Daftar isi
Pemikiran Plato
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dan dunia yang kita sebut “filosofis” dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsepsi-konsepsi religius dan etis warisan; kedua, semacam penelitian yang biasa disebut “ilmiah” dalam pengertian yang luas. Kedua faktor ini mempengaruhi sistem-sistem yang dibuat oleh para filosof secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tetapi kedua faktor inilah yang, sampai batas-batas tertentu, mencirikan filsafat.
Filsafat, sebagaimana yang disampaikan Bertrand Russell, adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Semua pengetahuan yang definitif adalah termasuk sains, sedangkan semua dogma, yang melampaui pengetahuan definitif termasuk ke dalam teologi. Namun, di antara keduanya terdapat sebuah wilayah yang tidak dimiliki oleh seorang manusia pun, wilayah tak bertuan ini adalah filsafat.
Hampir semua persoalan yang sangat menarik bagi pikiran-pikiran spekulatif tidak bisa dijawab oleh sains, dan jawaban-jawaban yang meyakinkan dari para teolog tidak lagi terlihat begitu meyakinkan sebagaimana pada abad-abad sebelumnya. Apakah dunia ini terbagi menjadi dua; jiwa dan materi, dan jika “ya”, apakah jiwa dan materi itu? Apakah jiwa tunduk pada materi, ataukah jiwa dikuasai oleh kekuatan-kekuatan independen? Apakah alam semesta ini memiliki kesatuan atau maksud tertentu?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat ditemukan di laboratorium. Teologi berusaha memberikan jawaban yang sangat definitif, namun jawaban-jawaban tersebut mengundang kecurigaan pikiran-pikiran modern. Mempelajari pertanyaan-pertanyaan tersebut, jika bukan menjawabnya, adalah urusan filsafat.
Filsafat dimulai di Yunani pada abad ke 6 SM. Setelah memasuki zaman kuno, filsafat kembali ditenggelamkan oleh teologi ketika agama Kristen bangkit dan Roma jatuh. Periode kejayaan filsafat yang kedua adalah abad ke-11 – 14 dan diakhiri dengan kebingungan-kebingungan yang berpuncak pada reformasi. Periode ketiga, dari abadke-17 sampai sekarang.
Di antara seluruh filosuf, baik pada zaman kuno, pertengahan maupun modern, Plato dan Aristoteles adalah dua tokoh paling berpengaruh. Dengan demikian, dalam sejarah tentang pemikiran filsafat memang sangatlah perlu membicarakan pemikiran dari Plato. Tulisan ini berusaha untuk memberikan gambaran singkat tentang pemikiran Plato, khususnya ketika membicarakan tentang realitas yang sesungguhnya.
B. Identifikasi Masalah
1. Biografi Plato
2. Pemikiran Plato
3. Pemikiran Plato tentang mimesis
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi tentang Plato?
2. Bagaimana isi tentang pemikiran Plato?
3. Bagaimana pemikiran Plato tentang mimesis?
Bab II. Pembahasan
A. Biografi Plato
Plato (427-347 SM) dilahirkan di lingkungan keluarga bangsawan kota Athena. Semenjak muda ia sangat mengagumi Socrates (470-399), seorang filsuf yang menentang ajaran para sofis, sehingga pemikiran Plato sangat dipengaruhi sosok yang di kemudian hari menjadi gurunya tersebut. Plato memiliki bakat yang sangat besar untuk menjadi pengarang, terbukti hingga saat ini setidaknya 24 dialog Plato dianggap sebagai kesusastraan dunia. Sebagaimana Socrates, Plato selalu mengadakan percakapan dengan warga Athena untuk menuliskan pikiran-pikirannya. Pada tahun 387 SM, Plato mendirikan sekolah filsafat yang dinamakannya Akademia.
Salah satu pemikiran pemikiran Plato yang terkenal ialah pandangannya mengenai realitas. Menurutnya realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia: dunia yang terbuka bagi rasio dan dunia yang hanya terbuka bagi panca indra. Dunia pertama terdiri atas idea-idea dan dunia berikutnya ialah dunia jasmani. Pemikiran Plato tersebut bahkan berhasil mendamaikan pertentangan antara pemikiran Heraklitus dan Parmenides. Pemikiran Plato inilah yang akan penyusun jadikan sebagai tema pembahasan dalam makalah ini.
B. Pemikiran Plato
Diantara pemikiran Plato yang terpenting adalah teorinya tentang ide-ide, yang merupakan upaya permulaan yang mengkaji masalah tentang universal yang hingga kini pun belum terselesaikan. Teori ini sebagian bersifat logis, sebagian lagi bersifat metafisis. Dengan pendapatnya tersebut, menurut Kees Berten (1976), Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Heraklitus dengan pendapatnya Permenides, menurut Heraklitus segala sesuatu selalu berubah, hal ini dapat dibenarkan menurut Plato, tapi hanya bagi dunia jasmani (Pancaindra), sementara menurut Permenides segala sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah, ini juga dapat dibenarkan menurut Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja.
Plato menjelaskan bahwa, jika ada sejumlah individu memiliki nama yang sama, mereka tentunya juga memiliki satu “ide” atau “forma” bersama. Sebagai contoh, meskipun terdapat banyak ranjang, sebetulnya hanya ada satu “ide” ranjang. Sebagaimana bayangan pada cermin hanyalah penampakan dan tidak “real”. Demikian pula pelbagai ranjang partikular pun tidak real, dan hanya tiruan dari “ide”, yang merupakan satu-satunya ranjang yang real dan diciptakan oleh Tuhan. Mengenai ranjang yang satu ini, yakni yang diciptakan oleh Tuhan, kita bisa memperoleh pengetahuan, tetapi mengenai pelbagai ranjang yang dibuat oleh tukang kayu, yang bisa kita peroleh hanyalah opini.
Perbedaan antara pengetahuan dan opini menurut Plato adalah, bahwa orang yang memiliki pengetahuan berarti memiliki pengetahuan tentang “sesuatu”, yakni “sesuatu” yang eksis, sebab yang tidak eksis berarti tidak ada. Oleh karena itu pengetahuan tidak mungkin salah, sebab secara logis mustahil bisa keliru. Sedangkan opini bisa saja keliru, sebab opini tidak mungkin tentang apa yang tidak eksis, sebab ini mustahil dan tidak mungkin pula tentang yang eksis, sebab ini adalah pengetahuan. Dengan begitu opini pastilah tentang apa yang eksis dan yang tidak eksis sekaligus.
Maka kita tiba pada kesimpulan bahwa opini adalah tentang dunia yang tampil pada indera, sedangkan pengetahuan adalah tentang dunia abadi yang supra-inderawi; sebagai misal, opini berkaitan dengan benda-benda partikular yang indah, sementara pengetahuan berkaitan dengan keindahan itu sendiri. Dari sini Plato membawa kita pada perbedaan antara dunia intelek dengan dunia inderawi. Plato berusaha menjelaskan perbedaan antara visi intelektual yang jelas dan visi persepsi inderawi yang kabur dengan jalan membandingkannya dengan indera penglihatan. Kita bisa melihat obyek dengan jelas ketika matahari menyinarinya; dalam cahaya temaram penglihatan kita kabur; dan dalam gelap gulita kita tidak dapat melihat sama sekali. Menurutnya, dunia ide-ide adalah apa yang kita lihat ketika obyek diterangi matahari, sedangkan dunia dimana segala sesuatu tidak abadi adalah dunia kabur karena temaramnya cahaya. Namun untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang dimaksudnya, Plato memberikan sebuah tamsil, yakni tamsil tentang gua.
Menurut tamsil itu, mereka yang tidak memiliki pengetahuan filsafat bisa diibaratkan sebagai narapidana dalam gua, yang hanya bisa memandang ke satu arah karena tubuhnya terikat, sementara di belakangnya ada api yang menyala dan di depannya ada dinding gua. Mereka hanya dapat melihat bayang-bayang yang dipantulkan pada dinding gua oleh cahaya api. Mereka hanya bisa menganggap bayang-bayang itu sebagai kenyataan dan tidak dapat memiliki pengertian tentang benda-benda yang menjadi sumber bayang-bayang.
Sedangkan orang yang memiliki pengetahuan filsafat, ia gambarkan sebagai seorang yang mampu keluar dari gua tersebut dan dapat melihat segala sesuatu yang nyata dan sadar bahwa sebelumnya ia tertipu oleh bayang-bayang. Namun ketika ia kembali ke gua untuk memberitahukan kepada teman-temannya tentang dunia nyata, ia tidak dapat lagi melihat bayang-bayang secara jelas jika dibandingkan dengan teman-temannya, sehingga di mata teman-temannya ia tampak menjadi lebih bodoh daripada sebelum ia bebas.
Demikianlah pemikiran Plato mengenai realitas yang sebenarnya. Teori Plato tentang ide-ide tersebut, menurut penyusun, mengandung sekian kesalahan yang cukup jelas. Kendati demikian, pemikiran itu pun menyumbangkan kemajuan penting dalam filsafat, sebab inilah teori pertama yang menekankan masalah universal, yang dalam pelbagai bentuknya, masih bertahan hingga sekarang.
C. Pemikiran Plato Tentang Mimesis
Mimesis berasal bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan .
Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni.
Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio,tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya idea mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu . Idea mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah .
Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya. Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari Idea, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam Idea-Idea mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan .
Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal. (Teew.1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio .
Bab III. Penutup
A. Kesimpulan
Dari pembahasan singkat mengenai pemikiran Plato, dapat kita simpulkan adanya perbedaan yang cukup mendasar antara keduanya tentang realitas hakiki. Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan) dalam diri seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, — konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Ini adalah persoalan ada (“being”) dan mengada (menjadi, “becoming”).
Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunoni Kuno, hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis sastra selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dari pendekatan sosiologi sastra yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik sastra yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. II, 2004 (di terjemahkan dari “History of Western Philosophy and its Connection with Political and social Circumstances from the Earlies Times to the Present Day” oleh Sigit Jatmiko, dkk)
Bertens, K. 1979. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Luxemberg, Jan Van dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia (judul asli Inleiding in de literatuur Wetenschap. 1982. Muiderberg: Dikck Countinho B.V Vitgever. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko)
Ravertz, Jerome R. 2007. Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakarta: Pelajar Offset (Judul asli The Philosophi of Science. 1982. Oxford University Press, diterjemahkan oleh Saut Pasaribu)
Teew. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya