan hasil dari pembawaan dan lingkungannya si Mizan?. Ketika jawabannya ‘benar’, maka seolah-olah si Mizan itu ‘hanya’ merupakan hasil dari proses alam yaitu pembawaan dan lingkungan belaka. Jika pembawaannya begini dan lingkungannya begitu, maka manusia akan demikian pula. Jika demikian halnya, maka apa bedanya dengan proses mencari hasil dari ‘angka-angka’ dalam pengetahuan matematika?. Kalau memang proses perkembangan manusia sama halnya dengan rumus-rumus pengetahuan matematika, maka dapat dipastikan bahwa tugas guru (ahli pendidik) akan lebih mudah yaitu tinggal mencari jalan untuk mengetahui pembawaan seseorang (kalau saja pembawaan itu dapat diketahui dengan pasti), dan kemudian mengusahakan suatu lingkungan atau pendidikan yang cocok (relevan) dengan pembawaan tersebut.
Sekali lagi, proses perkembangan binatang dengan manusia tidaklah dapat disamakan. Sebab perkembangan binatang adalah merupakan hasil dari pembawaan dan lingkungannya, binatang hanya ‘terserah’ pada pembawaan keturunan dan pengaruh lingkungannya. Dimana perkembangan pada binatang seluruhnya ditentukan oleh kodrat dan hukum-hukum alam. Sementara manusia tidak hanya dari pembawaan dan lingkungannya, melainkan manusia lebih memiliki pengalaman ‘empirik’ yang dapat mempengaruhi perkembangannya.
Dengan berpijak pada uraian di atas, maka nyatalah bagi kita bahwa jika ditanya tentang ‘perkembangan manusia itu bergantung pada pembawaan ataukah kepada lingkungan?’, atau manakah yang lebih dasar atau lebih kuat mempengaruhi perkembangan manusia itu?. Maka kita dapat mengatakan bahwa itu bukanlah bentuk pertanyaan yang perlu dicari jawabannya, sebab hal itu adalah merupakan suatu pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Begitu juga W. Stern tidak menerangkan seberapa besar perbandingan pengaruh kedua faktor tersebut dan hingga dewasa ini dominasi pengaruh kedua faktor itu belumlah dapat ditetapkan.[17]
Sesuai dengan corak dan karakteristik sosiologi, diantara tiga asas filsafat pendidikan dan teori perkembangan sosial di atas yang sabgat mendukung adalah teori empirisme. Di Amerika telah diselidiki seorang anak bernama Anna yang hidup terpencil di daerah Attic, Pensyilvanea di rumah seorang petani sejak umur 6 bulan sehingga umur 5 tahun. Setelah dipindah ke rumah biasa, Anna mulai belajar bahasa, mulai tertarik dengan anak lain dan turut bermain dengan anak-anak normal lainnya. Perubahan tingkah laku Anna karena berhubungan dengan lingkungannya dan pengalaman Anna sebelum dipindah ke rumah yang normal juga dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat.[18]
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pemikiran tentang pendidikan sejak dulu, kini, dan masa yang akan datang terus berkembang. Asas atau gerakan tersebut mempengaruhi pendidikan di seluruh dunia, termasuk pendidikan di Indonesia.
Walau ada studi yang mengatakan ada suatu aliran yang paling baik, dari asas-asas filsafat pendidikan di atas, kita tidak bisa mengatakan bahwa salah satu adalah yang paling baik. Sebab penggunaannya disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, situasi dan kondisinya pada saat itu, karena setiap asas memiliki dasar – dasar pemikiran sendiri. Asas-asas filsafat pendidikan yang ada yaitu, (1) aliran empirisme, (2) Nativisme, (3) dan (3) aliran konvergensi. Pada dasarnya aliran – aliran pendidikan kritis mempunyai suatu kesamaan ialah pemberdayaan individu. Inilah inti dari masyarakat pedagogik.
B. SARAN
Kajian tentang berbagai aliran atau gerakan pendidikan itu akan memberikan pengetahuan dan wawasan historis kepada tenaga kependidikan. Hal itu sangat penting agar para pendidik dapat memahami dan pada gilirannya kelak dapat memberikan kontribusi terhadap dinamika pendidikan itu.
Dan tidak kalah pentingnya adalah bahwa dengan pengetahuan dan wawasan historis tersebut, setiap tenaga kependidikan diharapkan memiliki bekal yang memadai dalam meninjau berbagai masalah yang dihadapi, serta pertimbangan yang tepat dalam menetapkan kebijakan dan tindakan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Assegaf, Abd. Rachman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2011.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan (sistem dan metode), Yogyakarta: Andi Offset. 1994.
George R. Knight, Filsafat Pendidikan, penerjemah: Mahmud Arif, Jakarta: Gama Media. 2007.
Jalaluddin & Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Yogyakarta: Ar Ruzz Media.2010.
Jalaluddin & Abdullah, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Gaya Media Pratama. 1997.
Maragustam, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), Yogyakarta: Nuha Litera, 2010.
Noorsyam, Mohammad, Filsafat Kependidikan dan Dasar Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional. 1988.
Noorsyam, Mohammad, Filsafat Kependidikan dan Filsafat Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Offset Printing. 1988.
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar.2010.
Purwanto, Ngalim, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2009.
Padil, Moh & Triyo Suprayitno, Sosiologi Pendidikan, Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers. 1991.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan (Dengan Pendekatan Baru)., Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2010.
Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan., Surabaya: Usaha Offset Printing. 1981.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidika, Jakarta: Rineka Cipta. 2005.
Zulkifli, Psikologi Perkembangan, Bandng: PT. Remaja Rosdakarya. 2009.
Dari Internet:
http://abdanmatin.blogspot.com/2012/01/hereditas-dan-lingkungan-dalam-proses.html.
http://www.artikata.com/arti-319710-asas.html.
http://ompubogo.wordpress.com/2011/02/25/pengantar-pendidikan-dan-teori-teori-belajar.html.
FOOTNOTE
[1]http://www.artikata.com/arti-319710-asas.html/ diakses pada hari : Selasa, 20 Maret 2012, pukul 23.00 WIB.
[2]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan), ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hal. 9.
[3] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, ( Yogyakarta: Belukar, 2010), hal. 21.
[4]http://ompubogo.wordpress.com/2011/02/25/pengantar-pendidikan-dan-teori-teori-belajar.html/ diakses pada hari : Sabtu , 24 Maret 201, pukul 11.23 WIB.
[5] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, terjemahan : Mahmud Arif ( Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 15.
[6] Ibid., hal. 21.
[7] Maragustam, Mencetak Pembelajar menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010), hal. 29-30.
[8] Ibid., hal. 31.
[9] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, ( Yogyakarta: Belukar, 2010), hal. 65.
[10] Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan), ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hal. 128.
[11] Moh. Padil & Triyo Suprayitno, Sosiologi Pendidikan, (Malang : UIN-Maliki Press, 2010), hal.76.
[12] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: teoritis dan praktis, (Bandung : Rosakarya, 2009), hal.16.
[13] Moh. Padil & Triyo Suprayitno, Sosiologi Pendidikan, (Malang : UIN-Maliki Press, 2010), hal.76.
[14] Ibid.,hal.74.
[15] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2010), hal.54.
[16] Moh. Padil & Triyo Suprayitno, Sosiologi Pendidikan, (Malang : UIN-Maliki Press, 2010), hal.76.
[17]http://ompubogo.wordpress.com/2011/02/25/pengantar-pendidikan-dan-teori-teori- belajar.html/ diakses pada hari : Sabtu, 24 Maret 201, 11.23 WIB.
[18] Moh. Padil & Triyo Suprayitno, Sosiologi Pendidikan, (Malang : UIN-Maliki Press, 2010), hal.76.