Makalah Perubahan Nilai Siri dalam Budaya Mandar

12 min read

Tarian Kahs Suku Mandar

Berikut ini adalah contoh makalah yang membahas mengenai pergeseran nilai siri dalam budaya mandar. Budaya Siri adalah salah satu nilai yang memiliki makna dalam bagi suku-suku yang mendiami sulawesi selatan.

Perubahan Nilai Siri dalam Budaya Mandar

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Suku Mandar adalah sekelompok besar orang-orang yang mendiami Sulawesi Bagian Barat. Di masa lampu suku Mandar dipercaray sebagai salah satu dari 14 kerajaan besar yang mendiami daera Tipalayo. Ke-14 kerajaan tersebut dikenal dalam semboyan Pitu Ba’bana Binanga anna Pitu Ulunna Salu.

Sebagaimana pada umumnya masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu akan selalu terbentuk budaya yang menjadi penciri mereka, demikian pula dengan Suku Mandar. Ada warisan budaya yang bangat besar diturunkan ke anak cucu mereka. Salah satu warisan yang paling terkenal adalah budaya siri’. Budaya ini mengandung banyak norna dan etika yang menjadi tatakrama dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai budaya tertuang pada semboyang “Wai marandanna o di ada’ o di biasa“.


Budaya merupakan suatu hal yang tidak bisa kita kesampingkan begitu saja dalam rentetan history kehidupan manusia walaupun demikian beragam opini telah terpapar dari berbagai kalangan dan unsur tentang budaya itu sendiri, banyak orang menganggap bahwa budaya itu hanyalah bersifat sekunder yang tidak terlalu penting untuk dilirik dan diperhatikan dan menurut orang bahwa pendapat ini adalah pendapat dari orang-orang yang tidak berbudaya dan tidak memahami akan budaya.

Budaya adalah perwujudan dari sebuah renungan, kerja keras dan kearifan suatu masyarakat dalam mengarungi dunianya. Budayalah yang menjadikan suatu masyarakat dapat memandang lingkungan hidupnya dengan bermakna. Kebudayaan terjadi atau dilahirkan karena adanya tantangan dan jawaban (challenge-and-Response) Arnold J. Toynbee (sejarah kebudayaan sulawesi hal. 11) Dengan format budaya pula masyarakat menata alam sekitarnya dan memberikan klasifikasi, sehingga berarti bagi warganya dan dengan begitu tindakan terhadap alam sekitarnya itu terorientasikan.

Zaman yang kian beranjak dan bergeser dari arus dan akar budaya adalah sebuah tatanan masyarakat yang semakin memperlihatkan hal-hal konkrit yang banyak tempat sudah merupakan sebuah ancaman serius yang perlu diwaspadai. Semakin waktu berputar dan berkendara dengan zaman yang dilaluinya, maka waktu akan ikut membawa dan memboyong banyak perubahan yang menjadi alat tawar menawar yang mengikutinya. Tidak terkecuali dengan budaya siri’ yang semakin hari sudah mulai pudar oleh karena adanya pengaruh budaya dari luar.

Kebudayaan khususnya di Mandar bukanlah sesuatu hal yang tidak memerlukan perhatian serius dari semua unsur yang terkait karena jangan sampai kebudayaan dianggap hanya sebagai sandal jepit yang punya keterbatasan untuk tampil dalam acara resmi, sebab manakalah kebudayaan akan kita menganggap sebagai bawang goreng pada sayur sup, maka ini menandai bahwa sesungguhnya kita telah rabun akan sejarah yang dicatat oleh kehidupan kita sendiri.

Hadirnya budaya barat dan budaya modern ditengah kehidupan ini adalah merupakan sebuah abrasi yang dapat menghanyutkan budaya kita sendiri yang pada akhirnya akan menjadikan generasi kita sebagai serpihan-serpihan dari ampas kehidupan karena kita telah kehilangan akan akar budaya akibat dari pengaruh globalisasi yang semakin canggih dan modern. 

