Sejarah Lagu Genjer-Genjer
Lagu genjer – genjer merupakan salah satu lagu berbahasa jawa (lebih tepatnya bahasa osing, yaitu bahasa atau dialek khas Banyu wangi, Jawa Timur), yang pernah berjaya di era tahun 60 an. Lagu ini memang bukan salah satu lagu perjuangan yang sering diajarkan di sekolah ketika zaman Sekolah Dasar dulu, tapi lagu ini mempunyai history yang sangat panjang dan menjadi saksi bisu diantara kontroversi tentang sejarah Indonesia saat itu, terutama isu Komunisme.
Lagu yang sempat menjadi tabu ini memang mempunyai sejarah yang “kelam”, sekelam sejarah Indonesia saat itu. Lagu ini juga menjadi saksi sejarah kekuasaan dari zaman ke zaman, terlebih zaman Orde baru yang dikepalai oleh sang penguasa, Soeharto, yang secara formal telah melarang beredarnya lagu ini. Sebuah maha karya seni yang menjadi korban manipulasi politik dan kekuasaan penguasa otoriter.
Sejarah Lagu Genjer – genjer
Sebelum tahun 1942, wilayah Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur) merupakan daerah yang sangat subur dan makmur, sehingga secara ekonomi warga tidak merasa kekurangan. Namun semenjak kedatangan Jepang ke Indonesia (1942-1945), keadaan berubah sebaliknya. Anak – anak muda yang masuk usia produktif (terutama pria), ditangkap dan dijadikan sebagai perkeja Romusha (kerja paksa ala Jepang), untuk di kirim ke seluruh daerah di Nusantara bahkan sampai ke daerah Indo China (Thailand, Kamboja, Vietnam, Burma dan Laos ). Mereka dipekerjakan di camp militer Jepang yang sedang berperang dengan sekutu waktu itu.
Akibat ulah Jepang tersebut, lahan pertanian menjadi tidak terurus. Banyuwangi menjadi daerah yang miskin hingga kekurangan bahan pangan, dan banyak masyarakat menjadi kelaparan hingga meninggal dunia. Sampai salah satu efeknya, masyarakat harus mengolah daun genjer (Limnocharis flava), sejenis eceng gondok, untuk dijadikan makanan. Sebelumnya, oleh masyarakat Banyuwangi, tanaman genjer, yang biasanya terdapat di sungai, dianggap sebagai tanaman gulma atau pengganggu dan sebagai makanan hewan ternak seperti ayam dan babi.
Situasi sosial semacam itulah yang akhirnya menjadikan seorang Muhammad Arief, seniman angklung asal Banyuwangi, terinspirasi untuk menciptakan sebuah lagu berjudul “genjer-genjer” sekitar tahun 1942/1943, pada saat istri Muhammad Arief, Ny. Suyekti, menyuguhkan masakan sayur genjer kepadanya.
Lagu ini menceritakan tentang keadaan masyarakat miskin di Banyuwangi kala itu, yang sampai harus makan daun genjer, karena kekurangan makanan. Lagu ini juga merupakan bentuk sindiran buat penguasa Jepang yang sudah membuat masyarakat Banyuwangi menjadi miskin. Lagu “genjer -genjer” diadaptasi dari lagu rakyat berjudul “Tong Alak Gentak” ali-ali moto ijo, yang sudah lebih dulu melegenda di Banyuwangi. Dengan mengganti liriknya, lagu tersebut akhirnya dengan cepat menjadi lagu populer di masyarakat Banyuwangi kala itu.
Lagu Genjer –genjer dan Hubungannya dengan PKI
Setelah masa kemerdekaan, tepatnya pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), ketika iklim situasi politik di Indonesia memang sedang berada pada puncaknya, banyak partai – partai politik berbagai aliran berdiri waktu itu, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama(NU) dan Partai Rakyat Indonesi (PKI).
Partai – partai tersebut melakukan kampanye besar-besaran untuk meningkatkan popularitas dan mencari simpati masyarakat Indonesia sebanyak -banyaknya. Salah satunya lewat jalur kesenian, karena kesenian merupakan salah satu “hiburan alternatif” masyarakat Indonesia, sehingga menjadi salah satu cara efektif untuk merekrut simpatisan partai. Partai – partai tersebut membuat organisasi afiliasi berbasis kesenian dan menggandeng para seniman utuk bergabung bersama mereka. Sebut saja PNI yang membentuk Lembaga Kesenian Nasional (LKN), Partai NU membentuk Lesbumi, Masyumi membentuk Himpunan Seni dan Budaya Islam (HSBI), serta PKI yang membentuk Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra).
Cerita berawal pada tahun 1962 saat Njoto, seniman dan salah satu aktivis Lekra yang juga simpatisan PKI, mampir ke Banyuwangi, saat dalam perjalanan menuju Bali. Saat itu lagu “genjer –genjer” ditampilkan oleh para seniman Banyuwangi untuk menghiburnya. Njoto yang memang berjiwa seni tinggi, memiliki naluri bahwa lagu ini akan banyak disukai masyarakat Indonesia kedepannya, selain daripada lirik lagu ini yang memang mewakili keadaan bangsa Indonesia saat itu.
Sampai akhirnya Njoto menggandeng para seniman Banyuwangi, termasuk Muhammad Arif, untuk bergabung bersama Lekra. Sejak digandeng Lekra, “seni Banyuwangi”an semakin dikenal luas. Banyak lagu-lagu Banyuwangi yang sering dinyanyikan di acara – acara PKI dalam berbagai macam kesempatan. Termasuk lagu Genjer-genjer, juga lagu lainnya seperti lagu Nandur Jagung dan lagu Sekolah.
Bahkan seiring perkembangannya, Muhammad Arief (selain seniman, dia juga mantan tentara),sang pencipta lagu “genjer – genjer”, ditempatkan sebagai anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi, mewakili PKI. Seniman yang dulu bernama Syamsul Muarif itu juga diminta membuat lagu yang senapas degan ideologi PKI lainnya, seperti lagu berjudul Ganefo, 1 Mei, Harian Rakyat, Mars Lekra dan Proklamasi.
Popularitas Lagu Genjer –genjer Di Era 1960 an
Dugaan Njoto ternyata benar, tak lama kemudian, lagu “Genjer-genjer” menjadi sangat populer ke seantero Nusantara. Apalagi di tahun 1960 an, lagu itu sering dibawakan penyanyi-penyanyi “beken” era itu, seperti Lilis Suryani dan Bing Slamet (dalam albumnya “mari bersuka ria” pada tahun 1965), dan sempat dibikin vinyl (piringan hitam). Lagu itu seakan menjadi lagu wajib yang sering diputar di TVRI dan RRI (dua media nasional yang ada saat itu). Saking terkenalnya bahkan kemudian muncul pengakuan dari Jawa Tengah, bahwa lagu “genjer – genjer” ternyata diciptakan oleh Ki Narto Sabdo seorang dalang kondang dan seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang bernaung di bawah PNI, asal Semarang, yang pada akhirnya terbukti bahwa Ki Narto Sabdo hanya mempopulerkannya saja pada setiap penampilannya
Terlepas dari berbagai polemik dan sejarahnya, lagu “genjer – genjer” semakin populer di Indonesia. Tapi disisi lain, stigma masyarakat semakin menganggap dan mengasosiasikan lagu “genjer – genjer” sebagai lagu propaganda PKI pada masa itu.
Daftar isi
Pencekalan lagu Genjer – genjer
Peristiwa “berdarah” Gerakan 30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia, membuat rezim Orde Baru yang memang “anti-komunisme”, menerapkan politik “bumi hangus”, yaitu menghancurkan segala yang berhubungan dengan komunis. Mulai dari tokoh–tokohnya, orang–orang yang terlibat, anak cucu dan keturunannya, sampai termasuk semua “produk” yang dilahirkan oleh orang-orang komunis. Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan komunis dianggap “haram” hukumnya dan wajib untuk dilenyapkan.
Fenomena ini terjadi juga di Banyuwangi, dimana Muhammad Arief, pencipta lagu “Genjer-genjer”, ditangkap dan “hilang” (tidak pernah terungkap hingga kini) dalam aksi “pembersihan” terhadap komunis di tahun 1966-1967 di Indonesia, akibat dianggap terlibat dengan PKI. Juga tidak ketinggalan karyanya lagu “genjer – genjer”, yang memang sudah terlanjur ber-image PKI, ikut di “bumi hangus”kan. Sampai akhirnya pemerintah mencekal dan melarang disebarluaskannya lagu ini.
Ada beberapa kekeliruan alasan versi “Orde Baru” terkait pencekalan lagu ini yang selalu dikaitkan dengan idiologi komunis, yaitu :
- Sejak awal, lagu ini diciptakan oleh Muhammad Arif yang notabene seorang seniman Lekra yang disinyalir dibawah PKI. Juga lagu ini dikembangkan pula oleh kalangan komunis. Walaupun pada perkembangannya di era tahun 1960-an, lagu ini tidak hanya digemari oleh kalangan komunis saja, tetapi juga masyarakat secara luas, karena lagu ini sebenarnya terinspirasi saat penjajahan Jepang.
- Menurut Orde Baru, para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Pemuda Rakyat -keduanya disinyalir organisasi dibawah PKI-, menyanyikan lagu ini ketika para jendral diculik, diinterogasi dan “disiksa” di lubang buaya Jakarta. Sehingga ‘seolah-olah’ semakin memperjelas bahwa lagu ini mempunyai “hubungan intim” dengan PKI. Peristiwa ini juga digambarkan pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C. Noer, pada masa Pemerintah rezim Orde Baru.
- Ketika peristiwa G 30 S tahun 1965 terjadi, Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), diduga juga memplesetkan lagu “genjer-genjer” menjadi “jendral-jendral”, sehingga maknanya menjadi berbeda dengan versi alsinya. Dengan alasan itu, semakin mempertegas lagi lagu ini untuk segera di cekal dan dilarang peredarannya. Padahal, beberapa seniman di Banyuwangi yang pertama kali mempopulerkan lagu ini, merasa tidak tau apa – apa tentang plesetan lirik lagu ini, dan merasa heran oleh pihak – pihak yang mendiskreditkan lagu ini.
Lagu Genjer – genjer Pasca Orde Baru
Pada tahun 1998, setelah tumbangnya rezim Soeharto, Indonesia memasuki era baru, era dimana mulai meluruskan kembali sejarah–sejarah lama yang mengandung unsur “kepentingan politis”. Pemerintah yang mempunyai wewenang otoritas regulasi, mencoba melakukan babak politik baru, dimana konsep kebebasan berekspresi menjadi semakin terbuka lebar.
Salah satunya masalah hubungan politik dan kebudayaan. Termasuk larangan penyebarluasan lagu “genjer-genjer”, yang secara formal telah berakhir, seiring berakhirnya pula hukuman “bumi hangus” terhadap beberapa produk “kiri”. Walaupun sebenarnya masih ada beberapa kasus stigmatisasi terhadap lagu ini oleh beberapa pihak. Misalnya saja tahun 2009 yang terjadi di Solo, ketika ada sekelompok “Laskar” yang mendemo salah satu stasiun radio disana, pada saat radio tersebut memutarkan lagu “genjer – genjer”.
Bagi masyarakat luas saat ini, lagu “Genjer-genjer” memang sudah mulai di terima dan di apresiasi dibalik berbagai macam kontroversinya. Bahkan sebenarnya dari dulu, tetapi dulu mungkin kita “males” berurusan dengan berbagai macam “tetek bengek”nya. Ini terbukti dengan banyak beredarnya lagu ini melalui berbagai ruang publik dan media secara bebas. Salah satunya internet. Sehingga kita bisa dengan mudah dan bebas mengakses lagu ini, sebebas dari hakikat seni itu sendiri.
Lagu “genjer – genjer” memang sangat fenomenal, semoga karya besar ini bisa menghiasi dan semakin memperkaya kebudayaan dunia musik Indonesia, apalagi harus menjadi lagu traumatis yang “katanya” akan membuka luka lama yang menakutkan. Tidak ada yang bisa membelenggu kebebasan lagu ini, terlebih politik. Bahkan seharusnya lagu “genjer–genjer” bisa dijadikan sebagai simbol budaya, kesederhanaan dan simbol perlawanan terhadap penjajahan.