Daftar isi
Istishab
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
- Pengertian Istishab
2. Syarat-syarat Istishab
3. Macam- Macam Istishab
4. Contoh Istishab
5. Dasar Hukum Istishab
6. Kehujjahan Istishab
7. Implikasi dan Kaedah-Kaedahnya
8. Relevansi Istishab dengan UU Positif serta terhadap Perkembangan Masyarakat pada Zaman Sekarang
BAB II
PEMBAHASAN
ISTHISHAB
A. Pengertian Istishab
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((استصحب dalam shigat is-tif’âl (استفعال), yang berarti: استمرار الصحبة. Kalau kata الصحبة diartikan “sahabat” atau “teman”, dan استمرار diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.[1]
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:
1. Imam Isnawi
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.[2]
3. Abdul-Karim Zaidan
Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.[3]
Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.[4]
B. Syarat-syarat Istishab
1. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu.
2. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.
C. Macam- Macam Istishab
Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu adalah[5] :
1. Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah
Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya dianggap masih ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “ Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu Qayyim al- Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah.
Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada.
Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang membatalkannya.
Sedangkan Ulama Malikiah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya. Menurut mereka dalam kasus seperti ini istishab tidak berlaku, karena apabila sesorang merasa regu atas keutuhan wudhunya sedangkan sedangkan di dalam keadaan shalat, maka shalatnya batal dan ia harus berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya.
3. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh (yang membatalkannya).
Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang membatalkannya. Kasus seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk istishab. Tetapi menurut ulama ushul fiqih lainnya, contoh di atas tidak dinamakan istishab tetapi berdalil berdasarkan kaidah bahasa.
4. Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i.
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’. Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah, istishab dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah, istishab seperti ini juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang.
5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?
Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya.
Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait dengan hukum sah nya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.
D. Contoh Istishab
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.[6]
E. Dasar Hukum Istishab
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.[7]
F. Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi[8] :
1. Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Dengan kata lain isthishab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya.
2. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada d i masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.
3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya. Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Akibat hukum perbedaan kehujjahan istishab : Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan kepada ahli waris lain. Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini adalah karena istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan wakaf)[10].
G. Implikasi dan Kaedah-Kaedahnya
الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
الاصل في الاشياء الا باحة
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”
الاصل في الانسان البراءة
“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”
بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت باليقين لايزول
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
H. Relevansi Istishab dengan UU Positif terhadap Perkembangan Masyarakat Zaman Sekarang
Istishab dipergunakan dalam UU Pidana sebagai landasan, karena segala sesuatu dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan keharamannya, dan kebanyakan dari hukum UU Perdata pun demikian. Dalam istishab pada dasarnya seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti secara meyakinkan bahwa orang tersebut bersalah. Prinsip ini di dalam hukum positif Indonesia khususnya dikenal dengan istilah praduga tak bersalah.[12]
Bab III. Kesimpulan
A. Kesimpulan
- Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada.
- Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
- Dalam melihat hukum istishab, kita jangan hanya melihat dari satu sudut pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri dari keseluruhan aspeknya.
B. Saran
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca agar sekiranya dapat menjadi bahan perbaikan dalam pembuatan makalah dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Zaidan. Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh. Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4. 1994.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih: Kidah Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Amani. 2003.
Djazuli, A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
M. Fadlil Said An-Nadwi. Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waroqot. Surabaya : Al-Hidayah. 2004.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta : Amzah. 2005.
Umam, Chaerul, dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 78
M. Fadlil Said An-Nadwi, Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waroqot, (Surabaya : Al-Hidayah, 2004), hlm. 134
Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994), hlm. 267
Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm.79
Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994), hlm. 268
Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994), hlm. 274
[7] Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994), hlm. 275
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.82
[9] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : CV. Pustaka Setis, 2010), hlm. 127.
[10]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih: Kidah Hukum Islam, ( Jakarta : Pustaka Amani, 2003 ), hlm. 122.
[11] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : Amzah, 2005 ), hlm.145.
[12]A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.221