Peninggalan leluhur Mandar yang beragam dan berasal dari berbagai aspek kehidupan budaya tradisional seperti budaya siri’ merupakan warisan sekaligus amanah untuk dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi pewarisnya. Upaya penggalian pengembangan dan pelestarian nilai-nilai budaya tradisional menjadi sebuah kewajiban agar apa yang pernah menjadi kebanggaan para pendahulu Mandar tidak semakin hilang digeser peradaban yang semakin modern.

Budaya siri’ di Mandar merupakan suatu hal yang sangat vital dalam kehidupan orang Mandar dan menjadi ciri khas profil manusia Mandar dalam takaran nilai kemanusiaan. Bagi orang Mandar, jika siri’ sudah tidak berperan dalam hidupnya, hilang pulalah nilai dan reputasinya sebagai manusia dimata masyarakat umum dimanapun berada.

Siri’ adalah nilai kemanusiaan dan harga diri yang erat hubungannya dengan perasaan manusia dalam seluruh hidup dan kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan (Prof. Dr. Darmawan Mas’ud Rahman, M.Sc.).

Dalam upaya pelestarian ini, segenap orang Mandar memiliki tanggungjawab yang sama walaupun dengan cara yang berbeda dalam melakukannya. Dengan melihat kenyataan bahwa budaya kita sudah muulai menipis, seiring dengan zaman yang semakin tua sehingga cermin budaya masa lalu yang saling Sipakatau (saling menghargai), Sipakala’bi (saling menghormati) dan Siasayangngi (saling menyayangi) serta Sianaoang pa’mai (saling mengasishi) lalu yang paling tragis ketika kita kehilangan akan Siri’ (harkat dan martabat) yang semuanya itu menjadi bahan yang telah langka, hal ini merupakan pertanda bahwa generasi sekarang telah melupakan budaya yang amat bernilai untuk diabadikan dan tanpa disadari kita sendiri telah memecahkan cermin itu demi mengikuti kemajuan zaman.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok persoalan dapat kami rumuskan sebagai berikut:

  1. Bagaimana Konsep Budaya Siri’ di Mandar?
  2. Bagaimana Siri’ di Mandar dalam Tinjauan Syariat Islam?
  3. Bagaimana  proses pergeseran Budaya Siri’ di Mandar?

Bab II. Pembahasan

A. Konsep Budaya Siri’ di Mandar

Pada umumnya masyarakat Mandar dalam kehidupannya sangat erat dengan masalah siri’ sebab orang Mandar mempunyai pandangan bahwa yang disebut dengan manusia adalah yang mempunyai siri’ yaitu mempunyai rasa malu yang bahasa Mandarnya dikatakan iya tu’u disanga mesa rupa tau iyya ma’issang maanna siri’ diwatang alawena (adapun yang disebut dengan seorang manusia adalah orang yang menyimpan rasa malu dalam dirinya). Di bawah ini adalah ungkapan atau pesan yang dasampaikan para leluhur yang kemudian menjadi motto orang Mandar :

Moaq polei polena
Annaq i’dami mala i’da
Dotai lao nyawa
Dadzi nalao siri’

Artinya :

Bila saatnya telah tiba
Dan sudah sangat terpaksa
Lebih baik nyawa melayang
Daripada harga diri akan hilang
(Mottiana Mandar, 2010 hal. 5)

Bagi orang Mandar siri’ adalah etos kehidupan dan etos kerja karena siri adalah nilai kemanusiaan dan harga diri yang erat hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia. Kehilangan siri’ berarti kehilangan nilai kemanusiaan dan harga diri. Oleh sebab itu, orang Mandar sejati lebih memilih kehilangan nyawa daripada kehilangan siri’ bila terpaksa harus memilih.     

Perkataan siri’ yang selain berarti malu juga mempunyai arti lain yaitu harkat dan martabat, karena dengan memelihara siri’ juga berarti berusaha menghindar dari setiap perilaku yang akan menodai harkat dan martabat, oleh sebab itu bagi orang Mandar kemana dan dimana saja mereka berada orang Mandar itu selalu bersama dengan siri’. Sehingga tampak jelas tercermin bahwa siri’ itu adalah sesuatu yang sangat sakral bahkan disucikan dan seolah dianggap substansi dengan keberadaan manusia.  

Siri’ juga dapat disamakan dengan kata Lappu atau Malappu yang keduanya berarti jujur, karena dengan berbuat jujur maka seseorang dapat memelihara harkat dan martabatnya karena seseorang hanya dapat terjaga dan terangkat kualitasnya jika keutamaan yang dimilikinya diabadikan juga bagi orang lain sebagai sebuah sikap kepedulian terhadap sesuatu yang benar untuk dibenarkan serta yang slah tetap disalahkan dan bukan meluruskan yang bengkok dan membengkokan yang telah lurus.

Siri’ yang dibarengi dengan Lappu pada dasarnya adalah tolak ukur keseimbangan antara hak dan kewajiban dan antara tanggungjawab dan kepatuhan dan jika ada seseorang yang semestinya bertugas dan berwenang meluruskan yang bengkok akan tetapi tidak mampu dan tidak berani melakukannya maka hal ini menandakan bahwa siri’ orang itu telah kendor bahkan sudah memudar atau sudah tidak memiliki lagi apa yang disebut siri’. Demikian pula halnya apa bila ada seseorang membiarkan hak pribadinya dilanggar dan diinjak-injak diluar batas hukum maka etika dan norma kebiasaan ini bukan lagi hanya sebagai siri’ akan tetapi sudah mencapai puncak siri’ yaitu yang disebut lokko dan ini berarti bahwa harkat dan martabat yang bersangkutan telah menurun bahkan mungkin sudah tidak ada lagi pada dirinya.

Adapun siri’ bagi orang Mandar yaitu terdiri dari tiga bahagian sebagai berikut :

  1. Siri’ Lita’ atau Siri’ Pa’banua adalah harkat dan martabat akan tanah tump ah darah atau disebut martabat negeri
  2. Siri’ Pembiyang yaitu harkat dan martabat keluarga yang terdiri dari saudara, sahabat, keluarga.dan siri’ ini disebut juga sebagai siri’ dipomate (harkat dan martabat yang taruhannya adalah nyawa)
  3. Siri’ Alawe yaitu harkat dan martabat diri sendiri dan ini disebut juga siri’ diposiri’ yang juga taruhannya adalah nyawa.

Rasa solidaritas dan kesetia kawanan sosial yang tergambar diatas yang merupakan pesan dan amanah dari leluhur yang diharapkan akan menumbuhkan semangat rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

B. Siri’ di Mandar dalam Tinjauan Syariat Islam

Siri’ merupakan kepekaan kedua di masyarakat Mandar sesudah kepekaan agama. Agama dan budaya siri’ berjalan seiring dalam segala tindak laku orang Mandar setiap saat dan sering tumpang tindih satu sama lainnya. Dibanyak hal dalam kehidupan sehari-hari orang Mandar, agama lebih dominan diperhitungkan  namun dibeberapa hal, siri’ pun sering lebih dominan daripada agama. Hal terakhir ini,  perlu segera mendapat perhatian agar budaya siri’ di Mandar selalu sejajar dan sesuai dengan syariat agama Islam dalam berbagai aspek pengamalannya.

Budaya siri’ mengandung faktor edukatif yang tidak sedikit manfaatnya bagi kehidupan masyarakat, terutama pembinaan mantal spiritual, ahlak dan budi pekerti.  Namun,  di beberapa hal aspek kehidupan tertentu, banyak sekali siri’ dimanifestasikan secera irrasional bahkan menabrak norma-norma agama,  sedang seharusnya budaya siri’lah yang harus di sesuaikan dengan syaria’at agama, bukan agama yang harus di sesuaikan dengan budya siri’.

Agama adalah ciptaan tuhan yang berfungsi mengatur dan menyelamatkan duniawi dan ukhrawi, sedang budaya siri’ tak lebih dari kebiasaan masyarakat yang hanya mengatur urusan duniawi. Itupun tidak secara langsung, tapi memberi pengaruh yang kuat terhadap kehidupan, sehubungan dengan sikap mental dan akhlak manusia, agar ia tetap berada dalam eksistensi kemanusiaannya yang wajar dan terpuji sesuai dengan pandangan budaya dan tradisi yang tumbuh dalam masyarakat, sebagai salah satu nilai kearifan leluhur moyang orang Mandar.

Menurut Dr.Baharuddin lopa SH, siri’ dalam arti dan tingkatannya, berkembang dalam 5 bentuk sebagai berikut :

  1. Siri’ yang berhubungan dengan kesusilaan. Contohnya ; Berzinah, terutama yang sudah terikat dalam suatu perkawinan, baik laki-laki maupun perempuan.
  2. Siri’ yang ditimbulkan akibat tingkah laku yang kasar. Contohnya ; Memperlakukan orang secara kasar di luar hukum dan aturan tradisi yang telah di adatkan dalam masyarakat, mengeluarkan kata-kata kotor pada orang, merampas hak-hak orang lain dan sebagainya.
  3. Siri’ yang menimpa diri sendiri. Misalnya ; Kentut di tengah orang banyak hingga kentut itu di dengar dan di cium baunya oleh mereka, bersikap apatis dan pemalas hingga jadi pengangguran (lao sala), dan lain sebagainya.
  4. Siri’ karena merasa bodoh, tidak tau bergaul dan semacamnya. Ciri orang yang demikian selalu merasa rendah diri, yang akhirnya selalu mengisolir dirinya sendiri dari keramaian orang banyak.
  5. Siri’ biasa atau siri-siri’. Contohnya ; malu berbicara di muka umum, malu ketemu dengan orang-orang besar, malu memakai baju yang sudah usang, dan lain sebagainya.

Siri’ menurut jenisnya ada yang rasional konstruktif dan ada yang irrasional destruktif. Pengamalan siri’ yang membawa akibat fatal, sehingga terwujud secara berlebihan dan inilah pengamalan siri’ irrasional destruktif pada diri, keluarga dan lingkungan masyarakat, disebabkan karena kegegabahan mengamalkan siri’ tanpa kontrol yang mengakibatkan pengorbana jiwa yang tidak terduga yang lambat laun menjadi penyesalan tanpa akhir.

Siri’ yang rasional konstruktif dalam takaran atau pandangan syariat islam tentu saja siri’ yang berorientasi pada makna, kaidah dan hakekat syariat islam, sehingga dalam pengamalannya selalu menghasilkan manusia berahlak tinggi, berbudi luhur, beriman dan bertakwa serta rukun damai dengan lingkungan hidup dan masyarakatnya. Kuncinya adalah penyesuaian dengan petunjuk-petunjuk hukum syariat islam yang didasari kemampuan pertimbangan rasa dan pengendalian diri serta hawa nafsu sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW dalam salah satusabdanya yang artinya :

Jihad utama, ialah jihadnya seseorang terhadap dirinya sendiri dan hawa nafsunya (HR. Bukhari-Muslim)

Demikianlah siri’ di Mandar dalam tinjauan islam dengan mengamalkan budaya siri’ sebaik-baiknya hidup akan terjaga dari hal-hal yang dapat merusak nilai kemanusiaan dan harga diri.

C. Pergeseran Budaya Siri’ di Mandar

Seiring dengan perjalanan waktu para budayawan menganggap bahwa pergeseran nilai budaya termasuk di dalamnya budaya adat istiadat yang berhubungan dengan masalah etika yang di topang oleh konsep budaya siri’ di Mandar telah banyak menyimpan dari konsep dasarnya. Dalam hubungan tersebut,  para pakar budayawan mengemukakan bahwa dalam kenyataan hidup di masyarakat sekarang ini gejala erosi di mana nilai-nilai budaya siri’ telah mulai memperlihatkan bentuknya yang sudah  mulai mengalami pergeseran.

Orientasi sebagai masyarakat atau karena menurutnya zaman telah canggih, terutama kelompok menengah atas yang kemudian menurun kepada kelompok bawah akibat pandangan hidup mereka yang berorientasi pada kehidupan yang bersifat materialistik dan canggih.

Gambaran nyata  yang dapat kita lihat sebagai kenyataan pahit yaitu pada setiap pemilihan secara keseluruhan di Mandar bahkan di seluruh Indonesia pemilihan secara langsung oleh rakyat seperti kepala desa, terutama sekali pada pemilu calon anggota legislatif ( DPRD) di mana hubungan kekeluargaan maupun sahabat sudah tidak lagi menjadi jaminan keakraban dengan adanya paham baru yaitu :  Innai namappewengan innai to’o diangmo ro’bo nadziola (siapa yang akan memberi dan siapa yang akan di beri, semuanya bisa di sapu bersih, kapan lagi mumpun ada kesempatan terbuka lebar) sehingga akibatnya tidak ada lagi peluang bagi yang Tositiniya (layak karna memiliki kriteria) atau ada hubungan keluarga, akibat tidak mambure-bure ( menghambur-hamburkan) atau andiangi messisi’ nabisi-bisi anna najeppel lawena sallambar llapaulle (dia tidak datang berbisik-bisik lalu di sumbat mulutnya selembar rupiah).

Sehingga dengan demikian maka peluang terbuka bagi yang totassitinaya (tidak layak karena banyak memiliki kekurangan) atau tidak ada sama sekali hubungan kekeluargaan, namun mereka lebih berhasil menaru simpati akibat pandainya mencari celah kelemahan kepada sebagian masyarakat yang tidak memiliki etika terutama dengan apa yang di sebut budaya siri’, di mana nuraninya telah tertukar dengan dua liter gula pasir atau lima liter beras atau dengan selembar rupiah yang nilanya hanya dua puluh ribu rupiah atau lima puluh ribu rupiah bahkan barangkali hanya janji yang lebih menggiurkan, kepentingan sesaat sudah mengalahkan kekeluargaan dan assitinayang.

Dengan demikian pergesaran pemahamanpun tejadi dari sebuah kewajaran tentunya di timbulkan oleh akibat dari yang : totassitinaya dipattoe’i rannu, rapang le,bai tu’u tau mattoe jas tulu lao di toe (orang yang tidak sepantasnya untuk dapat di harapkan, sehingga kita ibarat menggantungkan jas kebanggaan pada sebuah patuk)

Sesunggunya yang menjadi penyebab sehingga sebagian masyarakat berlaku demikian? Jawabnya adalah menurut pengalaman masa lalu di mana rata-rata mereka setelah berhasil mencapai tujuan hampir semuanya lupa akan janjinya dan berkata: pau-pau dzi ka’du, diongin anunna seiya dite’e dzie anu’u towoi tia (hanya isapan jempol kemarin milik anda dan sekarang milik saya) ada yang sempat iseng jika ada kesempatan menagihnya lalu ada di antaranya berkata : maupa bandimo tia ditingo apa’ ujanji bando’o mai’di duapa lao andiang le’ba rua ujanji ( anda sudah sangat beruntung karna saya sudah memberi janji padahal masi sangat banyak yang belum perna sama sekali saya berikan janji).

Hitung-hitung kita masih sangat beruntung kalau kita berpapasang dengannya lalu dia masih sempat berpaling atau dia akan berkata siapa kau siapa saya engga’ ussa yah, sungguh menyakitkan bagai diiris sembilu timbul penyesalan nasi telah menjadi bubur barulah kita menyadari bahwa mereka tetap saja orang lain, yang datang karena adanya yang di sebut kepentingan sesaat karen ada maunya : diang urang dinaung batu( ada udang di balik batu), Totassitinaya betul-betul mengetahui akan selera orang yg sudah tidak punya etika dan budaya siri’ dan mereka sesungguhnya tidak menyadari apa yang menjadi petuah leluhur masa lalu yaitu :

Nadziang tu’u mesa wattu
Todzipagengge pa andan diang,
Anna iyya tonamepagengge siatelesi tia  
Ma’nyata andiangmi membuni
Apa’ pa’dami atauang siolah siri’
dibatang alawena

Artinya :

kelak ada suatu masa
orang yang akan dikibulila tidak ada
sedangkan orang yang akan mengibuli sangat banyak
berhamburan dan sudah terang-terangan
karena harkat dan martabatnya serta etika
sudah tidak ada lagi pada dirinya

Budaya telah ditransfer kedalam kepentingan yang telah menghalalkan segala cara yaitu haram menjadi halal lalu berkata harang duapa anna maparri’i dite’e dzi’e, damotia pole di sanga anu hallal ( yang haram saja sudah sangat sulit apalagi yang di sebut halal ), sehingga apa yang perna di pesankan oleh para leluhur sudah tidak lagi dapat membentangi nuraninya karena etika dan budaya siri’ telah mulai memudar atau memang sudah tidak ada lagi sama sekali pada dirinya, cappui tongammi bubur atauang siola siri’ mesa rupatau napateng matoana lino, apa masekemi kapang nakeama lino ( habislah sudah berhamburan etika dan perasaan malu seorang manusia akibat dunia sudah tua sebab tidak lama lagi dunia akan kiamat ).

Akan sebaliknya sifat matrealistis yang di miliki seseorang yang akibatnya merugikan diri bahkan terhadap kelompok adalah bagaimana dapat berjaya dalam kehidupan ekonomi dalam menyampaikan unsur-unsur  nilai sosial dalam kehidupan individualisme dan egoisme sebagai ciri yang menonjol bila tampak pula pada sebagian masyarakat Mandar dewasa ini.

Etika termasuk budaya siri’ sepertinya sudah akan merupakan bahan langkah yang di nilai lagi menjadi kriteria dalam kepemimpinan walaupun di katakan bahwa sesungguhnya etika dan budaya siri’ merupakan alat penting bagi seseorang untuk tidak berbuat perbuatan buruk dan tidak patut serta tercela menurut adat kebiasaan masyarakat Mandar, pemimpin yang demikian dipastikan akan jauh dari simpati masyarakat sehingga terjadilah jurang pemisah yang sangat dalam di antara golongan atas dan golongan bawah yang masih menganut paham tentang budaya etika dan siri’ hal-hal yang telah hilang itu sungguh-sungguh sangat di sayangkan walaupun sesungguhnya masih sebahagian yang melakukannya.

Sekalipun demikian, menurut beberapa kalangan pakar budayawan bahwa etika dan nilai budaya siri’ sesungguhnya belum hilang sama sekali dan masih tersimpan untuk pada sebagian dalam tradisi budaya yang masih dominan di anut masyarakat sulawesi selatan maupun sulawesi barat.

Pendapat tersebut di atas memang ada benarnya akan tetapi perlu pula di pahami bahwa nilai-nilai etika dan budaya siri’ yang masih tersimpan itu sebagian besar telah mengalami pergeseran pula, nampak jelas terlihat pada masyarakat terutama dengan para remaja yang sudah pudar akan norma etika dalam pergaulan keseharian, akibat terserang oleh penyakit kemiskinan atau karena semakin jauhnya jarak antara simiskin dengan si kaya, atau ia telah terkontiminasi dengan budaya luar.

Budaya tentang adat istiadat dalam perkembangannya turun temurun dari generasi ke generasi secara estafet oleh orang-orang yang masih memahami akan pentingnya etika dan budaya siri’ leluhur di pelihara dan di wariskan. Namun di sisi lain, pengamatan juga menunjukkan bahwa proses sosialisasi etika dalam kehidupan keseharian masyarakat Mandar.

Dewasa ini sudah sangat kurang, etika dalam kandungan siri’  menunjukkan bahwa akibat dari pengaruh lingkungan keluarga sebagai lingkungan utama dan terutama dalam peawarisan nilai-nilai budaya yang telah pula mulai longgar atau sudah sangat menurun akibat tercemar oleh pesatnya pengaruh budaya luar yang datang bagaikan air bah lalu menghanyutkan warisan leluhur yang sangat berharga.

Sedini mungkin anak harus di biasakan merasa memiliki siri’ dalam melakukan perbuatan tercela dan terlarang yang tidak beretika, dan pada saat yang sama di tanamkan pula perasaan harga diri atau malu (masiri’) yang tentunya bermodalkan akan nilai agama, guna mendorong agar selalu malakukan hal-hal yang baik dan terpuji lalu berusaha manghindari ucapan yang tercela dengan ucapan kata yang santun sehingga orang akan memujinya dengan berkata :

Macoa sannai matturang loana
Anna mappattung paunna,
Mallapparang kedzona
Apa’ ma’alai pole
Di perru’dusanna

Artinya

Sangat baik dalam bartutur
serta pandai merangkai kata,
luar biasa menempatkan dirinya
sebab dia mewarisi
sifat leluhurnya

Dengan demikian pergeseran  budaya siri’  di Mandar dapat menjadi acuan untuk melihat dan memprediksi kelangsungan daya ketahanan budaya dalam masyarakat yang sedang berubah menyongsong era yang akan datang yang tentunya belum pasti pula di ketahui arahnya jika kita lalai dalam mewarisi etika dan budaya lainnya kepada generasi.

Hal ini di anggap sebagai suatu upaya untuk menjawab tanggapan berbagai pihak mengenai pergeseran nilai-nilai etika dan budaya siri’ di kalangan masyarakat. Sekarang ini masih dominan menganut paham tentang budaya etika dan budaya siri’ di dalam hidup bermasyarakat maupun dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga.

Bab III. Penutup

A. Kesimpulan

Di akhir makalah ini, penulis menarik beberapa kesimpulan, yaitu :

  1. Bagi orang Mandar siri’ adalah etos kehidupan dan etos kerja karena siri adalah nilai kemanusiaan dan harga diri yang erat hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia. Kehilangan siri’ berarti kehilangan nilai kemanusiaan dan harga diri. Oleh sebab itu, orang Mandar sejati lebih memilih kehilangan nyawa daripada kehilangan siri’ bila terpaksa harus memilih.    
  2. Siri’ merupakan kepekaan kedua di masyarakat Mandar sesudah kepekaan agama. Agama dan budaya siri’ berjalan seiring dalam segala tindak laku orang Mandar setiap saat dan sering tumpang tindih satu sama lainnya. Di banyak hal dalam kehidupan sehari-hari orang Mandar, agama lebih dominan diperhitungkan  namun di beberapa hal, siri’ pun sering lebih dominan daripada agama. Hal terakhir ini,  perlu segera mendapat perhatian agar budaya siri’ di Mandar selalu sejajar dan sesuai dengan syariat agama Islam dalam berbagai aspek pengamalannya.
  3. Sedini mungkin anak harus di biasakan merasa memiliki siri’ dalam melakukan perbuatan tercela dan terlarang yang tidak beretika, dan pada saat yang sama di tanamkan pula perasaan harga diri atau malu (masiri’) yang tentunya bermodalkan akan nilai agama, guna mendorong agar selalu malakukan hal-hal yang baik dan terpuji lalu berusaha manghindari ucapan yang tercela dengan ucapan kata yang santun sehingga orang akan memujinya.

DAFTAR PUSTAKA

Mukhlis P, dkk, 1995. Sejarah Kebudayaan Sulawesi, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan

H. Asdy, Ahmad, 2009. Latar Belakang Perjuangan Provinsi Sulawesi Barat,SULBAR : Yayasan Maha Putra Mandar.

Mandra, A.M, 2010. Mottiana Mandar, Makassar : Yayasan Saq-Adawang

Mandra, A.M, 2011. TomanurungMessawe Totammaq dan siriq di Mandar Makassar : Yayasan Saq-Adawang

Sewang, Anwar, Drs. 2010. Etika dalam Kehidupan orang Mandar, SULBAR : Yayasan Maha Putra Mandar.

Yasil, Suradi. 2004. Ensiklopedi Sejarah Tokoh dan Kebudayaan Mandar. Makassar : Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat.