Setiap yang bernyawa pasti akan mati, begitu juga dengan manusia. Tiada manusia yang mengetahui kapan dia akan mati karena kematian merupakan salah satu hal yang dirahasiakan Sang Illahi. Kematian juga tidak dapat dikejar maupun dihindari. Oleh karena itu, setiap manusia harus siap jika sewaktu-waktu nyawa kita di ambil Yang Maha Kuasa.
Dengan adanya orang yang meninggal atau mati menjadi sebab dilakukannya pembagian warisan. Dalam syari’at Islam telah meletakkan dasar-dasar atau aturan dalam pembagian harta warisan dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; untuk mengatur pemindahan hak dan kewajiban dari pewaris.
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum perdata dan memiliki peranan yang sangat penting, bahkan sebagai cerminan dari sistem hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum kewarisan memiliki hubungan yang erat dalam kehidupan manusia.
Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa yang merupakan peristiwa hukum atau yang disebut dengan kematian. Meninggalnya seseorang, adalah peristiwa hukum sekaligus menimbulkan akibat dari hukum itu sendiri. Yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan dari hak dan kewajiban seseorang yang telah meninggal.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan sedikit tentang hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan dan terfokus mengenai apa saja yang menjadi syarat dan rukun pewarisan, sebab-sebab mewarisi, penghalang dalam warisan dan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban sebelum pembagian warisan; yang meliputi tajhiz al-janazah, pelunasan hutang (dain Allah dan dain al-‘ibad) serta wasiat.
Daftar isi
Syarat dan Rukun Pewarisan
Syarat
Ada tiga syarat warisan, yaitu:
a. Pewaris telah benar-benar meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal; misalnya, orang yang tertawan dalam peperangan dan orang hilang (mafqud) yang telah lama meninggalkan tempat tanpa diketehui hal ikhwalnya.
Menurut pendapat ulama Malikiyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu sampai berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat madzhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
b. Ahli waris benar-benar masih hidup ketiaka pewaris meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris maninggal. Maka, jika dua orang yang saling mempunyai hak waris satu sama lain meninggal bersama-sama atau berturut, tetapi tidak dapat diketahui siapa yang mati lebih dulu, di antara mereka tidak terjadi waris-mewaris. Misalnya, orang yang meninggal dalam suatu kecelakaan penerbangan, tenggelam, kebakaran dan sebagainya.
c. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau dengan kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan berhak waris.
Rukun Waris
Harta peninggalan, atau bagian harta peninggalan yang sesudah dipotong dengan kewajiban pewaris, harta tersebut harus dibagikan sebagai harta warisan. Maka, rukun waris yaitu terdiri dari:
a. Pewaris (muwarits)
Dalam KHI dijelaskan pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Berdasarkan definisi di atas, maka syarat terjadinya saling waris-mewarisi karena adanya orang yang meninggal atau yang disebut muwarrist, baik secara hakiki maupun berdasarkan putusan Pengadilan Agama.
b. Ahli Waris (Warits)
Yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Berdasarkan definisi tersebut, maka syarat menjadi ahli waris yaitu:
1) Mempunyai hubungan darah dengan pewaris, misalnya anak kandung, orang tua pewaris, dan seterusnya.
2) Mempunyai hubungan perkawinan (suami/isteri pewaris).
3) Mempunyai hubungan satu agama dengan pewaris.
4) Tidak terhalang untuk mendapatkan warisan, misalnya ia membunuh pewaris.
c. Harta Warisan (Mauruts atau Tirkah)
Harta warisan (Mauruts) yaitu harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan janazah (tajniz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Sedangkan yang dinamakan harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harta warisan merupakan harta bersih setelah dipotong biaya-biaya keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan janazah, biaya pembayaran hutang serta membayar wasiat pewaris.
Hutang si pewaris adalah hak penuh orang yang berpiutang dan wasiat secara hukum telah menjadi hak bagi yang diberi wasiat; sedangkan keduanya merupakan prasyarat dilakukannya pembagian warisan, maka tahap pertama yang dilakukan terhadap peninggalan dari pewaris tersebut adalah pemurnian terhadap harta atau membebaskannya dari keterkaitan hak orang lain di dalamnya.
Sebab-Sebab Mewarisi
Hubungan Kekeluargaan
Hubungan kekeluargaan dibagi menjadi dua, yaitu kekeluargaan yang sebenarnya (haqiqi) dan hubungan kekeluargaan yang bersifat hukmi (yaitu kekeluargaan yang disebabkan oleh pembebasan budak). Kekerabatan yang sebenarnya, yaitu hubungan darah yang mengikat para waris dengan muwaris. Seperti; ayah, ibu, anak, cucu, saudara-saudara sekandung, seayah, seibu dan sebagainya.
Dalil tentang kekeluargaan yang haqiqi, yaitu terdapat dalam firman Allah Q.S. Al-Anfal ayat 75. Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui segala sesuatu.
Hubungan Perkawianan
Yaitu suami atau isteri, meskipun belum pernah berkumpul, atau telah bercerai, tetapi masih dalam masa iddah tala’ raj’i.
Dalilnya yaitu firman Allah Q.S An-Nisa’ ayat 12.
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan isteri-isterimu…
Hubungan Wala’
Yakni majikan mewarisi kepada budaknya yang telah ia merdekakan, tetapi tidak sebaliknya.
Hubungan Agama
Bila seorang meninggal dunia namun tidak memiliki ahli waris, maka harta peninggalannya diserahkan kepada baitul mal untuk umat Islam sebagai warisan, bukan untuk perorangan akan tetapi untuk kemaslakhatan umum.
Untuk mengetahui tentang hubungan agama, dalam Kompilasi Hukum Islam telah dijelaskan bahwa ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
Penghalang Warisan
Adapun yang menjadi sebab seseorang itu tidak mendapatkan warisan (hilangnya hak kewarisan/penghalang mempusakai) adalah disebabkan secara garis besar dapat diklasifikasikan kepada:
Halangan kewarisan
Dalam hal hukum kewarisan Islam yang menjadi penghalang bagi seorang ahli waris untuk mendapatkan warisan karena hal berikut:
a. Pembunuhan
Apabila seorang waris membunuh muwarisnya, maka dia tidak dapat mewarisi harta muwarisnya itu, karena pembunuh tidak berhak waris atas harta peninggalan orang yang dibunuh.
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
1) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
2) Dipersalahkan secara menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
b. Berlainan Agama
Adapun yang dimaksud dengan berlainan agama adalah berbedanya agama yang dianut antara pewaris dan ahli waris, artinya seseorang muslim tidaklah mewarisi yang bukan muslim, begitu pula sebaliknya seseorang yang bukan muslim tidaklah mewarisi dari seseorang muslim.
c. Perbudakan
Budak dinyatakan sebagai penghalang mewarisi, karena status dirinya yang dianggap tidak cakap hukum.
Firman Allah surat An-Nahl: 75.
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu.
Kelompok keutamaan dan hijab
Sebagaimana hukum waris lainnya, hukum waris Islam juga mengenal pengelompokan ahli waris kepada beberapa kelompok keutamaan, misalnya anak lebih utama dari cucu, ayah lebih dekat kepada anak dibandingkan saudara, ayah lebih utama dibandingkan kakek. Kelompok keutamaan ini juga dapat disebabkan karena kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya saudara sekandung lebih utama dibandingkan saudara seayah, atau seibu, sebab saudara kandung mempunyai dua garis penghubung (yaitu ayah dan ibu) sedangkan saudara seayah atau seibu hanya dihubungkan oleh satu garis penghubung.
Kelompok keutamaan ini sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan QS, Al-Anfal ayat 75.
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Maksudnya yang jadi dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara Muhajirin dan Anshar pada permulaan Islam.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa penentuan kelompok keutamaan dalam hukum waris Islam lebih dominan ditentukan oleh jarak-jarak hubungan ketimbang garis keturunan kekerabatan, dan oleh karena itu pula seorang keturunan ke bawah tidaklah lebih utama dibandingkan dengan seseorang garis ke atas, sebab kedua mereka mempunyai jarak yang sama dengan si mayit.
Dengan adanya kelompok keutamaan di antara para ahli waris ini dengan sendirinya menimbulkan akibat adanya pihak keluarga yang tertutup (terhijab) oleh ahli waris yang lain, dengan demikian di dalam hukum waris Islam dikenal “Lembaga Hijab”. Yaitu terhalangnya seseorang ahli waris untuk menjadi ahli waris yang berhak, disebabkan adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama daripadanya.
Hal-Hal yang Perlu Diselesaikan Sebelum Harta Warisan Dibagikan
Sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu diperhatikan berbagai hak yang menyangkut harta peninggalan itu. Misalnya, si mayit pada waktu hidupnya memiliki hutang yang belum sempat dibayarkan, meninggalkan suatu pesan (wasiat) yang menyangkut terhadap harta peninggalan, dan sebagainya.
Hak yang berhubungan dengan harta peninggalan, yaitu;
Penyelenggaraan Janazah (Tajhiz al-Janazah)
Tahjiz al- janazah (biaya perawatan mayit) adalah biaya-biaya yang diperlukan mulai dari saat meninggalnya si mayit sampai dengan penguburannya. Biaya itu mencakup biaya memandikan mayit, mengafani, mengusung dan menguburkan si mayit.
Biaya penyelenggaraan janazah sejak dimandikan sampai dimakamkan dapat diambil dari harta peninggalan, dengan ketentuan tidak berlebih-lebihan dan dalam batas yang dibenarkan ajaran agama Islam. Hal yang tidak dituntunkan dalam ajaran Islam tidak perlu dilakukan. Apabila dilakukan juga, karena desakan tradisi misalnya, tidak dibiyayai dengan harta peninggalannya.
Hutang Mayit (Pewaris)
Hutang adalah tanggungan yang wajib diadakan pelunasannya dalam suatu waktu tertentu. Kewajiban pelunasan hutang timbul sebagai dari prestasi (imbalan) yang telah diterima oleh si berhutang.
Apabila seseorang yang meninggalkan hutang kepada orang lain, maka seharusnya hutang tersebut dibayar/dilunasi terlebih dahulu (dari harta peninggalan si mayit) sebelum harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ahli warisnya.
Menurut M. Hasan Ali, hutang ada dua, yaitu hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Hutang kepada Allah, seperti zakat, haji (berniat pergi haji ketika masih hidup), membayar kafarat dan nazar.
Setelah diambil untuk biaya penyelanggaraan janazah, harta peninggalan diambil lagi untuk melunasi hutang mayit (pewaris). Apabila jumlah hutang ternyata lebih besar dari pada harta peninggalan, pembayarannya dicukupi dengan harta peninggalan yang ada. Apabila dalam hal yang akhir ini pihak kreditur lebih dari satu orang, kepada masing-masing kreditur hanya dibayar sesuai dengan perbandingan besar kecil hutangnya. Ahli waris tidak dibebani kewajiban menutup kekurangan dengan harta mereka sendiri. Apabila ahli waris menyanggupi untuk menutupi kekurangannya hal itu dipandang sebagai kebaikan ahli waris, bukan merupakan kewajiban hukum.
Wasiat
Kalau diperhatikan dari segi asal kata wasiat berasal dari bahasa arab, yaitu kata washshaitu asy-syaia, ushi artinya aushaltuhu yang dalam bahasa Indonesia berarti “aku menyampaikan sesuatu”.
Menurut Sayid Sabiq pengertian wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang berwasiat meninggal.
Menurut ketentuan hukum Islam, bagi seseorang yang merasa telah dekat ajalnya dan ia meninggalkan harta yang cukup (apalagi banyak) maka diwajibkan kepadanya untuk membuat wasiat bagi kedua orang tuanya (demikian juga bagi kerabat yang lainnya), terutama sekali apabila ia telah pula dapat memperkirakan bahwa harta mereka (kedua orang tua dan kerabat lainnya) tidak cukup untuk keperluan mereka.
Menyangkut pelaksanaan wasiat ini menurut beberapa penulis harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Ijab kabul.
b. Ijab kabul harus tegas dan pasti.
c. Ijab kabul harus dilakukan oleh orang yang memenuhi persyaratan untuk itu.
d. Ijab dan kabul tidak mengandung ta’liq.
Apabila dilihat dari pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan hukum sepihak (merupakan pernyataan sepihak), jadi dapat saja wasiat dilakukan tanpa dihadiri oleh penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis.
Bahkan dalam praktiknya dewasa ini, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di belakang hari sering pernyataan wasiat itu dilakukan dalam bentuk akta autentik, yaitu perbuatan secara notarial, apakah dibuat oleh atau dihadapan notaris atau disimpan dalam protokol notaris.
Kompilasi Hukum Islam Indonesia khususnya dalam ketentuan yang terdapat dalam Bab V Pasal 194 dan 195 menyebutkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi pelaksanaan pewasiatan adalah sebagai berikut.
a. Pewasiyat harus orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan didasarkan kepada kesukarelaannya.
b. Harta benda yang diwasiyatkan harus merupakan hak si pewasiat.
c. Peralihan hak terhadap barang/benda yang diwasiatkan adalah setelah si pewasiat meninggal dunia.
Menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pewasiatan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Apabila wasiat itu dilakukan secara lisan, maupun tertulis hendaklah pelaksanaannya dilakukan dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris.
b. Wasiat hanya bibolehkan maksimal sepertiga bagian dari harta warisan, kecuali ada persetujuan semua ahli waris.
c. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
d. Pernyataan persetujuan poin 2 dan 3 dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis di hadapan dua orang saksi, atau dibuat dihadapan notaris.
Persoalan wasiat ini apabila dihubungkan dengan persoalan pembagian harta warisan, maka haruslah terlebih dahulu dikeluarkan apa-apa yang menjadi wasiat dari si mayit, barulah kemudian (setelah dikeluarkan wasiat) harta tersebut dibagikan kepada ahli waris.