Untuk melakukan kegiatan ilmiah dengan baik, diperlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara cermat dan teratur. Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi siapa saja yang sedang melakukan kegiatan ilmiah. Tanpa kita menguasai hal ini, maka kegiatan ilmiah yang baik tidak dapat dilakukan.
Perbedaan utama antara manusia dan binatang adalah terletak pada “kemampuan manusia untuk mengambil jalan melingkar” dalam mencapai tujuannya. Seluruh pikiran binatang dipenuhi oleh kebutuhan yang menyebabkan mereka secara langsung mencari obyek yang diinginkannya, atau membuang benda yang dianggap menghalanginya.
Dengan demikian, sering kita melihat seekor monyet yang menjangkau secara sia-sia benda yang dia inginkan. Sedangkan manusia, yang paling primitif sekali pun, sudah tahu bagaimana cara menggunakan bandringan, laso, atau melempar dengan batu. Manusia sering disebut sebagai Homo Faber (makhluk yang membuat alat); dan kemampuannya “membuat alat” itu dimungkinkan oleh pengetahuan. Sedangkan berkembangnya pengetahuan tersebut membutuhkan alat-alat.1)
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan “alat yang dapat membantu kegiatan ilmiah” dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu, diperlukan sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itulah, maka sebelum kita mengkaji sarana-sarana berpikir ilmiah ini, seyogyanga kita sudah mengetahui (menguasai) langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut.
Dengan jalan ini, maka kita akan sampai pada hakikat sarana yang sebenarnya, sebab sarana merupakan alat yang dapat membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Atau dengan kata lain, sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitannya dengan kegiatan ilmiah secara menyeluruh.2)
Sarana berpikir ilmiah ini, dalam proses pendidikan kita, merupakan bidang studi tersendiri. Artinya, kita mempelajari sarana berpikir ilmiah ini seperti kita mempelajari berbagai cabang ilmu. Dalam hal ini, kita harus memperhatikan dua hal, yakni:
- Pertama, sarana ilmiah “bukan merupakan ilmu”, dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan “kumpulan pengetahuan” yang bisa kita dapatkan berdasarkan metode ilmiah. Seperti kita ketahui, bahwa salah satu karakteristik dalam ilmu, misalnya, adalah penggunaan berpikir induktif dan deduktif untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Sarana berpikir ilmiah tidak menggunakan cara ini dalam mendapatkan pengetahuannya. Secara lebih tuntas, dapat dikatakan bahwa sarana berpikir ilmiah mempunyai “metode tersendiri” dalam mendapatkan pengetahuannya, yang berbeda dengan metode ilmiah.
- Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah “untuk memungkinkan kita dalam melakukan penelaahan ilmiah secara lebih baik”. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan “untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari”.
Dalam hal ini, maka sarana berpikir ilmiah merupakan “alat bagi cabang-cabang pengetahuan” untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode ilmiah.3) Atau secara lebih sederhana, sarana berpikir ilmiah ini merupakan “alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik”. Jelaslah sekarang, kiranya mengapa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri, yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya, sebab salah satu fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah, dan bukan merupakan ilmu itu sendiri.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, maka kita membutuhkan sarana yang berupa Bahasa (γλώσσα), Logika (λογική), Matematika (μαθηματικά), dan Statistika (στατιστική). Bahasa, dalam hal ini merupakan alat komunikasi verbal, yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah, dimana bahasa merupakan “alat berpikir” dan “alat komunikasi” untuk menyampaikan suatu jalan pikiran kepada orang lain.4) Ditinjau dari pola berpikirnya (mindset), maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu, maka sudah barang tentu penalaran ilmiah menyandarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika, mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses berpikir deduktif ini. Sedangkan Statistika, juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam berpikir induktif.
Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah, menurut Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya, Filsafat Ilmu, sangat mengharuskan kita untuk menguasai metode penelitian ilmiah, yang pada hakikatnya adalah merupakan “pengumpulan fakta untuk menerima atau menolak” terhadap sebuah hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik, harus diiringi oleh penguasaan sarana berpikir ilmiah ini dengan baik pula.
Salah satu langkah terbaik ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar akan peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah tersebut. Berdasarkan pemikiran ini, maka tidak sulit untuk dimengerti bahwa mengapa mutu kegiatan keilmuan tidak mencapai taraf yang memuaskan jika sarana berpikir ilmiahnya memang kurang dikuasai. Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan penalaran yang cermat tanpa menguasai “struktur bahasa” yang tepat? Demikian juga, bagaimana seseorang bisa melakukan generalisasi tanpa menguasai statistika?
Memang benar, tidak semua masalah membutuhkan analisis statistik, namun hal ini bukan berati bahwa kita tidak peduli terhadap statistika sama sekali, dan berpaling kepada cara-cara yang justru “tidak bersifat ilmiah“. Seperti dikatakan JOHN G. KEMENY (-), Sering kita melakukan rasionalisasi untuk membela kekurangan kita (beladiri.com, ceritanya); atau bahkan kompensasi, dengan menggunakan kata-kata yang muluk (mulek) untuk menutupi ketidaktahuan kita.5)
Untuk seorang tiran, maka dalih apa pun jadilah, menurut dongeng Aesop tentang Serigala dan Anak Domba, dan memang tidak ada penalaran yang lebih mudah selain berdalih untuk tiran yang bernama kebodohan.