Daftar isi
Kekerasan dan Pelecehan Seksual
Kali ini, admin akan membagikan sebuah makalah menarik yang di tulis oleh vanny septyana yang sudah sedikit admin tambah maupun ubah atau disesuaikan (modifikasi) yang dimaksudkan untuk menjadi contoh pembuatan makalah tentang Kekerasan Seksual Pada Anak.
Bab 1. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Anak adalah titipan tuhan pada orang tuanya, dan antinya akan menggantikan peran para pendahulunya dalam membangun suku, bangsa dan negaranya. Anak-anak haruslah dijaga dan dilindungi serta diarahkan dan harus diajar serta dibimbing dengan baik. Dalam masa pertumbuhan artinya pikiran mereka masih labil dalam artian perlunya perlindungan terhadap logika, emosi/perasaan dan perbuatan mereka. Perlindungan pada anak merupakan kewajiban dari kita semua bukan hanya kewajiban orang tua dan keluarganya saja, bahkan dalam hali ini, negara sebagai lembaga tertinggi harus daan wajib untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk ancaman.
Sebab anak-anak nantinyalah yang akan menjadi nahkoda yang membawa negara menuju impian dan tujuan bersama. Mereka adalah generasi yang menjadi garda terdepan bagi pembagunan negara.
Meski negara kita Indonesia tercinta telah membuat seperangkat aturan untuk melindungi hak anak namun masih banyak pelanggaran pada hak anak yang terjadi. Terutama pelanggaran seksual masih marak terjadi hingga kini.
Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap pelecehan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai pihak yang lemah dan memiliki ketergantungan yang tinggi kepada orang dewasa di sekitarnya.
Dari seluruh kasus pelecehan seksual pada anak baru terungkap setelah peristiwa itu terjadi, dan tak sedikit yang berdampak fatal. Dampak yang diakibatkan dari pelecehan seksual yang dialami anak dapat berupa fisik, psikis, dan sosial.
Pelanggaran hak anak berupa pelecehan seksual menjadi faktor krusial yang dapat merusak jiwa dan mental korban. Mereka dapat mengalami depresi sehingga menutup diri dari pergaulan dan apatis. Risiko paling buruk adalah mereka merasa tidak punya semangat hidup dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tentunya dampak tersebut adalah hal yang tidak diinginkan.
Jika luka fisik dapat terobati dengan bantuan medis, berbeda hal dengan psikis yang memerlukan pendampingan psikologis dan rehabilitasi psikis secara berkesinambungan.
Bukan hanya korban yang terdampak, tetapi juga keluarga dan anak-anak lainnya juga akan terpengaruh contohnya dalam hal tingkat kepercayaan akan penegakan hukum menjadi berkurang, menjadi sumber momok yang mecemaskan bagi anak seusia dan lainnya.
Siapapun dapat menjadi pelaku pelecehan seksual. Apalagi jika pelaku pelecehan seksual adalah orang terdekat (keluarga/tetangga/teman) dan lebih parah jika pelaku adalah sosok yang seharuhnya melindungi dan membimbing serta orang yang memiliki pengaruh dalam kehidupan bermasyarakat.
Korban pelecehan seksual pada umumnya mengalami trauma atas kejadian yang mereka alami dan hal tersebut akan selalu diingat dalam benak pikiran mereka sehingga mengakibatkan ketidakstabilan mental korban apalagi jika kondisi lingkungan keluarga yang tidak harmonis.
Maka dari itu, dengan makalah ini mencoba menyampaikan bahwa kita harus menyadari bahwa dunia anak-anak masih tidak aman, terlebih apabila kita sebagai orang dewasa lalai dalam pengawasan. Kemudian dengan adanya makalah ini, bahwa kita perlu untuk mengetahui psikologi anak agar menjadi orang tua yang cerdas dan tanggap ketika anak mengalami masalah yang mempengaruhi keadaan mental dan emosional/jiwa nya.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana definisi pelecehan seksual?
- Bagaimana penegakan hukum kasus tersebut?
- Bagaimana dampak psikologis anak yang menjadi korban pelecehan seksual?
- Bagaimana peran keluarga dalam mengatasi masalah psikologis anak yang menjadi korban pelecehan seksual?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah singkat ini bertujua agar dapat:
- Mengetahui pengertian pelecehan seksual pada anak;
- Mengetahui bentuk-bentuk pelecehan seksual pada anak;
- Mengetahui tanda-tanda pelecehan seksual pada anak;
- Dapat mengetahui kondisi pelecehan seksual pada anak di Indonesia;
- Dapat mengetahui dampak psikologi anak korban kekerasan seksual;
- Mengetahui peran keluarga dalam mengatasi masalah psikologis anak yang menjadi korban pelecehan.
Bab II. Pembahasan
A. Definisi Pelecehan Seksual pada Anak.
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki olehkorbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dantindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas yang berkonotasi seksual bisadianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur sebagai berikut,yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadianditentukan oleh motivasi pelaku,kejadian tidak diinginkan korban, danmengakibatkan penderitaan pada korban. [Tulus Winarsunu, 2002 Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. Malang : UMM Press]
Menurut Kementrian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud) yang dikutip dari https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. (Kemedikbud. https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/kekerasan-seksual/)
Menurut Collier (1998) pengertian pelecehan seksual disini merupakan segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang mendapat perlakuan tersebut, dan pelecehan seksual yang dapat terjadi atau dialami oleh semua perempuan. [Rohan Collier, 1998. Pelecehan Seksual: Hubungan Dominasi Mayoritas dan Minoritas. Jakarta: Tiara Wacana]
Sedangkan menurut Rubenstein (dalam Collier,1998) pelecehan seksual sebagai sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung penerima.
Dari beberapa definisi pelecehan seksual dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang mengganggu orang lain yang melanggar peraturan perundang-undangan berupa tindakan yang dilakukan seseorang kepada orang lain dalam konteks seksual yang dilakukan secara sepihak atau tidak dikehendaki oleh korbannya.
Pelecehan seksual terhadap anak dapat terjadi kepada siapa saja, kapansaja, dan dimana saja. Siapapun mempunyai potensi untuk menjadi pelaku pelecehan seksual pada anak. Pelaku tidak pernah berhenti menjadi ancaman bagi anak-anak, mereka cenderung memodifikasi target yang beragam, dan siapapun bisa menjadi target pelecehan seksual, bahkan anak ataupun saudaranya sendiri, itu sebabnya pelaku pelecehan seksual kepada anak ini dapat dikatakan sebagai predator. Berbagai bentuk tindakan pelecehan seksual dilakukan oleh pelaku untuk memuaskan hasrat seksualnya tanpa pandang bulu.
Secara umum, pelecehan seksual ada 5 bentuk [Susi wiji utami, Hubungan antara kontrol diri dan psikologi, vol 1. No.1, 2016], yaitu:
- Pelecehan fisik, yaitu : Sentuhan yang tidak diinginkan mengarahkeperbuatan seksual seperti mencium, menepuk, memeluk,mencubit, mengelus, memijat tengkuk, menempelkan tubuh atausentuhan fisik lainnya.
- Pelecehan lisan, yaitu : Ucapan verbal/komentar yang tidakdiinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, termasuk lelucon dan komentar bermuatanseksual.
- Pelecehan non-verbal/isyarat, yaitu : Bahasa tubuh dan atau gerakantubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang,menatap tubuh penuh nafsu, isyarat dengan jari tangan, menjilat bibir, atau lainnya.
- Pelecehan visual, yaitu : Memperlihatkan materi pornografi berupafoto, poster, gambar kartun, screen saver atau lainnya, atau pelecehan melalui e-mail , SMS dan media lainnya.
- Pelecehan psikologis/emosional, yaitu : Permintaan-permintaan danajakan-ajakan yang terus menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.
Berdasarkan jenisnya (Kemedikbud. https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/kekerasan-seksual/), kekerasan atau pelecehan seksual dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual yang dilakukan secara:
- verbal,
- nonfisik,
- fisik, dan
- daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Selain pemerkosaan, perbuatan-perbuatan di bawah ini termasuk kekerasan seksual.berperilaku atau mengutarakan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan penampilan fisik, tubuh ataupun identitas gender orang lain (misal: lelucon seksis, siulan, dan memandang bagian tubuh orang lain);
- Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, dan/atau menggosokkan bagian tubuh pada area pribadi seseorang;
- Mengirimkan lelucon, foto, video, audio atau materi lainnya yang bernuansa seksual tanpa persetujuan penerimanya dan/atau meskipun penerima materi sudah menegur pelaku;
- Menguntit, mengambil, dan menyebarkan informasi pribadi termasuk gambar seseorang tanpa persetujuan orang tersebut;
- Memberi hukuman atau perintah yang bernuansa seksual kepada orang lain (seperti saat penerimaan siswa atau mahasiswa baru, saat pembelajaran di kelas atau kuliah jarak jauh, dalam pergaulan sehari-hari, dan sebagainya);
- Mengintip orang yang sedang berpakaian;
- Membuka pakaian seseorang tanpa izin orang tersebut;
- Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam seseorang untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang sudah tidak disetujui oleh orang tersebut;
- Memaksakan orang untuk melakukan aktivitas seksual atau melakukan percobaan pemerkosaan; dan melakukan perbuatan lainnya yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. ((Kemedikbud. https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/kekerasan-seksual/))
Kata kunci yang menjadi indikator suatu kekerasan adalah paksaan. Kegiatan apa pun yang mengandung paksaan adalah kekerasan. [Kemedikbud. https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/kekerasan-seksual/]
B. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak di Indonesia
Pengaduan dari korban membuka celah hukum untuk menegakkan keadilan. Pihak yang bersalah harus dihukum dan pihak korban harus mendapatkan keadilan.
Hukum ada karena masyarakat memerlukan ketertiban, keamanan,serta jauh dari kejahatan yang mengancam. Maka dari itu, laporkan kejadian kepada pihak kepolisian, demi tegaknya keadilan korban dan terhindar dari kejahatan.
Pelaku tindakan pelecehan seksual dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi bahwa
“ Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
Pelaku dapat dikenai pasal tersebut karena melakukan upaya bejat dengan motif rayuan/ bujukan untuk melakukan pelecehan seksual kepada korban yang disertai dengan ancaman.
Sebagaimana dimakasud dalam Pasal 76 E UU 35 Tahun 2014 yang berbunyi
”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu daya, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk, anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
“Apakah ada instrumen hukum lain yang mengatur tetang pelecehan seksual ?” Ada, tetapi dalam KUHP tidak dike nal istilah “Pelecehan seksual” . KUHP hanya mengenal istilah “Perbuatan Cabul” yang diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296.
Yang dimaksud dengan perbuatan cabul adalah perbuatan yang melanggarrasa kesusilaan atau perbuatan lain yang keji yang semuanya dalam lingkungan nafsu birahi. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba raba dan sebagainya.
Kasus tersebut dalam KUHP dapat dijerat dengan pasal 292 KUHP yang berbunyi
“ Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesamakelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”
Dari kedua peraturan tersebut terjalin sebuah asas penafsiran hukum yaitu Lex specialis derogat specialit (hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum), dalam hal ini UU No. 35 Tahun 2014 merupakan lex specialist, sedangkan KUHP merupakan lex generalis.
Jadi intinya pelecehan seksual dapat dijerat dengan KUHP pasal 289 sampai dengan pasal 296 tentang perbuatan cabul. Dalam hal terdapat bukti yang cukup, Jaksa penuntut umum akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.
Pembuktian Hukum Pidana adalah berdasarkan Pasal 184 UU No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menggunakan lima alat bukti yaitu:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa
Melihat dari sisi pasal di atas, maka kesulitan utama dalam kasus pelecehan seksual adalah dengan meghadirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dalam proses perkara tersebut. Karena pada umumnya pelaku melakukan pelecehan seksual di lingkungan yang terbatas dan tertutup.
Dalam hal terkait pelecehan seksual, yang pada umumnya dapat dijadikan sebagai alat bukti adalah Visum et repertum sebagaimana dimaksud dalam pasal 187 huruf c KUHAP yaitu:
“Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”.
Orang tua ketika mendengar anaknya menjadi korban pelecehan seksual harus merespon dengan tanggap dengan langsung melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian.
Karena kebanyakan orang tua yang anaknya menjadi korban kekerasan seksual merasa malu untuk melaporkannya kepada pihak kepolisian padahal dengan kita tidak menindaklanjuti kasus tersebut sama saja seperti kita membebaskan pelaku berkeliaran untuk melakukan kejahatan yang sama.
Pelaku harus mendapat hukuman yang setimpal, meskipun kejahatan seksual yang dilakukan oleh pelaku tidak sampai berlanjut pada persetubuhan, namun akibat yang ditimbulkan berpengaruh besa rterhadap psikis korban. Korban merasa takut utnuk masuk sekolah, karena ditertawakan oleh teman-temannya dan berbagai tindakan lain yang dapat memperburuk psikis korban akibat lingkungan yang tidak mendukung keberadaan mereka.
Pemerintah dan masyarakat harus bekerja lebih keras lagi dalam upaya pencegahan segala bentuk kejahatan yang mengancam anak. Penegakan hukum terhadap pelecehan seksual harus selalu diupayakan oleh pemerintah.
Hukum harus ditegakan, sistem peradilan harus berjalan dengan baik danadil, para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat pencari keadilan.
Dalam hal ini pemerintah dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) harus bersinergi untuk terus melakukan pencegahan terhadap pelecehan yang terjadi pada anak di Indonesia. Pemerintah tidak boleh hanya sibuk mengurusi birokrasi dan politik saja, justru pelecehan pada anak merupakan masalah yang sangat krusial karena menyangkut generasi masa depan Indonesia. Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegasdan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus pelecehan seksual terhadap anak
C. Dampak Psikologis Anak yang Menjadi Korban Pelecehan Seksual
Mengutip pernyataan dari Kemendikbud yang dipublikasi melalui merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id, pada dasarnya hal yang membedakan kekerasan seksual dengan jenis kekerasan yang lainnya adalah dampaknya yang amat besar dan mendalam bagi korban, tetapi dianggap paling sulit dibuktikan.
Ada beberapa konsep dasar yang perlu kita pelajari supaya dapat lebih memahami mengapa kasus kekerasan seksual lebih sulit diproses dibandingkan jenis kekerasan lainnya. Berikut ini beberapa konsep khas yang ada dalam kekerasan seksual.
1. Kelumpuhan Sementara atau Tonic Immobility
Tonic immobility adalah keadaan lumpuh sementara yang tak disengaja, dimana seorang individu tidak dapat bergerak, atau dalam banyak kasus, bahkan tak dapat mengeluarkan suara (Mölle, 2017). Menurut sebuah studi yang dilakukan terhadap 300 perempuan yang mengunjungi klinik penanganan korban perkosaan, “7 dari 10 orang korban kekerasan seksual mengalami tonic immobility yang signifikan” (Miller, 2017).
Korban kekerasan seksual seringkali dipersalahkan karena tidak melawan, berteriak atau lari saat mengalami kekerasan, padahal saat itu mereka masih mengalami tonic immobility. Konsep ini penting untuk kita pahami, supaya kita tidak dengan mudah menganggap bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada korban adalah aktivitas seksual “suka sama suka” karena menganggap korban tidak melawan, berteriak, berlari ataupun melaporkan saat kejadian. Diamnya korban tidak berarti setuju ataupun suka sama suka.
2. Menyalahkan Korban atau Victim Blaming
Tindakan menyalahkan korban adalah sikap yang menunjukkan bahwa korbanlah yang bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang dialaminya, bukan pelaku. Menyalahkan korban terjadi ketika korban diasumsikan melakukan sesuatu untuk memprovokasi atau menyebabkan kekerasan seksual melalui tindakan, kata-kata, atau pakaiannya.
Salah satu penyebab minimnya pelaporan korban kekerasan seksual atas kejadian yang dialaminya adalah victim blaming yang dilakukan oleh bermacam pihak, baik itu dari aparat penegak hukum, lingkungan tempat kerja maupun pendidikan, atau bahkan anggota keluarga korban sendiri.
Biasanya, bentuk victim blaming vyang dilakukan terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia berkisar pada cara berpakaian korban yang dianggap “mengundang”, kata-kata dan perilaku korban yang dianggap “provokatif”, dan respons korban yang tidak melawan pelaku.
Oleh karena itu, bila konsep tonic immobility tadi tidak dipahami, dampaknya akan terjadi pada dua tingkat.
- Internal: menyalahkan diri sendiri atau self-blaming yang dilakukan oleh korban terhadap dirinya sendiri; dan
- Eksternal: pihak lain menyalahkan korban atau victim blaming yang dilakukan oleh orang lain terhadap korban.
3. Tuduhan Palsu atau False Accusation
Hal lain yang juga membuat banyak korban kekerasan seksual enggan melaporkan kasusnya adalah pandangan bahwa mereka melakukan tuduhan palsu. Tidak hanya itu, banyak korban kekerasan (seksual) yang kemudian malah dilaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik, karena dianggap tidak memiliki bukti yang cukup kuat.
4. Pembebanan Pembuktian
Tantangan yang dihadapi korban dan pendamping korban kekerasan seksual juga ditambah lagi dengan pembebanan pembuktian yang seolah menjadi “tanggung jawab” pihak korban untuk membuktikan keabsahan kasus yang dilaporkannya. Tidak jarang, saat melaporkan ke pihak berwenang, pihak korban yang dituntut untuk mencari identitas dan data lengkap pelaku hingga memberikan rujukan pasal dalam aturan hukum yang bisa digunakan oleh aparat untuk memproses kasusnya lebih lanjut.
Psikologi anak merupakan area penelitian yang sangat luas dan kompleks, mencakup bagaimanakah seseorang berubah pada saat ia beranjak dewasa, mulai dari saat kelahiran hingga masa remaja dan mencoba untuk menjelaskan mengenai beragam perubahan penting yang terjadi. Misalkan mengapa anak usia 3 tahun, anak usia 8 tahun dan anak usia remaja berbeda hanya semata karena pengalaman mereka akan lingkungan sekitarnya ataukah ini juga dipengaruhi oleh perubahan biologis yang terjadi secara internal di dalam tubuh mereka. ((Kemedikbud. https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/kekerasan-seksual/))
Psikologi anak juga mempelajari sisi emosional anakyang cepat berubah karena masalah yang mereka hadapi seperti mengapa mereka sedih, tidak mau berbicara, tiba-tiba menangis ataupun ketakutan yang berlebihan. Salah satu penyebab terganggunya psikis anak adalah adanya tindakan pelecehan. [Devita Retno, “Psikologi Anak”, diakses : https://dosenpsikologi.com/psikologi-anak pada 30Desember 2017.]
Pelecehan dalam bentuk apapun akan menimbulkan dampak bagi korbannya, demikian pula dengan kasus pelecehan seksual pada anak. Beberapa dampak dari pelecehan seksual pada anak diantaranya dampak psikologis, dampak fisik, dan dampak hubungan sosial.
Dalam perspektif psikologis pelecehan pada anak dapat mempengaruhi kesehatan psikologissecara permanen dan dapat menyebabkan rusaknya emosi anak. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat terwujud dalam masalah-masalah seperti mimpi buruk berulang-ulang, kecemasan, rasa takut, depresi hingga penarikan diridari lingkungan. Pada beberapa kasus ekstrem, pelecehan pada anak dapatmenimbulkan depresi berkepanjangan hingga menyebabkan bunuh diri. [Brigitta Erlita, “Studi kasus tentang dampak psikologis anak korban pelecehan dalam keluarga”. [https://repository.usd.ac.id/2211/2/029114088_Full.pdf}
Secara Psikologi, anak yang menjadi korban pelecehan, jiwanya akan diliputi rasa dendam, marah, dan penuh kebencian yang tadinya hanya ditujukan kepada orang yang melakukannya dan kemudian menyebar kepada objek-objek atau orang-orang lain. Selain itu juga dapat menyebabkan trauma yang mendalam bagi korbannya.
Ketika bahaya fisik mengancam otoritas tubuh, kemampuan melarikan diri adalah naluri yang tidak dapat dikendalikan sebagai bentuk pertahanan diri. Kondisi ini menyebabkan tubuh mencurahkan banyak energi untuk mengeluarkan reaksi perlawanan. Sirkuit pendek ini memantul dalam tubuh dan pikiran seseorang yang dapat menyebabkan Depresi, Rape Trauma Syndrom (RTS), disosiasi ,gangguan makan dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). [M. Anwar Fuadi, “Dinamika Psikologi Pelecehan seksual: Sebuah Studi Fenomenologi”, Vol 8. No.2, 2011, hlm. 194. ]
Berikut adalah penjelasan dari beberapa dampak psikologis anak yang menjadi korban pelecehan seksual:
- Depresi adalah gangguan mood yang terjadi ketika perasaan yangdiasosiasikan dengan kesedihan dan keputusasaan yang berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama.
- Rape Trauma Syndrom (RTS) adalah suatu kondisi yang menyebabkankorban pelecehan seksual mengalami ketakutan yang berlebihan, syok beberapa dari mereka cenderung merasa kedinginan, pingsan, disorientasi,gemetar, mual dan muntah.
- Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan suatu sindromkecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional dan kilas balikdari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosimelampaui batas ketahanan orang biasa. [Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A, “Sinopsis Psikiatri Jilid 1 Edisi ke- 7”, 2007, (Jakarta: Binarupa Aksara), hlm. 86-108]. Hikmat (2005) mengatakan PTSD sebagai sebuah kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa yangmencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (Pelecehan Seksual), atau perang. [Hikmat, E.K, “Trauma Pasca -perang”, diakses Http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/15/1105.html. pada 30 Desember 2017.]
- Disosiasi adalah reaksi yang terjadi akibat trauma kronis yang diderita olehkorban di masa lalu yang menyebabkan ia menjadi sering melamun.
- Gangguan makan, seseorang yang menjadi korban pelecehan seksual membuat kondisi psikisnya terganggu sehingga mempengaruhi pola makannya.
Selain itu banyak sekali pengaruh buruk yang ditimbulkan dari pelecehan seksual. Pada anak kecil dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, kecemasan tidak beralasan, perubahan pola tidur anak mungkin disertai dengan mimpi buruk, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dan lain-lain.
Untuk meminimalisasi dampak psikis dan fisik yang lebih buruk, orang tua harus cepat, tanggap, serta peka terhadap kondisi yang dialami anak. Tidak semua anak terbuka atas apa yang mereka alami, pada umumnya mereka takut untuk mengatakannya pada orang tua mereka karena adanya ancaman dari pelaku. Maka dari itu kenalilah tanda-tanda anak yang mengalami pelecehan seksual agar segera mendapat penanganan secara medis dan psikis
D. Peran Keluarga dalam Mengatasi Masalah Psikologis Anak yang Menjadi Korban Pelecehan Seksual
“Ada luka yang tak pernah tampak di tubuh, luka yang mendalam lebih menyakitkan dari luka berdarah manapun.”
– Laurell Hamilton
Pelecehan seksual bukan hanya meninggalkan luka fisik semata tetapi jugaluka psikis yang tidak kalah luar biasa sakitnya. Luka psikis menyerang kejiwaankorban dengan menimbulkan gangguan berupa kehilangan percaya diri, menarik diri dari pergaulan, depresi berkepanjangan dan sebagainya.
Pada umumnya, ketika seseorang di masa kecilnya mengalami kejadian yang sangat buruk ataupun sangat menyenangkan, dia akan terus mengingatnya hingga dewasa. Otak mengganggap hal tersebut sebagai hal yang perlu diingat sehingga suatu saat di masa depan kita mencoba untuk mengingatnya kembali, kita akan ingat.
Jika hal yang di ingat merupakan hal yang menyenangkan tentu bukanmasalah, tetapi bagaimana jika sesuatu yang menyakitkan di masa lalu teringat di masa kini? Ini adalah masalah bagi anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual, pada umumnya mereka mengalami trauma terhadap kejadian yang mereka alami. Hal ini tentu mengganggu perkembangan aktivitas anak di sekolah apalagi jika kondisi lingkungan keluarga dan sekolah tidak mendukung keberadaanya.
Korban pelecehan seksual kadang sering mendapat perlakuan yang tidak baikoleh teman-temannya di sekolah. Dikucilkan, dihina, dan dicaci maki merupakan tindakan yang biasa diterima oleh korban pelecehan seksual hanya karena mereka dianggap sebagai seorang yang sudah “kotor” sehingga perlu dijauhi.
”Apakah ada anak yang lahir ke dunia yang ingin menjadi korban pelecehan seksual?”. Tentu tidak. Perlu diingat bahwa pelaku pelecehan seksual kebanyakan adalah korban pelecehan seksual di masa kecilnya mereka melakukan nya karena merasa dendam dan benci hingga melampiaskan kembali kepada para korban.
Anak-anak yang menjadi korban pelecehan perlu mendapat perlakuan yang baik yang dapat membangun kembali semangat hidupnya, kepercayaan diri, dan berani menghadapi dunia. Mereka butuh pendampingan psikologis dan dukungan dari keluarga serta orang-orang di lingkungan sekitarnya agar ia tidak mengalami trauma berlarut-larut.
Keluarga merupakan orang yang paling dekat dengan anak. Adanya dukungn dari keluarga diharapkan dapat membantu mengurangi luka psikis yang dialaminya. Keluarga harus menjadi penyemangat bagi mereka dan mengedukasi anak bahwa apa yang dilakukan Pelaku kepada nya merupakan sesuatu yang jahat dan melarang untuk dilakukan agar kedepannya ia tidak menjadi pelaku pelecehan seksual.
Permasalahan yang terjadi dalam keluarga adalah orang tua menganggap hal tersebut merupakan aib keluarga yang harus dikubur dalam-dalam sehingga menimbulkan rasa malu orang tua karena memilki anak yang menjadi korban pelecehan seksual.
Maka tidak heran jika banyak kejadian seperti ini di Indonesia namun sedikit yang melaporkannya ke pihak yang berwenang. Benar saja jikadikatakan kasus pelecehan terhadap anak seperti fenomena gunung es, yang terlihat dipermukaan hanya sedikit tetapi kenyataan di masyarakat justru sangat banyak.
Orangtua harus benar-benar peka jika melihat sinyal yang tak biasa dari anaknya. Namun, tak semua korban pelecehan seksual bakal menunjukkan tanda-tanda yang mudah dikenali. Terutama apabila si pelaku melakukan pendekatan secara persuasif dan meyakinkan korban apa yang terjadi antara pelaku dan korban merupakan hal wajar. [Ivo Noviana, “Child Abuse: Impact and hendling”, Vol 1. No.1, 10 Maret 2015, hlm. 15.]
Pada umumnya orangtua korban pelecehan seksual bingung apa yang harus mereka lakukan dalam menghadapi anak mereka. Bukan hanya korban saja yang terguncang psikisnya orang tua pun juga mengalaminya, mereka shock atas apa yangdialami oleh anaknya.
Tidak heran jika ada orang tua yang menanyai anak secara beruntun dan memaksa anak untuk menjawabnya bahkan disertai berbagai ancaman jika si anak tidak mau menjawab atau tidak jujur. Hal ini tentu akan memperburuk keadaan psikologis anak, anak akan merasa takut kepada orang tua sehingga akanmenghambat proses pemulihan psikis mereka.
Kesulitan dalam mengenali perasaan dan pikiran korban saat peristiwa tersebut terjadi merupakan kesulitan yang umumnya dihadapi oleh pihak keluarga maupun ahli saat membantu proses pemulihan anak-anak korban pelecehan seksual.Anak-anak cenderung sulit mendeskripsikan secara verbal dengan jelas mengenai proses mental yang terjadi saat mereka mengalami peristiwa tersebut.
Sedangkan untuk membicarakan hal tersebut berulang-ulang agar mendapatkan data yanglengkap, dikhawatirkan akan menambah dampak negatif pada anak karena anak akan memutar ulang peristiwa tersebut dalam benak mereka. Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah memberikan rasa aman kepada anak untuk bercerita. Biasanya orang tua yang memang memiliki hubungan yang dekat dengan anak akan lebihmudah untuk melakukannya. [Ivo Noviana, “Child Abuse: Impact and hendling”, Vol 1. No.1, 10 Maret 2015, hlm. 22.]
Pendekatan psikologis yang dilakukan keluarga mampu mengurangi dampak traumatik anak. Kasih sayang dan semangat yang diberikan orang tua adalah yang paling dibutuhkan anak disaat kondisi psikis nya terpuruk. Tempat ternyaman anak dalam berkeluh kesah ada pada orang tua. Maka dari itu jadilah orang tua yang menjadi sahabat bagi anak bukan musuh bagi anak. Karena dengan menjadi sahabat, anak akan merasa lebih nyaman ketika berinteraksi dengan orang tua dan anak menjadi lebih terbuka atas kejadian yang mereka alami.
Peran orang tua sangat penting dalam upaya untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual pada anak salah satunya adalah dengan mengedukasi anak tentang bagian tubuh mana saja yang tidak boleh disentuh oleh orang lain seperti dada, kemaluan, dan dubur.
Orang tua harus secara terbuka memberitahu kepada anak mengenai pengetahuan seksual, bagaimana cara pencegahannya dan siapa saja yang boleh menyentuh organ vitalnya. Jika orang tua tidak memberitahu sejak dini, bukan tidak mungkin anak akan mencari tahu sendiri lewat internet maupun bertanya pada teman sebayanya yang tentunya belum tentu baik untuk anak.
Berikut adalah dukungan psikologis awal bagi Korban Kekerasan Seksual (Psychological First Aid) yang dikutip dari laman “Bersama Hapus Kekerasan Seksual, Merdekakan dunia pendidikan Indonesia dari kekerasan seksual” [merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id].
Dukungan psikologis/Psychological First Aid (PFA) awal adalah serangkaian keterampilan yang bertujuan untuk mengurangi distress dan mencegah munculnya perilaku tampilan kondisi kesehatan mental negatif yang disebabkan oleh bencana atau situasi kritis yang dihadapi individu. Dalam kasus kekerasan seksual, PFA diberikan untuk:
- Mengurangi ketidaknyamanan yang disebabkan karena reaksi emosi dan pikiran setelah mengalami kekerasan seksual.
- Mengurangi dampak negatif dari pengalaman traumatis.
- Menyediakan dukungan emosional bagi korban.
- Membantu korban untuk mengakses informasi terkait layanan dan dukungan yang dia butuhkan.
- Membantu memenuhi kebutuhan dasar yang mendesak setelah korban mengalami kekerasan, seperti: minuman, makanan, pengobatan luka fisik, dan rumah aman.
PFA dapat dilakukan oleh keluarga, teman, relawan, atau Satuan Tugas PPKS kepada korban kekerasan seksual. PFA dilakukan untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bagi korban untuk mempersiapkan proses pendampingan dan penanganan lebih lanjut. Ada enam strategi yang dapat dilakukan oleh pendamping dalam PFA:
Safeguard
Melindungi dan mengamankan korban dari bahaya, resiko, dan menawarkan upaya perlindungan. Fokus strategi ini adalah membangun keamanan dan keselamatan korban, seperti contoh berikut:
- Perkenalkan diri serta peran (jika Anda anggota Satuan Tugas PPKS) kepada korban.
- Segera bawa korban ke tempat aman dan jauhkan dari bahaya yang mengancam.
- Jauhkan korban dari hal yang menyebabkan trauma.
- Lindungi korban dari perilaku menyakiti diri sendiri.
- Sediakan tempat aman bagi korban.
- Tidak meninggalkan korban sendirian. Apabila terpaksa meninggalkan korban, berikan alasan dan minta bantuan orang lain yang dapat dipercaya untuk menjaga korban.
Sustain
Memberikan kebutuhan mendesak korban pasca mengalami kekerasan seksual, seperti menawarkan minum, perawatan luka, dan tempat aman untuk bercerita.
Comfort
Mengurangi perasaan tidak nyaman korban dengan membangun komunikasi yang empatik dan tidak menyalahkan.
Connect
Menghubungkan korban dengan lingkungan sosial terdekat dan bermakna serta lembaga layanan yang bisa memberikan bantuan. Jika kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus, kita dapat menghubungkan korban pada Satuan Tugas PPKS.
Advise
Memberikan informasi pada korban mengenai apa yang terjadi dan memvalidasi reaksi korban dengan menyatakan bahwa reaksi yang mereka lakukan adalah hal yang wajar dan mengajarkan cara mengatasi atau mengurangi trauma pasca peristiwa.
Activate
Mendorong korban untuk berpartisipasi dalam proses pemulihan pasca trauma dengan memberikan informasi apa saja yang dapat dilakukan oleh korban untuk mendapatkan penanganan dan pemulihan.
Memperkuat anak dengan pemahaman agama juga merupakan solusi utama agar anak tidak menjadi korban pelecehan atau bahkan pelaku pelecehan. Pembekalan ilmu agama kepada anak sejak usia dini merupakan langkah preventif adanya tindakan pelecehan terhadap sesama anak-anak.
Agama bukan menjadi senjata bagi orang tua untuk menakut-nakuti anak, tetapi justru seharusnya melalui pemahaman agama yang holistik, orang tua mampu mengajarkan anak tentang kasih sayang danhidup rukun. [Lusi Ningtias, “Langkah Inovatif mengurangi pelecehan pada anak”, diakses: https://lusiningtyas.wordpress.com/tag/peran-orang-tua-dalam-mencegah-pelecehan-terhadap-anak/]
Tindakan preventif tersebut tidak akan berarti tanpa adanya partisipasi dan kesadaran banyak pihak. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak disebutkan siapa saja yang memiliki kewajiban untuk melakukan pemenuhan terhadap hak anak yaitu Negara, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang tua. Maka sudah seharusnya komponen-komponen tersebut bersatu dan membangun kesadaran akan pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak anak. Dengan demikian segala bentuk pelecehan yang mengancam anak-anak kita dapat diminimalisasi bahkan dihilangkan dari muka bumi ini.
Bab III. Penutup
A. Simpulan
Pelecehan seksual merupakan tindak pelecehan luar biasa yangmembutuhkan penyelesaian masalah yang luar biasa pula agar pelecehan tersebut tidak lagi menjadi ancaman bagi anak-anak kita di masa depan.
Pelecehan seksual bukan hanya menimbulkan luka fisik bagi korban tapi adaluka yang lebih berbahaya dan lebih sakit dibandingkan luka fisik yaitu luka psikis.
Korban pelecehan seksual yang merupakan anak-anak akan mengalamitrauma yang menyebabkan timbulnya gejala gejala psikis lainnya seperti depresi, rasa takut yang berlebihan, sulit bersosialisasi, sering murung dan melamun, dan menjadi pribadi yang tertutup atau bahkan risiko paling buruk adalah dia merasa tidak lagi berguna hidup di dunia sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidup.
Dalam hal ini peran keluarga sangat dibutuhkan bagi anak yangmenjadi korban pelecehan seksual. Kasih sayang dan semangat yangdiberikan oleh orang tua mampu menjadi obat bagi trauma yang dialami anak. Namun dalam kenyataannya masih ada orang tua yang menjadikan anakt ersebut sebagai aib keluarga yang memalukan sehingga membuat anak menjadi lebih depresi yang tidak menutup kemungkinan di kemudian hari anak tersebut dapat menjadi seorang pelaku juga karena berdasarkan hasilsurvey pelaku pelecehan seksual di masa lalu juga merupakan korban pelecehan seksual pula.
B. Saran
Maraknya kasus pelecehan seksual di Indonesia membuat orang tuak hawatir akan keselamatan anak-anak mereka terutama ketika anak sedangmelakukan aktivitas di luar rumah. Apalagi pelecehan seksual kini sudahtidak memandang gender. Anak laki-laki yang dianggap lebih dapat diandalkan untuk menjaga diri dibandingkan dengan anak perempuan kenyataannya berdasarkan survey KPAI menunjukan bahwa korban pelecehan seksual Anak laki-laki mempunyai porsi lebih tinggi dibandingkan anak perempuan.
Berbagai dampak psikologis yang dialami korban membuat terpuruknya kondisi emosional yang berpegaruh terhadap hubungannya dengan orang lain maka dari itu para korban harus segera mendapat pendampingan psikologis agar ia tidak berlarut-larut dalam trauma dan kesedihan.
Selain itu peran keluarga menjadi penting sebagai orang yang dekat dengan anak sebagai “psikolog pribadi” yang harus mendukung anak agar tetap terus semangat menjalani kehidupannya, menumbuhkan rasa kepercayaan diri anak, dan menumbuhkan cita-cita anak yang ia inginkan dimasa depan sehingga si anak kembali mempunyai ambisi untuk mencapainya.
Kita perlu merubah mindset kita yang menganggap pelecehanseksual sebagai aib yang harus ditutup-tutupi dari masyarakat sehingga menyebabkan kita segan dan malu untuk melaporkan kasus yang anak alami.
Dengan tidak melaporkan kasus tersebut sama saja seperti kita membebaskan pelaku berkeliaran mencari korban lain untuk melakukan pelecehan yang sama. Pemerintah juga perlu lebih mengedukasi masyarakat dengan memberikan informasi apa dan bagaimana bentuk pelecehan seksual pada anak dan yang lebih penting adalah dengan melakukan penyadaran kepada masyarakat terkait upaya pencegahan agar tidak terjadi pelecehan seksual pada anak.
Untuk pemahan lebih lanjut mengenai kekerasan seksual, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual atau menjadi relawan silahkan akses laman Bersama Hapus Kekerasan Seksual, Merdekakan dunia pendidikan Indonesia dari kekerasan seksual
#MerdekaBeragamSetara
#BersamaHapusKekerasanSeksual
DAFTAR PUSTAKA
Sumber utama:
- Septyana, Vani. 2018. Indonesia Darurat Pelecehan Seksual: Penegakan Hukum Kasus Kepala Sekolah Lakukan Pelecehan Seksual Terhadap 12 Orang Muridnya. Tersedia (https://www.academia.edu/38141897/MAKALAH_KEKERASAN_SEKSUAL_PADA_ANAK_pdf).
- Kemedikbud. Bersama Hapus Kekerasan Seksual, Merdekakan dunia pendidikan Indonesia dari kekerasan seksual. https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/kekerasan-seksual/
Sumber pendukung
- Brigitta Erlita. 2007. “Studi kasus tentang dampak psikologis anak korban pelecehan dalam keluarga”. Tersedia :https://repository.usd.ac.id/2211/2/029114088_Full.pdf
- Collier, Rohan. 1998. Pelecehan Seksual: Hubungan Dominasi Mayoritas dan Minoritas. Jakarta: Tiara Wacana.
- Davit Setyawan. 2017. Tahun 2017, KPAI temukan 116 Kasus Pelecehan Seksualterhadap Anak. Tersedia:http://www.kpai.go.id/berita/tahun-2017-kpai-temukan-116-kasus-pelecehan-seksual-terhadap-anak/
- E.K Hikmah, Trauma Pasca-perang .http://pikiranrakyat.com/cetak/0504/15/1105.
- Gelles, Richard J. 2004. Child Abuse and Neglect: Direct Practice. Dalam Encyclopedia of Social Work, 19th edition. Washington DC: NASW Press
- H.I, Kaplan, Sadock B.J, Grebb J.A. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid 1. Edisi ke-7.T erjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara. p. 86-108.
- Huraerah, Abu. 2007.Pelecehan Terhadap Anak . Bandung: Nuansa.
- Lusi Ningtias. 2016. “Langkah Inovatif mengura ngi pelecehan pada anak”, Tersedia :http://lusiningtyas.wordpress.com/tag/peran-orang-tua-dalam-mencegah-pa pelecehan-terhadap-anak
- Noviana, Ivo. 2015. Child Abuse: Impact and hendling . Vol 1 No.1. Tersedia: https://media.neliti.com/media/publications/52819-ID-pelecehan-seksual-terhadap-anak-dampak-d.pdf
- Nurrahmi, Hesty. 2015. “ Konseling bagi anak yang mengalami perilaku Pelecehan
- Nainggolan, Lukman Hakim. 2008. Bentuk-Bentuk Pelecehan Seksual terhadap anakdibawah umur. vol.13 No.1. Medan: Universitas Sumatra Utara
- Retno, Devita. 2017. 17 Dampak Psikologis Anak yang yang mengalami pelecehan. Tersedia: https://dosenpsikologi.com/dampak-psikologis-anak-yang-mengalami-pelecehan.
- Suryani, Luh Ketut dan Cokorda Bagus Jaya Lesmana. 2009. Pelaku: Penghancur Masa Depan Anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
- Rowland, David l L & Luca Inrocci. 2008. Handbook of Sexual and Gender Identity Disorder. (United Kingdom: Wiley)
- Santoso, Thomas. 2002. Teori-teori Pelecehan. Jakarta: Ghalia Indonesia
- Siahaan, Nimrot. 2016. “Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan seksual”, Vol.04 No.01. Medan: STIH Labuhan Batu
- Sururin. 2015. Pelecehan pada Anak: Perspektif Psikologi . Vol 4 No.1. Jakarta: UIN Jakarta
- Utami, Susi Wiji. 2016. Hubungan antara kontrol diri dan psikologi, vol 1. No.1